Hubungan sosial masyarakat tidak selamanya berdampak baik dan bersimbiosis mutualisme. Namun, kadang melahirkan sikap saling mencederai, kekacauan dan bahkan terjadi pembunuhan antar sesama. Hal itulah yang mendasari lahirnya suatu aturan dan pemerintahan, agar kekacauan tersebut dapat dikontrol oleh pengendali kebijakan dengan kekuasaan negara.
Dalam sejarahnya, bentuk dan sistem pemerintahan negara untuk mengatur rakyatnya berawal dengan sistem Otokrasi. Sistem otokrasi ini merupakan bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang raja. Rajalah yang akan menentukan bentuk keadilan bagi rakyatnya, memutuskan kebijakan dan berhak memerintah kepada siapa pun.
Seorang raja disokong oleh dua golongan yakni kaum ningrat dan penghulu agama. Dua penyokong ini sebagai bentengnya raja, bertugas untuk memberikan saran kepada sang raja, dan juga berfungsi sebagai tempat meminta pandangan apabila ada persoalan yang terjadi. Sehingga raja, kaum ningrat dan penghulu agama menggambarkan kaum jempolan di dalam masyarakat. Dan masyarakat itulah yang dinamakan sebagai masyarakat feodal.
Namun, yang berhak menjadi raja adalah kaum bangsawan dari keturunan raja itu sendiri. Sementara, budak atau rakyat biasa sebagai golongan bawah harus patuh pada perintah raja untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Di lain pihak ada golongan yang mempunyai modal, tanah, alat perkakas dan perusahaan, namun mereka tidak bisa menentukan nasib sendiri karena bukan mereka yang membuat aturan. Akhirnya mereka berpikir bahwa kekuasaan haruslah direbut agar modal yang ia miliki dapat bergerak secara leluasa sesuai dengan kepentingannya. Akan tetapi, golongan ini tidak mempunyai kekuatan yang kuat untuk merebut kekuasaan dari tangan raja.
Akhirnya mereka memakai kekuatan kaum budak yang sudah lama ditindas di atas kekuasaan raja. Kenikmatan dan kebebasan diangan-angankan kepada mereka, bahwa nantinya mereka akan bebas dari kungkungan penindasan dan berhak memegang kekuasaan pemerintahan. Adapun bentuk pemerintahan yang dijanjikan adalah sistem demokrasi.
Gerakan ini bermula di bagian Eropa oleh negara Prancis dengan terjadi pemberontakan kurang lebih 100-125 tahun. Kekuasaan raja berhasil diruntuhkan dengan memakai kekuatan rakyat sebagai kekuatan yang progresif. Tapi di balik gerakan tersebut, nyatanya rakyat hanya diperalat untuk menumbangkan kekuasaan raja demi kepentingan kaum borjuis (pemodal) semata.
Setelah kekuasaan raja runtuh, diterapkanlah sistem demokrasi. Dengan harapan setiap rakyat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan dapat menentukan nasib sendiri tanpa ada bentuk penindasan di dalamnya.
Pada sistem demokrasi dibentuk parlemen sebagai tempat agar dapat mengutus wakil rakyat di dalam pemerintahan. Tetapi dalam praktiknya wakil rakyat tersebut dapat dengan mudah dikeluarkan jika tidak mempunyai modal yang kuat untuk mempertahankan dirinya. Demokrasi seperti inilah yang banyak diterapkan oleh negara-negara modern, di mana perkembangan kapitalisme justru tumbuh dengan merajalela.
Nasib rakyat pun tetap tidak berubah dan penindasan beralih pada kaum borjuis. Kesengsaraan justru makin dirasakan oleh rakyat, karena mereka harus bekerja pada kaum borjuis atau di perusahaan agar dapat bertahan hidup. Tetapi, keringat dan kerja yang dilakukan setiap harinya tidaklah setimpal dari gaji atau upah yang ia dapatkan.
Bentuk demokrasi seperti ini hanyalah memperhatikan politiknya saja, sementara demokrasi ekonominya tidak ada sama sekali. Orang hanya dapat berkuasa ketika mempunyai modal yang dapat digunakan untuk membeli hukum dan aturan.
Demokrasi seperti itulah yang dikritik oleh Soekarno, demokrasi yang banyak diagung-agungkan oleh negara Barat. Bagi Soekarno sangat tidak menginginkan kalau Indonesia dibangun dengan sistem demokrasi seperti demikian, karena hal itu hanya menimbulkan rakyat tertindas dan pemodal dapat berbuat dengan semena-mena. Padahal demokrasi sejatinya adalah pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan pemerintahan dari rakyat malah untuk penguasa.
Pada masa perjuangan Soekarno, beliau sangatlah menolak dan anti terhadap segala bentuk penindasan, baik secara politik maupun ekonomi. Sehingga Soekarno menawarkan gagasan TRISAKTI dalam membangun Indonesia. TRISAKTI yang dimaksud adalah berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Melihat kondisi hari ini, sistem pemerintahan belum berjalan secara normal untuk kepentingan rakyat. Berbagai problem yang masih berkecamuk dan kontroversi. Dengan banyaknya kepentingan sehingga melalaikan masalah yang fundamen. Skenario pemerintahan berjalan seakan menggambarkan bahwa tidak ada yang terjadi apa-apa.
Padahal, RUU PKS belum ada titik terang untuk segera disahkan dan bahkan sudah ditarik dari Prolegnas. Sementara Rancangan UU OMNIBUS LAW dan RUU HIP terus diupayakan untuk disahkan. Akhirnya, banyak rakyat menagih janji pemerintah, namun yang terjadi hanyalah seperti angin lalu.
Pada saat mendekati pemilihan, justru banyak orang-orang yang bermunculan seakan bertindak sebagai pahlawan rakyat. Beribu janji-janji yang diutarakan agar nantinya dapat terpilih sebagai pemimpin mereka.
Bentuk pemerintahan memang berubah dari feodalisme ke demokrasi. Akan tetapi, sistem penindasan kepada rakyat tidak pernah berubah, demokrasi hanyalah bingkai dari feodalisme. Pemerintahan tetap dipegang oleh keluarga bangsawan dan itu terjadi secara turun-temurun. Memang semua pihak dapat mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, namun nyatanya pemerintahan tetap menjadi warisan kepada keluarganya.
Itulah kenyataan banyak pemerintahan kepala daerah masih dipegang oleh golongan yang "berdarah biru". Golongan yang dianggap lebih di atas derajatnya dibandingkan dengan yang lain. Kekuasaan mereka telah menjadi warisan bagaikan harta kekayaan yang diperuntukkan untuk anak-anaknya.