Tepat pada tahun 570 M, dan umat Islam menyebutnya bulan Rabiul Awal, Nabi Muhammad SAW dilahirkan di kota Mekah, di bagian selatan Jazirah Arab. Umat Islam menyambutnya dengan penuh bahagia dan sukacita karena Rasulullah merupakan anugerah dan nikmat yang paling agung yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Rasulullah tidak hanya menjadi rahmat dan keberkahan bagi suatu kaum dan suatu zaman, melainkan untuk seluruh kaum dan semua zaman.
Berasal dari keluarga yang sederhana, Rasulullah menegakkan dan menyebarkan agama Islam. Agama yang mampu membawa perubahan, dari dunia yang gelap menuju dunia yang terang benderang. Maka tidak berlebihan ketika umat Islam menyambut bulan kelahiran Rasulullah dengan beragam perayaan yang sangat mewah dan spektakuler.
Di setiap masjid, musala, dan bahkan di rumah-rumah masyarakat diselenggarakan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Umat Islam berkumpul dalam satu majelis sebagai ekspresi kebahagiaan atas kelahiran Rasulullah, dari anak-anak sampai orang tua, dari yang miskin sampai yang kaya, semuanya tanpa terkecuali berkumpul dalam satu majelis dan satu tujuan, yaitu untuk dzikra maulidi ar-Rasul SAW.
Di tempat majelis maulid-an itu tidak ada sekat, antara yang pejabat dan bukan pejabat, antara yang konglomerat dan kaum fakir-miskin, juga antara si bodoh dan si pintar. Nilai-nilai egalitarianisme nampak sangat jelas dalam perkumpulan tersebut.
Yang paling mencolok mata adalah keakraban di antara para hadirin di tengah-tengah majelis maulid tersebut, yaitu keakraban antara orang-orang dan kelompok-kelompok yang selama ini mengklaim dirinya paling NKRI dan paling islami, antara kelompok yang dianggap radikal dan menganggap moderat, hingga perbedaan warna politik.
Seakan ketegangan yang selama ini sering kali terjadi di antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat itu mereda seketika. Iya, mereda di bawah semangat kecintaan pada Nabi Muhammad SAW, nabi yang mampu membangun keakraban di antara kabilah-kabilah yang acap kali bertikai berebut kuasa di Jazira Arab tempo dulu.
Dalam majelis perayaan maulid Nabi tersebut, mereka bersama-sama menyenandungkan qasidah-qasidah nabawiyah serta mendengarkan dengan penuh hikmat dan kerendahan hati sejarah sirah nabawiyah dari para ulama, juga kiai. Rupanya mereka sama-sama bahagia merayakan maulid Nabi Muhammad SAW tanpa peduli dari mana saja mereka berasal. Mereka hanya peduli bahwa saat itu mereka hanya berekspresi atas kecintaannya kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Menurut hemat saya, sudah saatnya melalui momen peringatan maulid Nabi Muhammad SAW ini keakraban di antara sesama umat Islam, entah dari kelompok suku, golongan politik mana ia berasal, harus segera dibangun. Peringatan maulid Nabi tahun ini harus menjadi momentum persatuan dan kesatuan, bukan malah saling gontok-gontokan dan kafir mengkafirkan karena hanya perbedaan berpolitik.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW dahulu membangun persatuan dan kesatuan di antara umat yang terpecah belah akibat berebut kuasa serta beda kepercayaan, aliran, suku serta agama, sehingga keakraban-keakraban atau ukhuwah dalam terminologi agama mudah terbangun.
Keterpecahan umat (Islam) hari ini sudah menjadi rahasia umum. Akibat beda pendapat, beda kelompok, serta beda aliran, mereka bangga saling menghujat, memfitnah, mengkafirkan dan saling menebar kebencian. Padahal hal itu sangat jauh dari sikap serta sifat Nabi Muhammad SAW yang kita banggakan itu.
Sungguh ironis kondisi yang demikian. Masihkah kita mau mengaku cinta dan bangga sebagai umat beliau jika di satu sisi kita gemar menebar kebencian dan permusuhan di antara sesama umat Muhammad SAW? Perayaan maulid Nabi hanya menjadi kegiatan serimonial yang tanpa bekas dan kemaslahatan-kemaslahatan.
Perlu diketahui bahwa peradaban sebagaimana yang pernah dibangun umat Islam pada masa-masa kejayaannya dibangun bersama-sama. Mereka saling “bertaawanu”, meminjam bahasanya Bung Karno, bergotong-royong. Bukan dibangun sendiri-sendiri, sebagaimana yang lazim ditunjukkan umat Islam akhir-akhir ini.
Coba momen pembentukan kota Madinah oleh Nabi Muhammad SAW itu kita jadikan bahan inspirasi untuk membangun peradaban bangsa ini. Dahulu, bukan tidak ada perbedaan, tetapi perbedaan tersebut dirangkul, didamaikan serta dirukunkan oleh Rasulullah, sehingga terbangun keakraban-keakraban. Bukan malah dihancurkan dan diingkari.
Jika keakraban itu bisa terbangun di majelis-majelis perayaan maulid Nabi Muhammad, seharusnya, ia juga bisa terbangun di luar majelis-majelis maulid. Karena keakraban di antara sesama umat Nabi Muhammad ini penting bagi perkembangan bangsa Indonesia yang lebih beradab, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dulu.
Jika keakraban benar-benar terbangun melalui momen perayaan maulid Nabi Muhammad SAW ini, maka negara yang dicita-citakan bersama, yaitu “baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur” akan segera tercapai dan bisa dinikmati bersama.
Mari, negara yang dibangun dengan perjuangan para ulama dan pahlawan yang berdarah-darah hingga gugur ini jangan kita hancurkan dengan pertikaian-pertikaian yang berdarah-darah pula. Terlalu berharga jika negara ini hancur akibat keegoisan dan keserakahan kita, sebagai umat dan bangsa yang gemar mengklaim dirinya paling benar.