Tulisan ini akan membahas mengenai sejarah feminisme di Prancis. Saya hendak menekankan penggunaan kata-kata “feminisme di Prancis, bukan feminisme Prancis”.

Kelompok feminis di Prancis cenderung kurang menghargai sebutan feminisme Prancis. Istilah "feminisme Prancis" adalah buatan kelompok feminis negara-negara berbahasa Inggris yang menurut Christine Delphy, tokoh feminis penting di Prancis, terobsesi untuk memberi nama tunggal pada feminisme di Prancis. 

Padahal, masih menurut Delphy, mereka tidak mengenal dan memahami feminisme yang sesungguhnya di Prancis, serta budaya dan mentalitas yang memengaruhi perkembangan feminisme di Prancis itu sendiri.

Asal-usul Istilah "Feminisme"

Tahukah Anda bahwa kata "feminisme" awalnya digunakan untuk menunjuk pada laki-laki yang feminin? Kata "feminisme" sejak abad 19 diatribusikan kepada Charles Fourier. Kesalahan ini dilanggengkan oleh kamus bahasa Prancis Robert. 

Mengapa orang-orang Prancis percaya bahwa Fourier yang mencetuskan istilah ini? Karena Fourier adalah penulis yang gemar neologisme. Selain itu, ia turut aktif dalam kemunculan gerakan feminis dan aktif berkontribusi semasa hidupnya dalam sejarah kesetaraan perempuan dan laki-laki serta kebebasan perempuan. 

Istilah "feminisme" sebenarnya pertama kali dipopulerkan oleh Alexandre Dumas-fils dalam maknanya yang pejoratif, dalam sebuah pamflet L’homme-femme (1872). Pamflet ini berisikan norma dan tradisi, perdebatan mengenai perzinaan, dan larangan perceraian. 

Di balik Fourrier sosialis feminis, sebenarnya ada Dumas-fils republik antifeminis, demikian pernyataan Genevieve Fraise. Pertanyaannya, apakah Dumas-fils memang antifeminis? Jawabannya tidak sesederhana itu; akan saya jelaskan dalam kesempatan lain.

Kata "feminisme" dipopulerkan oleh Dumas-fils. Tetapi pertama kali dicetuskan oleh Ferdinand-Valère Faneau, dalam disertasi kedokterannya di bawah bimbingan Prof Jean Lorain berjudul Feminisme dan Infantilisme pada Penderita TBC. Oleh sebab itu, sampai abad 20, istilah "feminisme" masih ditemukan pada kamus kedokteran.

Ferdinand-Valère Faneau menggunakan kata "feminisme" untuk menunjuk pada berhentinya perkembangan dan pada gangguan/kerusakan, gangguan virilitas pada laki-laki. 

Jadi, jika disimpulkan, dari segi politik, feminisme mengacu kepada perempuan yang ingin menyerupai laki-laki (menuntut kesetaraan). Dari perbendaharaan medis, mengacu kepada laki-laki dengan penampilan feminin.

Keduanya menunjuk pada jenis kelamin lain, (laki-laki ataupun perempuan) yang ingin meniadakan perbedaan seksual. Medis ataupun politik, istilah "feminisme" sepertinya digunakan ketika perbedaan seksual terancam. 

Baru pada tahun 1882, Hubertine Auclert menggunakan kata “feminis” dalam arti positif. Ia menggunakan kata ini dalam suratnya yang ditujukan kepada prefek di Seine.

Kronologi Status Perempuan di Prancis mulai Abad Pertengahan

Beberapa kondisi perempuan yang dapat dicatat pada masa kekristenan di abad pertengahan adalah: (a) perpisahan dilarang; (b) perceraian dimungkinkan dalam tiga kasus = steril, sedarah, suami/istri pernah kaul; dan (c) perzinahan dijatuhi hukuman. 

Tahun 1184 - 1680, Hukum Katolik membunuh mereka yang tidak mau patuh pada raja atau gereja, terutama perempuan yang diyakini tidak punya jiwa. 

Pada tahun 1364 - 1430, hiduplah Christine de Pizan, penulis perempuan pertama yang hidup dari penanya, menentang misogini dalam karya-karyanya. Para feminis modern menobatkannya sebagai peletak cikal bakal feminisme (proto-feminisme). 

