Homo Economicus, isitilah ini sudah dikumandangkan Ribuan Tahun Lalu oleh salah seorang filsuf Yunani. Pengamatan empirik pada zaman itu, kemudian menghasilkan satu kesimpulan yang sampai saat ini masih relevan, Yakni manusia selalu melakukan perilaku-perilaku yang berujung pada meruap keuntungan.

Menurut Fromm, salah satu mekanisme ekonomi yang tertua adalah Barter, secara esensial pasar local tradisional berbeda dengan pasar yang tumbuh berkembang dalam kapitalisme modern, barter di sebuah pasar local menawarkan kesempatan kepada orang-orang untuk bertemu demi tujuan pertukaran barang-barang niaga.

sedangkan dalam pasar modern tidak lagi Terbatas pada tempat untuk bertemu namun lebih luas dari ini, aktivitas produksi dalam pasar modern bukan lagi untuk memenuhi Nilai Guna namun lebih berfikus ke Nilai Tukar artinya bahwa orang memproduksi untuk pasar ini, bukan untuk sebuah lingkungan konsumen yang sudah dikenal, namun produksi didasarkan pada permintaan pasa, (Fromm, 2020:88-89).

Hal ini sudah menjadi karakter dasar dari manusia untuk survive. Dalam buku Erich Fromm yang berjudul Man For Himself ia menguraikan tipe-tipe karakter manusia. Ada yang Produktif dan Non Produktif.

Kaitannya dengan perilaku ekonomi manusia, Fromm mengkategorikan nya sebagai karakter Non Produktif, berbagai tipe karakter ditentukan berdasarkan orientasi, seperti Orientasi Reseptif, Orientasi Eksploitatif, Orientasi Menimbun dan Orientasi Pasar.

Homo Economicus masuk dalam tipe Karakter Orientasi Pasar.

Orientasi pasar berkembang sangat pesat dan dominan di zaman modern, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, untuk memahami orientasi ini, orang harus mengenali fungsi ekonomi pasar dan mekanisme pasar seperti yang telah dijelaskan di atas.

Pasar Kepribadian

Jikalau dulu pemahaman Homo economicus hanya sebatas pada keterlibatan manusia dalam system ekonomi pasar, yang berkutat pada produsen yang menghasilkan produk dan konsumen mengkonsumsi produk, dalam hal ini manusia hanya sebatas pelaku dan terpisah secara otonom dari produk yang dijual.

Namun menurut penulis, dalam perjalanannya istilah ini telah mengalami pelebaran makna nya dan ini merupakam akibat dari fenomena-fenomena baru dalam pasar modern.

Manusia menjadi sistem pasar itu sendiri, produk tidak lagi berdiri di luar diri manusia namun menyatu artinya manusia menjadi produk itu sendiri dan sosial media seperti Instagram, Facebook, Youtube dan lain-lain menjadi platform untuk berdagang.

Fenomena ini yang diisitilahkan oleh Eric Fromm sebagai “Pasar Kepribadian”. Prinsip yang terdapat dalam model pasar ini sama seperti pasar konvensional pada umumnya yakni nilai tukar. Lantas apa yang diperdagangkan dalam pasar ini? Menurut Fromm yang menjadi produk dalam pasar ini ialah Perilaku / Kepribadian.

Kesuksesan secara luas bergantung pada bagaimana baiknya seseorang menjual dirinya di pasar, bagaimana bagusnnya dia mendapatkan percampuran kepribadian, bagaimana indah nya sebuah “bungkus” diri, apakah dia “periang”, “ceria”,”dapat dipercaya” semua ini pada akhirnya berujung pada Hukum permintaan pasar.

Fakta sukses tidak cukup dengan hanya memiliki kecakapan dan perlengkapan untuk melaksanakan sebuah tugas tertentu , namun bahwa orang harus dapat  “mengarahkan” kepribadiannya dalam bersaing dengan orang lain membentuk sikap terhadap diri seseorang.

Pada kesimpulannya, “kepribadian” manusia “layaknya barang dagangan”.

Fromm menganalogikan nya ibarat sebuah tas di sebuah toko misalnya mereka dapat berpikir dan merasakan, masing-masing tas berusaha menjadi yang terbaik agar dapat merangsang pelanggan dan tampak semahal mungkin agar beroleh harga yang lebih tinggi dari pesaingnya , tas yang dijual dengan harga tertinggi akan merasa bahagia dan merasa paling bernilai dan tas yang tak laku akan merasa sedih dan percaya akan ketidakberharganya dirinya, nasib dapat menimpa tas yang terbaik dalam penampilan dan kegunaanya.

Kehilangan Kesejatian

Uraian di atas merupakan fakta yang ditemukan beranda-beranda media sosial saat ini, pada fase ini manusia akan kehilangan kesejatiannya / kediriannya, perasaan tentang diri yang sering diungkapkan dengan arti “Aku Adalah Apa Yang Aku Buat” namun dalam pasar kepribadian ungkapan ini berubah menjadi “Aku Adalah Sebagaimana Kau Menginginkan Aku”.

Kehilangan kesejatian ini juga pernah diresahkan oleh Henrik Ibsen yang diuraikan dalam Peer Gynt, penjelasannya “Peer Gynt mencoba menemukan dirinya, dan dia mendapati  betapa dia seperti sebutir bawang, lapis demi lapis bisa dikupas habis dan tak ada inti yang dapat ditemukan, selama manusia tidak dapat hidup, dengan meragukan identitasnya , maka dia harus, dalam orientasi pasar, beroleh pendirian identitas melainkan dalam pendapat orang lain mengenai dirinya. Gengsi, status, kesuksesan, fakta bahwa dia dikenal orang lain sebagai seorang tertentu,adalah pengganti bagi perasaan tentang identitas sejati”.

Selain Ibsen, adapula Sartre salah seorang filsuf kontemporer asal perancis yang merisaukan hal yang sama, dalam gagasan eksistensialisme nya, Dia menyatakan bahwa “Eksistensi Mendahului Esensi”.

Gagasan inilah yang kemudian melahirkan istilah “orang lain adalah neraka” sebab kita bertindak untuk menjadi ini atau itu karena adanya orang lain, dalam pengertian lain setiap hal dari kita merupakan akumulasi dari pandangan orang ke kita.

Pada akhirnya kebahagiaan sejati tidak dapat ditentukan oleh diri sendiri melainkan hal di luar diri kita yakni orang lain, seseorang tidak dapat memusatkan perhatiannya pada kehidupan dan kebahagiaan melainkan pada keadaan yang dapat dijual.

Seperti analogi tas di atas bahwa sebuah tas yang terbaik dalam penampilannya dan kegunaannya dapat merasa tak bernilai karena tak dibeli sama pelanggan, padahal penampilannya yang baik dan kegunaannya ini yang membuat Tas tersebut bernilai.

REFERENSI :

Eric Fromm, (2020). Man For Himself (Manusia Untuk Dirinya Sendiri). IRCiSoD : YOGYAKARTA