Suatu pagi, Emak sedang memandangi tumpukan bajunya di dalam lemari. Tiba-tiba Oneng masuk dengan maksud membersihkan kamar Emak. Mengetahui anak perempuannya datang, Emak berkata:

“Neng, gua udah gak punya baju lagi nih!”

“Hah!” Oneng pun kaget dan langsung menghambur keluar kamar.

Oneng berlari ke belakang dan mengetuk pintu kamar mandi yang di dalamnya ada suaminya.

“Bang! Bang, ada maling! Maling!” teriaknya.

Ia kemudian masuk ke kamarnya dan membuka pintu lemari pakaian. Rupanya baju-bajunya masih ada di sana, tidak ikut digondol “maling”. Sementara Bajuri, suami Oneng, keluar dari kamar mandi sambil memegang kayu buat pentungan dengan hanya mengenakan handuk menutupi bagian bawah tubuhnya dan busa sampo di kepalanya.

Oneng kembali menghampiri emak.

“Kok yang diambil cuma pakaian Emak doang? Aneh kan?”

“Neng, gue kagak punya baju baru buat lebaran, bukannya gue kehilangan baju.” pungkas Emak.

“Astagfirullahal azhim, kenapa gak ngomong?” Oneng menanggapi.

“Huh!” Emak pun gusar.

***

Demikian salah satu adegan dalam sinetron komedi (sitkom) Bajaj Bajuri yang sempat populer pada awal tahun dua ribuan. Adegan itu memperlihatkan bagaimana seseorang bisa salah paham terhadap suatu kabar atau pengetahuan dari orang lain.

Penonton mungkin memaklumi mengapa Oneng bisa salah memahami omongan ibunya. Dalam sitkom berlatar kehidupan pertetanggaan masyarakat kelas bawah di pinggiran kota Jakarta itu, Oneng adalah karakter perempuan lugu dan kurang terpelajar tapi jujur dan sangat dicintai oleh suaminya.

Namun jika dalam suatu kesempatan anda salah paham terhadap perkataan orang lain, bukankah itu terkesan sebagai tindakan yang bodoh? Menariknya, tindakan atau perilaku salah paham kerap terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tidak sedikit konflik antar individu terjadi dalam pergaulan sehari-hari berawal dari salah paham. Kesalahpahaman (misunderstanding) boleh dikata bagian dari proses tak mulus dalam sistem komunikasi manusia sebagai hewan yang berbicara.

Tidak banyak kajian filsafat yang secara khusus membahas persoalan sederhana semacam kesalahpahaman ini. Untuk memahami hakikat kesalahpahaman (the nature of misunderstanding) kita bisa melewati jalan psikologi.

Lingkaran Bersilang

Chris Frith dalam Making up the Mind: How the Brain Creates our Mental World (2007) mendedah bahwa dalam aktivitas berkomunikasi otak kita mencoba menangkap makna setiap kata dan kalimat yang keluar dari tutur wicara orang lain. Namun karena terdapat banyak sekali kemungkinan makna, otak harus memilih mana makna yang terbaik.

Dalam berkomunikasi, karena itu, pikiran kita sebenarnya melakukan prasangka (prejudice) – bukan dalam ruang lingkup moral – terhadap maksud seseorang dan memprediksi apa yang akan dilakukannya kemudian. Karena itu pula, komunikasi bukanlah sekedar berbicara, ujar Frith, tapi juga memprediksi.

Prasangka dan prediksi membentuk suatu model gagasan dalam pikiran kita. Hal itu karena sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan para ahli bahwa ketika kita melihat pohon bukan berarti pohon itu secara substansial ada di pikiran kita, melainkan model atau representasi yang dikonstruk oleh pikiran.

Begitu pula ketika melihat tulisan atau mendengar tutur wicara orang lain, kita mencoba membangun konstruksi gagasan tentang apa yang disampaikannya. Sebaliknya, penulis atau penutur mencoba menebak dan memprediksi model atau representasi gagasan yang ada di kepala kita.

Dengan demikian, dalam komunikasi dua arah setiap individu yang terlibat memiliki dua hal dalam pikirannya: (1) gagasannya sendiri dan (2) model gagasan lawan komunikasinya. Proses ini berjalan berputar-putar dan berbolak-balik di antara individu-individu yang berkomunikasi, seperti lingkaran bersilang. Frith menyebut proses itu dengan closing the loop dan teorinya disebut dengan communicational loop.

Berdasarkan teori tersebut, komunikasi gagal manakala tidak terwujud lingkaran bersilang (loop) antara gagasan sendiri dengan prasangka dan prediksi tentang model gagasan lawan komunikasi dalam pikiran kedua komunikator. Dalam keadaan demikianlah seseorang bisa salah paham terhadap tulisan atau tuturan orang lain.

Namun sekalipun lingkaran bersilang terjadi di dalam otak sebagaimana pandangan Frith, komunikasi manusia, bagaimanapun, terjadi dalam bahasa. Lewat bahasanya yang unik manusia bertukar gagasan-gagasan dalam komunikasinya yang unik pula. Untuk menjelaskan akar kesalahpahaman sekaligus mencoba mencari solusi bagi komunikasi kita yang tak jarang ngadat, kita perlu merujuk kepada filsafat bahasa.

