Selama ini, kita yang bergelut ataupun tertarik dengan feminisme, belajar salah satu teori feminis yang identik dengan tokoh Simone de Beauvoir: feminisme eksistensialis.
Setelah menelusuri lebih lanjut mengenai Simone de Beauvoir, saya menemukan bahwa tokoh ini tidak pernah menyebut dirinya sebagai feminis eksistensialis. Ia juga tidak pernah menamakan teorinya sebagai feminisme eksistensialis.
Di Prancis sendiri, kedua kata ini hampir tidak pernah digabungkan menjadi satu istilah untuk memanggil teori feminisme yang dikembangkan Simone de Beauvoir. Meskipun orang-orang Prancis paham bahwa yang dimaksud adalah Simone de Beauvoir ketika kita menyebutkan “feminis eksistensialis”.
Dalam literatur-literatur Prancis, Simone de Beauvoir umumnya dinyatakan sebagai filsuf (eksistensialis dan fenomenologis) dan penulis (roman, esai, memoar). Selanjutnya dikatakan bahwa filsuf dan penulis ini adalah juga figur feminis yang peduli memperjuangkan kondisi perempuan.
Saya hampir tidak menemukan dalam literatur berbahasa Prancis yang menyebut langsung teori Simone de Beauvoir sebagai feminisme eksistensialis ataupun bahwa ia adalah seorang feminis eksistensialis.
Artikel-artikel yang melekatkan kedua istilah secara langsung (feminisme eksistensialis atau feminis eksistensialis) umumnya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris ataupun artikel-artikel dari negara-negara berbahasa Prancis (francophone).
Sepertinya istilah ini dicetuskan para feminis Anglo-Amerika sebagaimana mereka juga memberi penamaan feminisme Prancis (french feminism); istilah yang tidak disukai dan bahkan ditolak para feminis Prancis sendiri.
Le Deuxième Sexe karya Simone de Beauvoir yang fenomenal memang lebih populer sebagai buku feminis. Tentu tidak salah menganggapnya demikian. Sayangnya, sebutan ini mengabaikan bahwa buku feminis ini didasarkan pada kerangka filosofis yang kuat.
Buku ini sendiri, di negara asalnya, lebih digambarkan sebagai esai filsafat mengenai kondisi perempuan. Kerangka filosofi yang digunakan Simone de Beauvoir dalam buku ini adalah eksistensialisme dan fenomenologi. Jadi bukan sekadar eksistensialisme, meski pemikiran eksistensialisme sendiri banyak mengambil inspirasi dari fenomenologi.
Apakah ada tokoh lain dalam feminisme eksistensialis selain Simone de Beauvoir?
Meskipun dalam artikel-artikel jurnal, istilah feminis eksistensialis sering dituliskan dalam bentuk jamak, penulis artikel-artikel ini tidak pernah sekalipun menyebutkan nama tokoh lain selain Simone de Beauvoir.
Di Prancis sendiri, karena tidak berfokus pada penggolongan tipe-tipe feminis, pertanyaan yang timbul lebih berupa apakah semua feminisme pada akhirnya adalah eksistensialis dan apakah semua eksistensialisme adalah feminis?
Saya pribadi berpendapat bahwa jika yang dimaksud dengan feminis eksistensialis adalah feminis yang mendasarkan pandangan-pandangannya pada filsafat eksistensialisme, sepertinya sejauh ini hanya Simone de Beauvoir yang benar-benar dapat melakukannya.
Ia seorang filsuf yang tidak hanya memiliki pemahaman kuat, tetapi juga mengembangkan teorinya sendiri mengenai eksistensialisme. Sayangnya hal ini hampir tidak pernah dibahas karena publik terlalu melekatkannya dengan Sartre. Dapat dibaca Simone de Beauvoir, Filsafat yang Bergender.
Betty Friedan dan eksistensialisme
Betty Friedan menggemparkan Amerika Serikat saat bukunya The Feminine Mystique menjadi bestseller pada tahun 1964 untuk kategori buku nonfiksi. Ia dianggap sebagai pemicu gerakan feminis gelombang kedua di negara tersebut.
Pada zaman itu, media di Amerika Serikat mengukuhkan citra perempuan bahagia adalah ibu rumah tangga dan menanamkan pesan bahwa keberpenuhan perempuan hanya tercapai dengan menjadi istri dan ibu.
Betty Friedan menyebutnya sebagai mistik feminin. Ia membongkar bahwa kenyataan dalam masyarakat adalah sebaliknya. Ia menuturkan tentang masalah tak bernama (problem that has no name) para istri dan ibu rumah tangga; mereka tidak bahagia meski hidup dalam materi berkecukupan.
Friedan mendorong perempuan melakukan aktualisasi diri. Ia juga menawarkan pendidikan dan pekerjaan bermakna sebagai cara agar perempuan terhindar dari jebakan mistik feminin ini.
Para feminis Anglo-Amerika melihat karyanya The Feminine Mystique memiliki dasar eksistensialisme. Dalam sejumlah artikel koran dan majalah berbahasa Inggris, ia dinyatakan sebagai feminis eksistensialis dari Amerika Serikat dan dijuluki Simone de Beauvoir ala Amerika.
Sebuah panggilan yang tidak ia sukai karena ia menganggap cara pandang Simone de Beauvoir suram dan negatif. Ia bahkan merasa depresi saat membaca Le Deuxième Sexe. Meski ia tidak menyangkal bahwa buku ini adalah karya yang inspiratif.
George Catkin dalam bukunya Existential America melihat bahwa, biar bagaimanapun, ada pengaruh Simone de Beauvoir dan Sartre terhadap karya Friedan. Friedan sendiri sama sekali tidak memberikan kredit terhadap Beauvoir dalam bukunya. Ia mengatakan baru membaca buku ini lama setelah bukunya The Feminine Mystique diterbitkan.
Yang pasti, menurut analisis Catkin, Friedan tidak asing dengan eksistensialisme karena ia telah membaca karya-karya eksistensialis seperti Erich Fromm dan Rollo May (p.254).
Saya sendiri, tanpa mengurangi hormat dan penghargaan saya kepada Betty Friedan, mengira karyanya The Feminine Mystique tidak memiliki nilai filosofis yang sama dengan buku Le deuxième sexe.
Perspektifnya dapat digolongkan sebagai eksistensialisme, tetapi buku The Feminine Mystique tidak dibuat sebagai buku filsafat. Lain halnya dengan Le Deuxième Sexe yang merupakan buku filsafat dipertajam dengan pendekatan teori dan sejarah yang kuat mengenai kondisi perempuan.
Para feminis di Prancis, meski melihat The Feminine Mystique tidak sebagai buku filsafat, mereka sangat menghargai buku ini yang mereka sebut sebagai “teriakan pemberontakan”.
Feminis eksistensialisme ataupun bukan, dan meskipun istilah feminisme eksistensialis sendiri tak benar-benar eksis dalam perbendaharaan feminisme di Prancis, kita tentu sependapat bahwa Simone de Beauvoir dan Betty Friedan. Keduanya telah mengubah hidup banyak perempuan.