Seperti yang sudah sering kita dengar, pemanasan global membawa akibat buruk yang sangat serius bagi kehidupan manusia dan lingkungan di Bumi ini. Sejak jutaan tahun yang lalu, akibat pemanasan global mungkin akan menjadi yang terburuk dalam sejarah.

Bahkan tidak mustahil akan lebih buruk dari perkiraan para ilmuwan saat ini tentang segala macam bencana alam yang akan menghiasi lingkungan kita, seperti semakin banyaknya banjir terjadi, gempa bumi atau kenaikan permukaan air laut yang oleh sebabnya adalah mencairnya gunung es di kutub utara.

Kabar paling mengerikan tentunya perkiraan dari para ilmuwan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami “Penenggelaman 2000 Pulau kecil” pada pertengahan abad 21.

Suhu bumi yang semakin panas memekarkan laut, bongkahan es di kutub utara dan selatan serta pegunungan salju yang mencair menjadi penyebab naiknya permukaan air laut. Indonesia sebagai Negara kepulauan menjadi wilayah yang paling berpotensi terhadap bencana-bencana alam di kawasan pesisir.

Berdasarkan data dari Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim PBB (IPCC) beberapa tahun lalu, para ilmuwan memberikan gambaran dengan keyakinan 90% bahwa pemanasan global yang kita alami, khususnya dalam kurun waktu 50 tahun ke belakang adalah hasil dari ulah manusia.

Manusia dipandang tidak bisa menemukan formula yang tepat untuk selaras menjaga lingkungan, tak bisa menciptkan unsur lingkungan yang esensial bagi kehidupan.

Manusia hanya bisa mentransformasikan alam lingkungan menjadi produk yang dibutuhkan manusia, dan sedikit sekali di antara manusia yang terpikirkan untuk memahami cara kerja sistem ekologi agar kemudian tidak merusak dan menimbulkan berbagai macam efek negatif.

Dampak naiknya suhu bumi akibat perubahan iklim menyebabkan musim hujan semakin pendek tetapi intensif, sedangkan musim kemarau semakin panjang dan lebih cepat sehingga air semakin langka. Hal demikian jelas akan menyebabkan penyakit yang berkaitan dengan musim dan udara berfluktuasi tajam.

Penyakit klasik mewabah, seperti flu, demam berdarah dan malaria, sedangkan kemungkinan penyakit-penyakit baru juga akan ikut terus meluas. Kesehatan masyarakat menjadi bagian dari efek perubahan iklim yang akan sulit terhindarkan.

Perubahan iklim sebagai manifestasi dari pemanasan global yang dipicu oleh naiknya suhu bumi juga menyebabkan air permukaan cepat menguap dan menyulitkan tumbuh-tumbuhan yang perlu banyak air, perubahan iklim telah menyebabkan berbagai macam hama penyakit cepat melakukan perubahan-perubahan dalam mekanisme perkembangbiakan.

Hari-hari ini kita disibukkan oleh harga cabai yang melambung tinggi, sebab para petani di berbagai daerah yang mengalami kegagalan panen yang disebabkan oleh serangan hama penyakit tanaman.

Terlihat di sini, bagaimana perubahan iklim telah merembet pada masalah-masalah lain seperti sosial perekonimian masyarakat.

Food and Agriculture Organization (FAO) telah mengingatkan bahwa dampak negatif perubahan iklim pada pertanian akan lebih besar di kawasan tropis ketimbang pada kawasan lain di belahan dunia. Perubahan iklim akan semakin besar variasinya menjelang 2030 di kawasan tropis sehingga upaya pengendalian dampak harus disertai langkah “adaptasi” kehidupan dengan perubahan iklim.

Bertumpu Pada Gaya Hidup Hijau

Pola perilaku hidup Hijau atau “Go Green” adalah suatu tindakan atau gaya hidup berpola ramah lingkungan. Gaya hidup ini berupa tindakan dan kegiatan hidup sehari-hari untuk beralih ke energi berkelanjutan, beralih ke pola konsumsi ramah lingkungan.

Selain itu, membiasakan menanam pohon, menghindari buang sampah ke sungai, menggunakan transportasi publik untuk meminimalkan gas buang ke udara, menghemat sumber daya alam, serta tindakan lainnya yang bertanggung jawab terhadap ekosistem.

Dengan pola hidup seperti itu, manusia dapat melindungi lingkungan dan mempertahankan sumber daya alam untuk kelangsungan hidup generasi saat ini maupun generasi selanjutnya. Persis seperti tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan.

Sesuai dengan perkembangan zaman, pengertian tentang gaya hidup ramah lingkungan juga harus berubah. Ada beberapa hal yang semula dianggap sebagai tindakan yang ramah lingkungan lalu kini dianggap merusak lingkungan.

Misalnya, penggunaan bahan bakar bio (bioenergy) dengan sumber bahan baku tertentu, khususnya kelapa sawit, yang dulu dipakai sebagai bahan bakar alternatif, saat ini dipandang kurang ramah lingkungan. Karena, untuk membuat bahan bakar tersebut diperlukan lahan yang luas dan seringkali mendorong pembabatan hutan.

Dalam konteks ini, kepentingan hutan sebagai pelindung bumi terhadap pemanasan global harus lebih diutamakan, daripada memaksakan penggunaan bahan bakar bio bersumber kelapa sawit yang nilai tambahnya tidak seberapa dari pada efek dari pembabatan hutan.

Selain itu, penggunaan hasil panen untuk bahan bakar bio juga dapat menyebabkan keterancaman ketahanan pangan dunia.

Untuk menciptakan ingkungan yang hijau, nyaman, dan bebas dari polusi seperti sungai yang bersih, udara yang segar, kawasan pesisir pantai yang banyak diisi hutan mangrove, meningkatnya kesehatan dan sebagainya, perlu masyrakat yang disiplin dan “Melek lingkungan hidup”.

Etika hubungan manusia dengan lingkungan hidup harus bergeser dari Antroposentrism ke paradigma yang holisme, di mana manusia lebih arif dan bijak mengelola lingkungan.

Lingkungan dan manusia harus sinergis. Hanya dengan sikap dan perilaku itulah manusia dapat menatap cakrawala ke depan yang lebih indah, tanpa bencana alam yang menghantui. Selain itu, kesejahteraan dan perekonomian masyarakat dapat meningkat serta keadilan sosial dapat tercapai.

Sudah saatnya bijak dengan alam sekitar. Tuhan tak mungkin menitipkan alam ini kepada manusia hanya sekedar untuk dinikmati saja. Terlebih, merusaknya untuk kepuasan sesaat. Sudah saatnya kita mengedepankan etika lingkungan dalam menjaga amanah Tuhan ini.