Etika profesi adalah hal yang biasa di dunia profesional saat ini. Profesi peneliti, misalnya, punya etika tidak boleh berbohong; sering kita dengar, "peneliti boleh salah, tapi tidak boleh bohong." 

Etika profesi bagi saya adalah sebuah kompas moral yang kita junjung dalam dunia profesional kita, yang menjadi penunjuk jalan kita di tengah melakukan pekerjaan sebagai profesional. Namun tidak halnya dengan profesi sebagai politisi, yang saat ini seakan-akan diperbolehkan melakukan apa pun untuk dinyatakan menang secara elektoral.

Bukan berarti lalu tidak ada kompas moral dalam profesi politisi. Saya bukan hendak berkata seperti itu. Kompas moral dalam profesi politisi tetap ada, seperti contohnya kampanye negatif atau kampanye hitam.

Sebutannya yang seperti itu menunjukkan adanya kesadaran moral bahwa kampanye yang dilakukan itu tidak baik. Juga sebutan politik uang atau sebutan politik identitas yang secara hukum dilarang tentu menjadi cerminan bahwa kompas moral tersebut ada. 

Namun beberapa saat belakangan ini, kompas moral tersebut rusak. Kompas tersebut berubah menjadi kompas menang. Artinya, jalan yang ditujukan bagi para politisi adalah selalu untuk menang. Tidak peduli bahwa mereka sedang melakukan degradasi moral pada masyarakat. 

Sebut saja para politisi yang rela menyebarkan hoaks demi kemenangan, membodohi masyarakat. Lalu yang terjadi beberapa tahun terakhir ini juga adalah pemeliharaan polarisasi politik di masyarakat dengan membenturkan beberapa identitas SARA yang dilekatkan pada kontestan pemilihan umum.

Keadaan seperti ini membuat saya berpikir kembali konsep etika profesi politisi: bagaimana jika kompas moral para politisi ini tidak dikendalikan? Bagaimana jika mereka yang melanggar etika malah mereka yang pada akhirnya menang dan memegang kekuasaan politik, ataupun kalah namun menggunakan modal politik yang dimilikinya untuk mendelegitimasi kekalahannya? 

Ini pertanyaan serius. Siapa yang akan melindungi masyarakat dari para politisi yang melanggar etika profesinya tersebut?

Masalah lain muncul saat lembaga yang mendapat mandat untuk menegakkan etika profesi para politisi ini malah dilegitimasi oleh kekuatan politik, diberi tekanan, dituduh juga melakukan pelanggaran etika dalam berkerja. Hal ini yang pada akhirnya membangun persepsi di masyarakat bahwa politik memang tidak bermoral; bukan hanya para politisi, tapi atribut politik lainnya pun mengesampingkan kompas moral. 

Saat itu masyarakat terbelah menjadi banyak fraksi. Fraksi yang terbesar adalah fraksi yang menjadi korban, baik yang sadar ataupun yang tidak sadar. Mereka yang tidak sadar dengan bangga membela politisi mereka yang tidak bermoral; mereka yang sadar memusuhi para politisi itu, namun terjebak dalam polarisasi dan memusuhi fraksi masyarakat korban tidak sadar tadi.

Politisi memiliki modal yang diberikan oleh masyarakat. Modal tersebut berupa kepercayaan dan cinta. Politisi yang dicintai oleh para pendukungnya mampu menggerakkan pendukungnya untuk bergerak. Beberapa pendukung bahkan mungkin rela menyerahkan jiwa dan raganya. 

Namun, tanpa kompas moral, modal tersebut mudah untuk disalahgunakan. Inilah letak bahaya ekosistem politik yang secara menahun tidak pernah menegakkan etika profesi. 

Dalam banyak contoh profesi, yang menegakkan etika adalah asosiasi profesi. Artinya, sesama profesional saling mengingatkan tentang kompas moral yang harus digunakan dalam kerja-kerja mereka. Dalam profesi politisi, ini artinya para pelaku politik harus bahu-membahu untuk menegakkan etika profesi politisi.

Lahir dari fraksi masyarakat apolitis yang menghindar dari politik karena terganggu dengan ekosistem politik yang tidak bermoral, Partai Solidaritas Indonesia memiliki standar moral yang tinggi dan mencetak politisi bermoral. 

Politisi PSI dilarang menggunakan politik uang, misalnya. Bahkan seluruh caleg PSI berkampanye tentang bagaimana jahatnya politik uang yang berujung pada korupsi. Politisi PSI dilarang menggunakan politik identitas. Karena kami sadar, politik identitaslah yang menjadi akar masalah intoleransi di negara Indonesia.

Sayangnya PSI belum mampu menyembuhkan luka hati masyarakat akibat kelakuan politisi tidak bermoral. PSI gagal mencapai threshold 4% pada pemilu legislatif. Pemilih PSI masih terbatas pada fraksi masyarakat yang mampu menilai moral politisi. 

Meski begitu, kami kembali menunjukan standar etika yang tinggi. Pada 17 April, kami langsung mengumumkan kekalahan kami, untuk menunjukkan bahwa bukan hanya hasil yang harus dihormati dalam kerja politik, tapi juga prosesnya. Dan kami merasa sudah melalui semua prosesnya dengan baik. Soal hasilnya belum seperti yang diharapkan, itu kami terima dengan lapang dada.

Berbeda dengan pemilu legislatif. Pada pemilu presiden, terjadi drama. Ironisnya, drama tersebut bisa dikategorikan pengkhianatan kepada kompas moral politisi yang mementaskannya. 

Sekali lagi saya tegaskan, saat politisi lebih mengikuti kompas menang daripada kompas moral, maka yang menjadi korban adalah masyarakat, dan saya sangat sedih juga marah melihat bagaimana bangsa Indonesia diadu domba. 

Saya rasa, sebagai sesama politisi, kami di PSI sudah berupaya mengingatkan, bahkan mencontohkan dengan pidato kekalahan kami. Bagi kami, tidak perlu ada setetes darah pun tertumpah dalam perjuangan politik, jika kerja politik dilakukan secara beretika.

Salam Solidaritas!