Saya hanyalah pegiat mountaineering dan hiking. Saya cukup fobia istilah tebang hutan atau deforestasi, sekaligus terpukul dengan sebuah pertanyaan: kalian nikmati produk hutan sementara di waktu yang sama masih berkoar pelestarian alam? Peta kontur, pamflet, brosur, lembar kegiatan, karya sasta hijau, semua menggunakan kertas!  

Sebagai warga negara yang baik, pertanyaan saya kembangkan: Bagaimana pula dengan para aktivis lingkungan hidup atas selebaran kampanyenya, lembaran administrasi organisasinya, kertas tisu keluarga di rumahnya, buku anak-anaknya yang bersekolah, propaganda media cetaknya, apa tidak menggunakan kertas?

Sebagai makhluk individu, sosial, dan berketuhanan, akhirnya saya tarik akar permasalahan sebelum berkoar. Persoalan utamanya adalah alih fungsi hutan dan diskursus deforestasi, khususnya bagi industri pulp dan kertas. Dengan bijak memilah akar persoalan, maka diharapkan lahir sebuah cara pandang yang komprehensif.   

Diskursus pengertian deforestasi diawali dengan pengertian umum dan luas, yaitu sebagai perubahan kawasan yang awalnya ditumbuhi pepohonan kemudian menjadi bukan pepohonan. Ada lagi dengan pengertian yang lebih khusus, yaitu perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan.

Sedang menurut Undang-Undang Nomor 41/1999, dijelaskan bahwa perubahan hutan menjadi bukan hutan tidak selalu identik dengan deforestasi. Dan di Indonesia, yang umum terjadi adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan atau areal penggunaan lain untuk kepentingan selain kehutanan. Di sinilah diskursus itu.

Pun mengenai daratannya terbagi dua. Kawasan hutan yang fungsi dan ketentuannya telah diatur Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Serta kawasan yang peruntukannya bukan untuk kehutanan atau area penggunaan lain juga ada kewenangan dan peraturannya masing-masing. Jadi jangan dicampur aduk.

Diskursus ini memanas hingga organisasi pangan dunia, FAO (Food Association Organization), memberikan pengertian versi mereka sendiri, yaitu penebangan tutupan hutan dan konvensi lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya. Beragam pengertian deforestasi. Harus hati-hati dan bijak mencerna, agar tak gagal paham.

Fobia tebang hutan secara otomatis menghantui Indonesia. Negara dengan hutan hujan tropis (tropical rain forest) yang besar, juga menempati posisi kesekian terkait dengan negara yang kehilangan tutupan pohon hutannya. Fakta yang tak perlu ditutupi. Tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Penginderaan jarak jauh ala satelit canggih, beribu lembar citra satelit ini dan itu, tetap memerlukan konfirmasi langsung di lapangan, agar bisa membedakan antara deforestasi alami dengan yang berkasus industri. Identifikasi ini tak mudah. Perlu waktu lama, bukan sebulan dua bulan, agar akurasi informasinya tinggi.

Termasuk beban moral yang ditimpakan kepada industri kertas. Bahwa industri tersebut jadi biang keroknya. Opini umum tentang deforestasi selalu dihubungkan dengan anggapan bahwa satu pohon hanya bisa menghasilkan satu rim kertas. Opini yang menggiring bahwa itu semua butuh banyak pohon guna menyuplai produksi.  

Pelajari dan ketahuilah bahwa satu pohon akasia panjang lima meter mampu menghasilkan 23 rim kertas. Dalami pengertian Hutan Tanaman Industri (planted forest) yang memang untuk keperluan industri. Seperti halnya menanam padi di sawah, untuk dipanen dan buat makan. Ditanam lagi, dipanen lagi. Begitu seterusnya.

Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah kawasan hutan produksi yang menerapkan budi daya kehutanan secara intensif guna memenuhi bahan baku industri, baik kayu ataupun non kayu. Jelas berbeda dengan hutan produksi alam. HTI akhirnya menjadi solusi terbaik bagi deforestasi hutan alam.

