Peminta-minta yang ada di Indonesia, bila kita mau melakukan konsensus, bukan tidak mungkin akan menemukan bukti yang mencengankan. 

Dilansir dari Kompas, Gunawan Sumodiningrat dalam tulisannya tersebut menjelaskan, apabila fenomena itu ditelaah melalui ilmu sosial, maka hal tersebut merupakan problem sosial. Terlampau banyak dan meningkatnya peminta-minta terjadi karena faktor ekonomi.

Berita Resmi Statistik menuliskan, angka kemiskinan di Indonesia per Maret tahun 2018 mencapai 25,96 juta orang (9,82 persen). Setidaknya tahun 2018 sedikit mending dibanding tahun 2017 yang mencapai  26,58 juta orang (10,12 persen). 

Pemandangan sudut kota yang dihiasi dengan peminta-minta seolah-olah hal yang lumrah dalam masyarakat. Mulai dari anak kecil hingga dewasa marak terlihat di jantung perekonomian kota. 

Mall, kios pedagang baju, dan pusat-pusat belanja sangat sering kita melihatnya. Bahkan meminta-minta ini dijadikan profesi karena hasilnya yang menjanjikan.

Aly Aulia dalam Jurnal Tarjih dan Tajdid yang terbit tahun 2016, menceritakan pengalamanya menemui peminta-minta (seumuran anak-anak)—di sekitaran Kantor Pos Besar Yogyakarta. Ia menanyakan perihal penghasilan yang didapatkannya. 

Cukup membuat kaget juga. Pasalnya dalam sehari bisa mendapatkan uang Rp100.000. Jika dikalkulasi selama 30 hari, maka penghasilannya per bulan sebesar Rp3.000.000. Penghasilan yang cukup besar seukuran anak-anak.

Saat penulis berkunjung ke Kudus dalam rangka wisata religi di pemakaman Sunan Kudus pada waktu lalu, melihat fenomena yang kurang pantas dilakukan oleh masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, mereka meminta-minta dengan cara memaksa serta tidak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor kepada pengunjung yang tidak memberikan uang. Ironis memang melihat hal yang demikian itu.

Aristoteles, sebagai salah satu tokoh filsuf Yunani yang terkenal pada saat itu hingga sekarang, mempunyai etika yang bisa diaplikasikan di era milenial seperti sekarang. Menuju kebahagian merupakan etika darinya. Bekerja dengan etos yang tinggi, kretif, dan inovatif salah di antara karakteristiknya.

Franz Magnis-Suseno dalam buku 13 tokoh etika menjelaskan, terdapat tiga pola hidup yang ditawarkan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, tidak menyamakan kebahagiaan dengan harta yang berlimpah yang berlimpah, tapi lebih kepada bakat yang dimilki. 

Kedua, bukan mencari kenikmatan dengan cara yang sederhana (meminta-minta). Ketiga, mengembangkan diri sesuai bakat dan minat yang dimiliki.

Di sini Aristoteles menekankan, jangan hanya mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Hal demikian identik dengan meminta-minta yang terlampau gampang mencari uang tanpa bekerja keras.

Dikutip dari detikNews, salah seorang pengemis yang tinggal di Kota Sumenep, Jawa Timur sanggup menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi jurusan kedokteran dan memiliki 4 ekor sapi serta memilki rumah dengan perabotan mewah dari hasil mengemis/meminta-minta. Bahkan dari mereka ada yang sudah menunaikan haji dari hasil mengemis/meminta-minta.

Etika Aristoteles atau sering disebut eudemonisme sebenarnya ingin mengarahkan manusia ke hidup yang bermakna, memuaskan, positif, dan bermutu. Selain itu, etika Aristoteles juga disebut dengan etika universalistik karena bukan memperhatikan akibat pada umumnya saja, akan tetapi juga akibat pada pelaku.

Sebagian orang ada yang menganggap etika Aristoteles sebagai etika egois. Anggapan yang kurang tepat jikalau demikian. Egois di sini bukan serta mengandung makna memikirkan dirinya sendiri, tapi juga masyarakat tanpa mengurangi hak untuk dirinya. Di situlah hubungannya dengan pengembangan keterampilan yang dimiliki.

Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana menerapkannya? 

Di dalam pendidikan usia dini, para pendidik mendorong pengembangan diri yang dimiliki masing-masig individu. Apabila anak didik berpotensi dan memiliki bakat di bidang olahraga sepak bola, musik, seni, maupun sebagainya, maka pemerintah lewat pendidikan guru harus mengembangkannya.

Setelah penempaan bakat dan minat, maka timbullah phronesis. Phronesis bukanlah suatu yang dapat diajarkan, namun datang sendirinya setelah orang tersebut memahami sikap etis. 

Sikap etis itu apa? Merujuk pemaparan di atas, sikap yang memahami dan mengembangkan dirinya sesuai kemampuan minat dan bakat tanpa ada dasar apa pun dengan senang hati.

Menariknya dalam etika Aristoteles, manusia diharuskan mencintai pekerjaan apa pun yang ditekuninya tanpa ada dasar-dasar tertentu (pengecualian meminta-minta). Beralih pada perilaku meminta-minta, di saat mereka sedang merasakan enaknya perilaku negatif tersebut, tentu mereka akan tidak mau bila disuruh berhenti.

Pertama, mudah menghasilkan uang yang banyak dalam seharinya. Kedua, tidak adanya keterampilan membuat mereka terpaksa melakukan perilaku tersebut. Ketiga, turunan dari orang tua. Faktor ketiga inilah yang memengaruhi mentalitas anak. Anak meniru pola hidup orangtua yang akan cenderung tidak mempunyai cita-cita yang tinggi dan mengesampingkan keterampilan yang ada pada dirinya.

Sekolah-sekolah di Indonesia perlu menerapkan etika Aristoteles ini. Kita tahu bersama, sekolah di Indonesia kebanyakan masih mendewakan nilai rapor maupun nilai ijazah yang baik. 

Modal itu saja sebenarnya tidak cukup, anak didik juga harus dibekali keterampilan dalam bekerja. Sehingga menghindarkan mereka dari meminta-minta apabila sedang membutuhkan keperluan. Karena memang dengan itu pemerintah bisa mengatasi problem sosial ini.

Referensi:

  • Aulia, Aly. 2016. “Fenomena Anak Jalanan Peminta-minta Dalam Perspektif Hadis”, Tarjih,   Vol, 12, No. 1, hlm. 1—13.
  • Detiknews, "Dikenal Desa Pengemis, Warga Mampu Sekolahkan Anak ke Kedokteran" dalam http://m.detik.com, diakses tanggal 20 Januari 2019.
  • Marhaeni, Harmawanti. 2018. Berita Resmi Statistik. Jakarta: BPS.
  • Suseno, Franz Magnis. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.