Pagi itu, saya baru saja membaca otobiografi Muhammad Hatta yang pada suatu bab menceritakan perjalanan Hatta Muda ke Eropa. Muhammad Hatta terkesima dengan budaya membaca masyarakat Eropa kala itu.

Peristiwa itu tepatnya terjadi di Marseille, Perancis ketika kapal yang akan membawa Bung Hatta ke Belanda menepi untuk sejenak. Bung Hatta berjalan-jalan keliling kota dan melihat satu pengalaman yang sangat baru yang tidak ditemui di negerinya, Hindia Belanda. Beliau heran dengan orang-orang Perancis yang membaca di mana-mana. Mereka membaca di halte, di restoran. Bahkan, ada yang membaca sambil berjalan.

Cerita itu kemudian mendorong saya untuk menelusuri lebih jauh tentang budaya membaca negara-negara di dunia. Hasilnya, peringkat teratas dunia dalam hal minat baca memang ditempati oleh negara-negara dari benua Eropa. Tiga teratas secara berurutan, yaitu Finlandia, Norwegia, dan Islandia. 

Perancis sendiri, yang dikunjungi oleh Bung Hatta waktu itu oleh The World's Most Literate Nations ditempatkan pada posisi ke-12. Posisi yang cukup tinggi jika bandingkan dengan Indonesia yang harus puas pada posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei.

Seolah tidak percaya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Connecticut State University itu, saya akhirnya memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Mencoba melakukan pembuktian secara empiris. Tentu saja dengan cara yang sederhana dan tanpa metode ilmiah yang rumit.

Saya berjalan-jalan di sekeliling Ambarukmo Plaza. Mall yang pernah menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Kota Yogyakarta itu, letaknya hanya selemparan batu dari kontrakan saya, alias nggak jauh-jauh amat. Tepat di depan Mall, terdapat cukup banyak tempat duduk. Semuanya penuh. Hanya saja, tidak ada satu pun yang memegang buku, apalagi membacanya. Saya sedikit mengernyitkan dahi dan berkata di dalam hati, "wajar saja, ini kan mall."

Merasa salah tempat, saya kemudian beralih ke sejumlah perpustakaan. Yogyakarta adalah kota seribu kampus (istilah saya sendiri),  dan tentu saja setiap kampus memiliki perpustakaannya sendiri. Lima perpustakaan kampus Negeri, ditambah dengan dua  perpustakaan milik Pemerintah setempat, sudah cukup membuat kita bisa berkunjung ke perpustakaan yang berbeda-beda setiap harinya.

Ketika memasuki perpustakaan-perpustakaan itu, saya sudah langsung tidak terima dengan hasil penelitian The World's Most  Litered Nations (WMLN). Bagaimana tidak, di mana-mana saya melihat orang membaca. Paling tidak, mereka sedang mengoperasikan komputer untuk mengerjakan sesuatu. Pengunjungnya ramai, tapi suasananya tetap hening. Tanda semua orang fokus pada pekerjaannya masing-masing.

Namun, saya mulai mengernyitkan dahi ketika berkunjung ke Grahatama Pustaka, perpustakaan terakhir yang saya kunjungi pada hari itu. Perpustakaan yang satu ini adalah yang paling megah dan paling mewah di antara semua perpustakaan yang pernah saya kunjungi. Koleksinya juga cukup lengkap. Bahkan, buku-buku kuno dan dokumen-dokumen pemerintahan zaman Belanda dapat kita temukan di sana.

Gedungnya besar dan indah. Tentu saja sangat instagramable. Bagian sisi kanan, kiri dan belakang gedung, dilengkapi dengan rumput sintetik yang enak sekali dipakai gulung-gulung. Namun, sebenarnya pada keindahannya itulah kelemahannya.

Baru saja saya memasuki area perpustakaan, saya sudah disambut dengan pemuda-pemudi yang ber-selfie ria di depan gedung. Ada yang meringis, ada yang mecucu. Manusia-manusia jenis ini agak sulit ditemukan di perpustakaan-perpustakaan lain. Tapi tidak di Grahatama Pustaka.

Masuk ke dalam ruangan, saya menemukan suasana yang lebih hebat lagi. Sejuk, nyaman, dan bersih. Pengunjungnya banyak, sayangnya tidak semuanya sibuk membaca. Ada yang mengobrol, ada pula yang hanya bermalas-malasan di atas bantal duduk sambil mendengarkan musik. Dan di situlah, saya mulai mengaminkan WMLN yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-36,5 dalam hal fasilitas perpustakaan, tapi di peringkat ke-60 dalam hal minat membaca.

Setelah merasa cukup puas berada di dalam perpustakaan, Saya memutuskan untuk pulang. Saya pulang dengan menggunakan Trans Jogja dengan harapan dapat menemui remaja-remaja yang membaca buku sambil menunggu datangnya bus. Saya ingin kembali tidak sepakat dengan penelitian yang saya kutip berkali-kali itu.

Namun lagi-lagi Saya tidak cukup beruntung. Saya justru bertemu lima remaja yang duduk bersebelahan, namun tidak saling bertegur sapa. Empat di antaranya sedang menunduk sambil mengetik sesuatu melalui ponsel pintarnya, dan satu lagi, sedang mengangkat ponsel untuk merekam suasana di sekelilingnya. Saya menduga, gadis itu sedang membuat Instagram Story dengan caption yang kurang lebih, "Kapan nih bisanya dateng?", atau "Duh boring lama banget bisnya."

Tak lama kemudian, bis dengan jurusan yang sesuai dengan arah saya pulang datang. Sambil menikmati perjalanan pulang, saya masih mencoba untuk tidak terima pada penilaian Dunia terhadap Indonesia. Saya yakin, anak-anak Indonesia dengan kemampuan membaca yang tak kalah hebat dengan orang-orang Eropa pastilah cukup banyak jumlahnya.

Orang-orang yang sibuk membaca di perpustakaan-perpustakaan tadi adalah contoh kecilnya. Saya cukup yakin mereka menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk membaca. Ketika menunggu bus, menunggu jemputan pacar, atau menunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang. Hanya saja, hari ini saya tidak cukup beruntung untuk melihatnya.