Sayang, Aku Bersaksi bahwa Kutukan Itu Abadi
Azazil dikutuk oleh Tuhan, lalu kisahnya termaktub abadi dalam beberapa Kitab Suci Samawi
Firaun juga dikutuk oleh Tuhan, lalu kisahnya terpampang abadi dalam Kitab Suci dan Mumifikasi
Sodom dan Gomora pun dikutuk oleh Tuhan, lalu kisahnya disaksikan bisu oleh Laut Mati Yordania
Peradaban Pompeii juga dikutuk oleh Tuhan, lalu kisahnya disaksikan bisu oleh Gunung Vesuvius Italia
Aku mengutuk mereka semua
Namun apalah daya, aku juga adalah satu dari sekian banyak manusia yang dikutuk
Dan aku, dikutuk untuk mencatat kisah kasih kita dalam ingatan meski sudah hancur lebur tak berbentuk
Aku dikutuk, untuk mengabdi padamu dalam keabadian waktu
Setelah aku pernah bersaksi sekaligus bersabda, bahwa tiada perempuan selain dirimu
Bersama Sunyi, Kekosongan Ini Berisi
Bersama sunyi, Zarathustra seketika melihat cahaya yang sangat besar lalu masuk dalam hadirat Ahura Mazda..
Bersama sunyi, Mahavira seketika melihat cahaya yang sangat besar lalu masuk dalam hadirat Kevala Jnana..
Bersama sunyi, Siddhartha Gautama berteduh di bawah Pohon Bodhi lalu mencapai Nirvana..
Bersama sunyi, Mani hidup di tengah angkuhnya penduduk Mesopotamia lalu mencapai kebijaksanaan..
Bersama sunyi, Melchizedek duduk di atas tahkta kerajaan Salem lalu menghilang dalam kedamaian..
Bersama sunyi, Sang Mesias pergi ke atas Bukit Golgota lalu kemudian diberkati dirgahayu abadi..
Bersama sunyi, Nabi Muhammad SAW pergi ke Gua Hira lalu kemudian diberkati wahyu yang sangat suci..
Bersama sunyi, semua diberkati kebijaksanaan untuk mencapai hadirat cahaya yang berisi damai..
Dan saat bersama sunyi, aku menemukan betapa kosongnya diriku saat ramai..
Sampai-sampai aku merinduimu, yang bahkan telah bersemayam abadi dalam isi hati ini..
Distingsi Kita dan Sintingnya Aku
Thales itu sinting
Anaximenes itu sinting
Anaximandros juga sinting
Tapi Diogenes lebih sinting
Dan, jika mereka sinting
Apalagi aku
Aurelius itu santai
Cicero itu santai
Epictetus juga santai
Tapi Zeno lebih santai
Dan, jika mereka santai
Apalagi kamu
Bakunin itu rumit
Marx itu rumit
Kant juga rumit
Tapi Hegel lebih rumit
Dan, jika mereka rumit
Apalagi kamu
Kafka itu absurd
Icarus itu absurd
Sisifus juga absurd
Tapi Camus lebih absurd
Dan, jika mereka absurd
Apalagi kamu
Pascal itu rasional
Spinoza itu rasional
Leibnitz juga rasional
Tapi Descartes lebih rasional
Dan, jika mereka rasional
Apalagi kamu
Schopenhauer hidup tragis
Kierkegaard hidup tragis
Dionysus juga hidup tragis
Tapi Nietzsche hidup lebih tragis
Dan jika mereka semua berakhir tragis, apalagi aku beserta segala angan-anganku
Aku memang sinting, tapi kenapa kamu diam bergeming
Kamu juga terlalu santai, sedangkan aku tak bisa
Kamu memang begitu rumit, hingga membuat aku terlilit
Kamu memang begitu absurd, hingga membuat aku kalut
Kamu memang rasional, tapi aku bertindak irasional
Seperti dengan sintingnya memaksa masuk ke rumah itu, dan naifnya berharap untuk merebahkan segala suka bahkan lara di sana
Meskipun secara sadar aku sudah tahu jikalau rumah itu tidak menerima tamu, dan telah dimiliki oleh manusia paling beruntung sejagat raya
Kini, semua kesintingan hasrat posesi ini
Beserta harapan dan cinta telah tergolek mati
Seraya memaksa tragis untuk mengakhiri takdir
Seumpama kisah roman Sartre dan Beauvoir
Mitos Adam dari Athena dan Hawa dari Yerusalem
Lupakan mereka sayang, segala subjek yang sekarang sudah menjadi objek dan selalu menyerbu ruang pikiran dan relung kalbu
Tapi kita juga adalah subjek sekaligus objek dan hidup di tengah manusia-manusia yang selalu meminum ludah dan menjilati drama
Tapi kita tahu, bahwa pertanyaan adalah pernyataan yang selalu menancap dalam pencarian esensi hakikat realitas yang fana
Kita masih ada dan bersama tulang belikat, mentajalikan Aletheia pada kepastian Sirr dan melampaui ambiguitas Hijab yang semu
Dimulai dari menyapa jalan pemikiran Yunani, dan kita bahkan tidak sempat mengingat nama atau memfoto skenario
Seperti mewartakan eksistensi dan estetika dari Zeno, Socrates, Pythagoras, Aristoteles, dan Plato
Dan, bahkan menyapu trotoar hikmah dari Timur Tengah seperti Rumi, Arabi, Hallaj, dan Sadra
Mungkin kita turun dengan tanda koma, tidak butuh tanda seru, dan hanya butuh titik dari tanda tanya di bawah huruf ba
Tapi, kita akan hijrah dari Athena ke Madinah tanpa tergesa agar tidak bernasib seperti Karbala yang penuh duka
Sebelum buah tin dan kurma terakhir jatuh, kita akan membaiat diri agar tetap Carpe Diem dalam mengembarai makna
Lupakan mereka, kita akan menenggak cawan demi cawan Anggur Cinta hingga Nausea dan Mahwu, lalu tertidur sebelum Nahwu menagih Hiraeth untuk berjanji
Ketika semburat pagi kembali Nembutal, kita akan memulai hari dengan kopi, rokok, buku dan menari dalam lantunan kemabukan ekstase yang penuh birahi
Kita tidak akan baik-baik saja tanpa beberapa Bulu Domba dan Euthanasia, tapi matamu adalah Yerusalem yang memantik makhluk lain untuk menaklukannya
Lupakan itu, dan jika kita keluar dari Shofa tanpa peta dan menjaga Marwah, mungkin Pasar Agora dan Konstantinopel masih ada dan tidak bernasib seperti Hagia Sophia
Namun sayangku, jika buah khuldi telah ditelan, setidaknya kita pernah saling menyapa dan berada dalam taman dan altar yang sama
Jika kita tidak lagi bersama, haruskah kita berhenti berjihad layaknya Adam dan Hawa, lalu belajar menjadi sepasang manusia lain saja?