Alienasi atau keterasingan merupakan sebuah konsep yang digagas oleh Karl Marx pasca revolusi industri yang mengguncang Eropa karena kapitalisme. Karl Marx memopulerkan intilah elienasi dalam karyanya “Economic and Philosophical Manuscript” tahun 1844 sebagai penjelasan atas keterasingan seseorang dari sifat sejati kemanusiaan mereka.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk kreatif yang menciptakan bentuk dari material yang mana mereka dapat mewujudkan jati diri mereka ke dalam apa yang mereka buat.
Kondisi alienasi, menurut Marx, muncul dalam sebuah kondisi kultural. Marx memberikan contoh kondisi kultural didasarkan pada pengamatanya dalam produksi industri yang muncul dalam kapitalisme. Seolah tidak dapat dihindari lagi, bahwa para buruh kehilangan kontrol atas diri mereka sendiri. Sekali dua uang dengan Erich Fromm yang membahas alienasi seolah hal tersebut merupakan suatu fenomena tunggal.
Fromm menggunakan istilah alienasi untuk mengkarakterisasikan berbagai relasi yang mungkin dari seorang dengan dirinya sendiri, orang lain, alam, pekerjaan dan berbagai hal. Dengan berbagai cara, dirinya menisbahkan alienasi sebagai suatu relasi dan bentuk pengalaman untuk mencapai bentuk tertentu. Dan terkadang ia membahas seraya menukarkan alienasi dengan suatu 'pemujaan', 'birokratisasi', dan lainnya (Schacht, 2009:160).
Dihadapkan dengan melimpahnya penggunaan istilah di atas, prosedur terbaik tampaknya berfokus pada penggunaan yang paling sering muncul dalam bahasan Fromm, yaitu pembahasan alienasi atas hubungan seorang manusia kepada dirinya sendiri, orang lain, alam, kepercayaan dan cara yang berbeda atas masyarakat. Dan dalam tulisan ini, titik tekan berada pada alienasi atas hubungan manusia dengan masyarakat.
Erich Fromm sering membicarakan tentang masyarakat dan budaya sebagai hal yang teralienasikan. Namun Fromm tidak seperti Hegel yang mengarakterisasikan pemisahan dari masyarakat, yaitu tatanan sosial, ekonomi, agama, politik dan budaya dalam pengertian alienasi. Ia secara khusus membicarakan tentang alienasi dalam masyarakat modern, bukan dari masyarakat modern tersebut.
Ketika Fromm mengatakan bahwa masyarakat teralienasi, yang ia maksud masyarakat tersebut terstruktur sedemikian rupa sehingga cenderung menjadikan individu-individu teralienasi dalam berbagai aspek ini.
Seperti pendapat Marx, Fromm juga berpendapat bahwa alienasi manusia dapat diatasi hanya melalui perubahan-perubahan yang serentak pada hampir semua bidang tatanan sosial, ekonomi, agama, politik dan budaya. Fromm berpendapat bahwa suatu pengorganisasian masyarakat harus diciptakan jika ingin mewujudkannya (Schacht, 2009: 175).
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Aliran Kepercayaan dalam masyarakat Indonesia saat ini merupakan suatu kenyataan dari kehidupan spiritual masyarakat sejak dahulu. Baik diterima atau tidak dalam masyarakat, toh praktik ini terus tumbuh dengan subur.
Kejawen salah satunya dan hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat atau kepercayaan Jawa, maka Ilmu Kejawen dapat diterjemahkan sebagai ilmu yang terlahir dari budaya, tradisi dan filosofi masyarakat Jawa itu sendiri.
Banyak orang menyalahartikan aliran kejawen sebagai sebuah agama, sehingga tidak sedikit yang berpendapat bahwa mengamalkan Ilmu Kejawen merupakan perbuatan syirik. Padahal para pelaku ajaran kejawen tidak menganggap ajaran yang dianutnya sebagai sebuah agama, melainkan sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi sejumlah lelaku.
Karena kejawen bukanlah sebuah agama, maka dalam ajarannya tidak dikenal kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memperluas ajaran, seperti dakwah atau misi.
Seperti halnya dalam peraturan Menteri Agama no. 9/1952/pasal 4 yang menyatakan bahwa Aliran kepercayaan merupakan suatu bentuk budaya keterbelakangan yang masih mengacu pada kepercayaan nenek moyang. Dan juga penafsiran dari undang-undang pasal 29 tahun 1945 yang secara tidak langsung memisahkan antara Aliran kepercayaan dan Agama.
Undang-undang tersebut merupakan wujud ketidakpedulian Negara terhadap Aliran kepercayaan di Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut berimbas kehidupan sosial penganut Aliran kepercayaan seperti halnya masalah terkait dengan administrasi negara yang terkesan mendiskriminasikan penganut Aliran Kepercayaan.
Selain itu, lebih lanjut lagi terkait dengan kehidupan sosial penganut Aliran Kepercayaan yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sekitar yang notabene adalah pemeluk agama mayoritas (Ulumuddin, 2016: 92).
Menggunakan kacamata Erich Fromm, melihat hal ini bukan hanya tidak menghargai unitas dengan tatanan sosial, ia pun mengatakan dengan empatis. Ia memang menggunakan istilah alienasi ketika membahas hubungan individu dengan masyarakat dalam bentuk yang tidak disetujuinya.
Namun, hubungan ini tidak bersifat secara keseluruhan, seperti halnya pada Hegel, tetapi lebih bersifat konformitas atau untitas yang lengkap. Justru, bagi Fromm, orang yang benar-benar menyatu dengan tatanan sosial dapat dikatakan teralienasi dan alienasinya adalah alienasi dari dirinya sendiri.
Aliran kepercayaan tidak termasuk dalam kategori tersebut, sebagai suatu bentuk agama melainkan budaya masyarakat. Oleh karena itu, agama lokal atau Aliran kepercayaan berstatus belum agama yang berujung pada stigma negatif yang berkembang di masyarakat seperti halnya sesat, terbelakang dan kuno. Istilah belum beragama ini seolah-olah menjadi acuan dalam menetapkan baik dan buruk seseorang.
Fromm berpendapat bahwa meskipun kita tidak hidup dalam masyarakat otoriter dan dipaksa oleh siapa pun untuk bertindak, sedikit banyak tindakan konformitas seperti yang dilakukan orang-orang yang berada dalam masyarakat otoriter yang intens.
Dalam pandangannya, hal ini merupakan puncak alienasi dari dirinya sendiri. Sebab, ketika seseorang mengadopsi secara total jenis personalitas yang ditawarkannya oleh pola-pola budaya, orang tersebut tidak menjadi dirinya sendiri lagi.