Abad Modern dan Tuntutan-Tuntutan Awal

Pada tahun 1622, Marie de Gournay menuntut akses pendidikan yang lebih baik untuk perempuan dalam bukunya Kesetaraan perempuan dan laki-laki. Jika perempuan inferieur dibandingkan laki-laki, bukan dari sananya, tetapi akibat keterbatasan pendidikan yang mereka terima. Demikian kurang lebih yang disampaikan de Gournay dalam bukunya.

Perempuan, lajang, penulis, ia mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia kemudian mencari perlindungan dari kalangan raja dan bangsawan (Ratu Margot, Henri IV, Marie de Medicis, Louis XIII). Berkat hubungannya dengan kelompok penguasa, ia mendapatkan hak untuk memublikasikan sendiri karya-karyanya. 

Pada tahun 1673, pastor François Poullain de la Barre menentang subordinasi perempuan. Dengan metode cartesian, ia membuktikan bahwa pikiran tak berjenis kelamin: Perempuan sama cakapnya dengan laki-laki dalam berpikir, bernalar, dan bertindak, untuk dirinya sendiri dan dalam masyarakat. Ia menuntut pendidikan dan peluang karir yang setara untuk perempuan. 

Pada awal abad 18, perempuan bangsawan mulai mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi (dibungkus dengan acara kumpul-kumpul untuk minum teh/kopi dan maman camilan). Anggotanya kebanyakan pria; perempuan-perempuan ini menjamin kebebasan mereka. Pemikir-pemikir abad pencerahan berawal dari sini.

Masa Revolusi Prancis sampai Undang-Undang Napoleon

Pada tanggal 5 Oktober 1789, didorong oleh krisis ekonomi (harga kebutuhan pokok yang tinggi), ribuan perempuan berjalan kaki mendatangi Raja Louis XVI di Versailles. Jules Michelet, ahli sejarah Prancis, mencatat mengenai Revolusi Prancis: “Laki-laki merebut Bastille, dan perempuanlah yang menjatuhkan raja.”

Pada tahun 1791, perkawinan menjadi sipil (tidak lagi harus religius) dan dinyatakan sebagai kontrak antara dua pihak (ada ide kesetaraan di sini). Pada tahun yang sama, Olympe de Gouges menuntut kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki dalam Deklarasi hak-hak perempuan dan warga negara. Ia menyerukan bahwa perempuan lahir bebas dan memiliki kesetaraan hak dengan laki-laki. 

Dua tahun kemudian, Olympe de Gouges dipenggal kepalanya. Kelompok feminis meyakini bahwa penyebabnya adalah kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan. Tetapi alasan yang dinyatakan negara adalah bahwa ia mendukung Louis XVI. 

Pada tahun 1792, perceraian atas persetujuan kedua belah pihak diatur oleh undang-undang. Dengan perkataan lain, perceraian diperbolehkan, jika kedua belah pihak menghendaki. Pada praktiknya, persetujuan kedua belah pihak sulit didapatkan khususnya bila perempuan yang menginginkan perceraian. 

Pada tahun 1793, pemilihan umum diselenggarakan, tetapi perempuan belum diizinkan memilih. Statusnya dalam hal ini disamakan dengan anak, pekerja rumah tangga, dan penderita sakit jiwa.

Pada tahun 1804, Undang-Undang Napoleon (Code Civil Napoléonien) disahkan. Teks ini menjadi model bagi banyak negara-negara Eropa padahal membawa dampak buruk bagi status perempuan. UU ini mengatur kewajiban-kewajiban sebagai istri ini. 

Berdasarkan UU ini pula:

  1. Perempuan tidak cakap secara hukum; ia berada di bawah otoritas ayah/suami (perempuan lajang dan janda punya kapasitas hukum kecuali hak pilih). 
  2. Perempuan harus meminta izin suami untuk bekerja (sampai tahun 1965), mengikuti ujian atau mendaftar di universitas, membuka rekening bank, mengurus paspor, SIM, bahkan untuk dirawat di RS.