Tumbuhnya feminisme modern menjadi salah satu social trend di Indonesia; jelas tak perlu diragukan lagi. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya netizen feminis yang bermunculan di media sosial.
Setidaknya, sebagai pengguna aktif di twitter, penulis cukup sering melihat utasan yang menggebu-gebu mengenai ganasnya patriarki, opini kesetaraan gender, hingga pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahkan tak jarang terjadi perdebatan antara pro life dan pro choice yang memiliki argumentasinya masing-masing.
Namun, di Indonesia yang konservatif, ide-ide feminisme kerap kali ditentang oleh kelompok-kelompok berbasis agama tertentu. Mereka menganggap bahwa ideologi feminisme sangatlah bertentangan dengan ajaran agama. Ide kesetaraan gender, menurut mereka, hanyalah isapan jempol yang berakar pada pemikiran-pemikiran Barat yang liberal.
Memang sudah lazim bagi kelompok konservatif di Indonesia untuk menyalahkan Barat. Narasi “liberal” selalu digunakan kelompok konservatif untuk konotasi-konotasi yang negatif. Padahal belum tentu mereka memahami apa itu liberalisme.
Sudah bukan hal baru bahwa ide-ide feminisme kerap kali dijegal. Lihat saja proses pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang selalu menghadapi tentangan dari kelompok-kelompok konservatif.
Mereka menganggap bahwa RUU PKS adalah RUU pro zina, dan digunakan untuk menekan kaum laki-laki. Ini bukanlah hal yang aneh mengingat betapa rendahnya kualitas literasi bangsa kita. Bangsa yang lebih cepat berkoar-koar daripada membaca terlebih dahulu.
Lantas, bagaimana feminisme bisa menjadi social trend di Indonesia di tengah kuatnya pusaran politik konservatif yang makin menekan?
Menurut penulis, hal ini tak lepas dari peran kaum konservatif itu sendiri. Mengapa? Tanpa adanya kelompok penekan, maka tidak akan lahir social trend yang baru.
Iklim politik yang memanas dalam tahun-tahun terakhir, di mana kelompok konservatif selalu menggaungkan politik identitas, memicu bangkitnya the silent majority. Rakyat sudah mulai muak dengan permainan kaum konservatif, yang sering mendiskriminasi kelompok gender tertentu. Hal ini berimbas pada terciptanya social trend yang baru, yakni feminisme.
Namun, penulis ingin menegaskan bahwa feminisme bukanlah hal baru di Indonesia, khususnya dalam gerakan aktivisme. Tentu sudah banyak aktivis-aktivis feminis di Indonesia yang memperjuangkan hak-hak kaum hawa sejak dulu.
Namun, bangkitnya gerakan feminisme akhir-akhir ini di media sosial tidak terlepas dari pernyataan seorang pemuka agama, yang dianggap melecehkan kaum wanita. Di mana, ia tidak setuju dengan RUU PKS, karena dianggap pro zina dan tidak sesuai dengan ajaran agama.
Bahkan ia sempat mengatakan, "Sampai kiamat nggak terima. Kalau hasrat (seks) sudah mau, ya mesti. Kalau sudah mau (seks), ya mesti, si istrinya mah diam aja, tidur aja, nggak sakit kok.”
Bagi kaum feminis, hal ini jelas merupakan penghinaan yang dalam. Bagaimana tidak? Pernyataan pemuka agama tersebut yang melegalkan seks tanpa konsen istri sama saja dengan pemerkosaan dalam rumah tangga. Hal ini jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali dengan cara apa pun.
Seketika pernyataan pemuka agama ini viral di media sosial dan menuai kritik dari berbagai kalangan, khususnya dari kalangan feminis. Berbagai pernyataan dan utasan dari aktivis feminis yang berisi kritikan dilontarkan dari media sosial masing-masing.
Ternyata, pernyataan aktivis-aktivis feminis menginspirasi netizen untuk mempelajari apa itu kesetaraan gender; apa itu feminisme; mengapa opresi terhadap kaum wanita harus dilenyapkan; dan lain sebagainya.
Bahkan, netizen juga menyadari pentingnya perlawanan terhadap kekerasan seksual, yang merupakan produk dari budaya patriarki di Indonesia. Di mana, wanita dianggap sebagai objek seksual yang harus manut dengan keinginan dan hasrat seksual pria.
Dampaknya, media sosial (dalam konteks ini, Twitter) menjadi makin ramai. Petisi untuk mendukung pengesahan RUU PKS dibentuk, dan kesadaran kaum wanita akan hak-haknya makin terang benderang.
Tak hanya itu, makin banyak netizen yang menyatakan awareness mereka mengenai fenomena cat calling, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga, yang sangat merugikan kaum wanita.
Sebenarnya, kasus di atas hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus. Misalnya, kasus pelecehan yang dialami Ibu Nuril, kekerasan yang dialami Israa Ghrayeb, fenomena cat calling yang dianggap wajar di Indonesia, dan banyak kasus lainnya.
Intinya, kesadaran dari netizen mengenai kesetaraan gender, pelecehan seksual, dan hak-hak wanita makin berkembang. Tidak hanya berimbas pada social trend yang baru, feminisme kini bisa jadi merupakan salah satu jalan untuk menangkal diskriminasi dalam ranah yang lebih luas.
Bagi penulis, mudah saja untuk memviralkan feminisme di Indonesia. Tindas saja mereka, bungkam saja mereka. Karena setiap kali suatu ide dibungkam, suatu paham ditekan, akan muncul silent majority yang baru, yang akan menyuarakan keadilan dan menciptakan suatu kesadaran dan menyebarkannya ke khalayak yang lebih luas.
Sehingga, feminisme justru makin bertumbuh dan berakar kuat di tengah kuatnya pusaran politik konservatif yang makin hari makin kehilangan taringnya.