Pertanyaan yang layak untuk diajukan terkait persoalan salah paham berbahasa adalah: Bagaimana kita bisa memahami makna dari kata-kata yang seseorang sampaikan? Bagaimana kita bisa memahamkan seseorang terhadap makan dari kata-kata yang kita sampaikan? Bagaimana kaitan antara kata dan makna? Apakah bahasa benar-benar mewakili gagasan-gagasan kita?

Beberapa Pandangan Filsafat Bahasa

Talbot J. Taylor dalam Mutual Misunderstanding: Scepticism and the Theorizing of Language and Interpretation (1992) mendedah pandangan beberapa filsuf terkemuka mengenai hubungan antara bahasa dan gagasan, antara kata dan makna. Di sini kita ambil beberapa di antaranya.

John Locke pada dasarnya mengakui bahwa kata-kata berguna untuk membagikan gagasan-gagasan kita yang “tak terlihat” (invisible). Meski begitu, hubungan antara kata dengan apa yang ditandainya (yaitu gagasan-gagasan) memiliki empat karakteristik: Arbitrer, sukarela, privat, dan individual.

Karena karakteristik-karakteristik itulah yang menjadi persoalan bukanlah struktur kata, melainkan individu penuturnya. Kata tidaklah mewakili gagasan, melainkan hanya memberitahu bahwa seseorang punya gagasan. Bahasa, karena itu bagi Locke, tidak sempurna (imperfect) untuk mewakili gagasan-gagasan seseorang. Kesalahpahaman terjadi karena ketidaksempurnaan bahasa.

Namun alih-alih membangun kesempurnaan bahasa, Locke bahkan bersikap skeptik terhadap relasi antara kata-kata dan gagasan. Bahasa bukanlah media yang sempurna sebagai kendaraan komunikasi manusia. Bahasa tidaklah benar-benar mewakili gagasan seseorang, sehingga penyimaknya tidak dapat benar-benar memahaminya.

Pandangan filsuf Inggris itu berbeda dengan Ferdinand de Saussure. Pada awalnya Saussure sepakat dengan Locke soal arbitrasi dan individualisme bahasa, namun komunikasi itu mungkin karena, menurut sang strukturalis Perancis, bahasa atau kata memiliki suatu entitas yang bersifat metafisis. Makna berada terpisah dengan kata – seperti bentuk dan materi jika boleh meminjam istilah Aristotelian.

Entitas tersebut disebutnya langue (makna) yang dibedakan dengan parole (bunyi/ kata). Apa yang Saussure maksud dengan langue adalah suatu struktur linguistik yang memaksakan makna. Ia semacam kode (code) yang harus dipatuhi setiap pewicara – seperti kodrat bahasa – sehingga pewicara tidak bisa memodifikasi makna dan penggunaan kata.

Menariknya lagi, bagi Saussure langue adalah sesuatu yang tercetak dalam benak setiap manusia. Dengan itu, lazimlah bagi pewicara yang tidak bersandar padanya akan mengalami komunikasi yang terputus dan orang akan salah paham akan petanda (signifie, makna) yang ia utarakan lewat tanda-tanda (signifiant).

Filsuf pos-strukturalis seperti Jacques Derrida tidak sepakat dengan gagasan semacam itu. Berangkat dari kritik terhadap strukturalisme yang berpijak pada keberadaan petanda dan penanda yang terpisah dengan subjek pewicara, ia lebih menekankan campur tangan subjek terhadap bahasa.

Sebagaimana al-Fayyadl dalam Derrida (2005) mendedah, Derrida menyebut bahwa struktur kata dan makna merupakan otorisasi subjek terhadap bahasa dimana subjek – ia menyebutnya author yang berderivasi menjadi authority – merumuskan makna dan hubungannya dengan kata  demi menguasai pengetahuan. Bahasa tiada lain hanyalah permainan tanda-tanda.

Tugas penyimak, karena itu, adalah meruntuhkan otoritas subjek terhadap makna dengan melakukan interpretasi terhadap ekspresi-ekspresi linguistik (kata, kalimat, teks) yang ia sebut dengan “pembongkaran” (deconstruction). Dekonstruksi bekerja dengan membongkar struktur bahasa dan memunguti puing-puing atau jejak-jejak (traces) makna yang ditinggalkan oleh subjek, lalu menatanya lagi, membongkarnya kembali dan seterusnya.

Kebenaran, dengan demikian, bersifat relatif dan tidak mungkin bagi kita untuk mengidentifikasi relasi antara kata dan makna secara pasti. Akan tetapi relativisme Derrida tidaklah kemudian meniadakan kebenaran sama sekali. Kebenaran hanya tertunda, ujarnya. Untuk menemukan kebenaran itu kita harus terus-menerus meniti jalan dekonstruksi.

Jika merujuk kembali pada communicational loop-nya Chris Frith – dimana pikiran kita menebak dan memprediksi respon lawan wicara terhadap ekspresi linguistik kita – maka dekonstruksi tidak hanya diterapkan pada bahasa lawan wicara, melainkan juga pada gagasan kita sendiri dan prasangka kita terhadap makna. Dengan kata lain, kita perlu berbesar hati untuk menyadari kita bisa saja salah paham akan gagasan yang diutarakan lawan bicara.

Arkian, kebenaran hanya tertunda, sekalipun bahasa kita tidaklah sempurna. Yang terpenting adalah kita percaya bahwa kita bisa saling memahami. itulah alasan mengapa manusia terus-menerus saling berkomunikasi.[]