Payung hukum HTI adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Memberikan kejelasan tentang pemanfaatan secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hal tak kalah penting lainnya adalah peningkatan produktivitas kawasan hutan yang kurang produktif guna menjamin tersedianya secara lestari bahan baku industri hasil hutan. Dan itu tak lain adalah pengusahaan HTI atau planted forest.

Pengertian tentang tebang hutan secara liar juga sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Ketentuan perundangan ini merupakan lex specialis (ketentuan khusus) dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pelajari juga tentang pengertian kawasan hutan, sebuah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penebangan liar yang dilakukan di dalam kawasan ini sudah diatur dengan Pasal 17 ayat (1) huruf b UU P3H.

Adapun bahan baku kertas yang diambil dari HTI itu justru ramah lingkungan karena dapat didaur ulang. HTI jelas berwawasan lingkungan, sebuah solusi tepat bagi industri kertas, upaya untuk menuju Zero deforestation atau nirdeforestasi.

Perusahaan yang merintis Hutan Tanaman Industri untuk rantai pasokan (supply chain) salah satunya adalah Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas. Dengan program Forest Conservation Policy (FCP), maka rantai pasokan bahan bakunya semua berasal dari perkebunan yang ditanam dan bukan dari hutan alam.

Tentu saja program dan kebijakan terhadap konservasi lingkungan hidup itu tidak lahir dengan sendirinya. Ia melalui proses panjang dan berbagai masukan dari masyarakat dan pihak terkait, termasuk sejumlah LSM dan para mitra perusahaan.

Ada empat pilar program kebijakan yang harus dilaksanakan oleh APP Sinar Mas. Pertama, melindungi hutan alam. Kedua, mengelola lahan gambut dengan lebih baik. Ketiga, bermitra dengan masyarakat setempat. Keempat, menerapkan rantai pasokan yang berkelanjutan.

Penerapan prinsip industri hijau merupakan salah satu bentuk komitmen APP Sinar Mas terhadap praktik bisnis berkelanjutan. Itu tertuang dalam Sustainability Roadmap Vision 2020.

Intinya, jangan melupakan masyarakat setempat. Ajaklah bersama-sama meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Ajaklah untuk kelola alam dengan bijak. Berdayakan penduduk setempat dengan teknik-teknik pengolahan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

APP Sinar Mas juga melakukan tindak edukatif penanaman pohon di lingkungan sekolah. Di antaranya di SMP Eka Tjipta Foundation Tasikmalaya. Ini diharapkan dapat memberi edukasi kepada generasi penerus agar tidak fobia tebang hutan, serta sosialisasi definisi deforestasi yang tepat dan benar.

Selain memberikan pengertian agar tidak fobia tebang hutan, juga diimbangi dengan melakukan tindak penanaman pohon. Seperti yang telah dilakukan di wilayah Kalimantan, lengkap dengan sistim mitigasi dan pencegahan kebakaran hutan dan lahannya, yang kemudian dikenal dengan integrated fire management system.

Begitu pula dengan upaya restorasi untuk melindungi hutan alam. APP Sinar Mas telah mengalokasikan dana dan waktunya untuk target restorasi. Tak ketinggalan juga usaha dan propaganda perlindungan satwa liar hutan alam. Di antaranya spesies gajah, harimau Sumatera, dan habitat orangutan.

Dari usaha keras tersebut di atas, maka Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas meraih Penghargaan Industri Hijau 2018 dari Kementerian Perindustrian. Ini menunjukkan keberhasilan perusahan dalam melaksanakan program-program yang mendukung lingkungan yang zero deforestation.

Tujuan utama pemerintah dari pemberian Penghargaan Industri Hijau 2018 adalah untuk mendorong industri dalam negeri berpacu menjadi industri yang ramah lingkungan. Inilah bentuk dukungan nyata pemerintah bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Jadi tak perlu fobia dengan tebang hutan atau deforestasi. Pahami dan pelajari dulu kasusnya. Hindari hantam kromo dan generalisasi permasalahan serta kasusnya. Bijaklah berargumen. Salam Lestari!