Keberadaan media sosial dari dulu hingga kini dirasakan sangat berarti oleh sebagian masyarakat. Sarana komunikasi alternatif dan menarik adalah salah satu alasannya, sama halnya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Didukung dengan kelengkapan fitur atau alat yang dapat meng-update disetiap sisi kehidupannya.

Tanpa disadari telah muncul fenomena unik yang tumbuh di kalangan publik. Media sosial saat ini dijadikan sebagai alat komunikasi yang mampu meningkatkan harkat dan martabat seseorang ataupun kelompok suatu masyarakat. Fenomena ini muncul ketika media sosial seperti instagram, facebook, twitter dan lain sebagainya berada di genggaman seseorang atau suatu kelompok masyarakat.

Harkat dan martabat seseorang atau sebuah kelompok masyarakat menganggap dan mempercayai melalui pengakuan keberadaan dirinya dimedia sosial dapat meningkatkan eksistensi dan elektabilitasnya. Sebagai contoh saat ini para pengguna instagram ketika dihadapkan follower baru, maka sebagian besar mereka akan mengatakan “follback ya” atau untuk mengikutinya jika tidak di tanggapi maka akan di “unfollow”.

Sikap pengguna akun tersebut tumbuh dan berkembang, salah satunya dikarenakan muncul suatu kekhawatiran atas keberadaannya didunia maya. Hal ini disebabkan semakin banyak follower maka semakin baik elektabilitasnya atau ekistensinya didunia maya. 

Kekhawatiran tersebut dirasakan oleh masyarakat di Benua Eropa yang di jelaskan dalam sebuah riset yang mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat membuka aplikasi media sosial rata-rata perharinya, minimal tiga kali per hari dalam satu genggaman.

Hasil riset tersebut membuktikan bahwa munculya sikap ingin saling mengetahui perkembangan dari kehidupan orang lain.

Pernah ngga merasakan atau berfikiran, saat kita menjadi sebuah penggemar kepada artis tertentu dan kita ingin melihat kehidupannya sehari-hari kita perlu mengikuti akun media sosialnya?. Tentunya pernah kan. Dengan mencari disebuah aplikasi media sosial, sebagian besar mengatakan bahwa akun yang asli adalah akun yang mempunyai follower’s yang banyak. Bahkan jutaan pengguna akun yang mengikuti artis tersebut.

Adapun fenomena lainnya adalah sebagian pengguna instagram mempercayai dan menanggap bahwa dengan membeli follower dan like di salah satu agen penyedia layanan maka akan menambah elektabilitas dan eksistensinya di media sosial. 

Terdapat fenomena telah muncul dengan cara-cara baru untuk meningkatkan suatu karirnya, dengan cara menghubungi satu persatu teman atau kerabatnya untuk turut memberikan like, komentar pada suatu laman status pencapaiannya yang berujung pada sebuah pengakuan publik.

Bahkan media sosial saat ini sudah dijadikan sebagai alat politik untuk mengetahui elektabilitas dan eksistensi suatu partai politik atau tokoh tertentu. Hal ini dipercayai oleh salah satu Televisi Swasta yang ada di Indonesia sebagai tolak ukur dari partai politik akhir-akhir ini.

Dengan hal ini dapat dianalisis bahwa media sosial saat ini sudah muncul seperti kasta media sosial. Sebagaimana definisi dari kasta menurut KBBI ialah golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat.

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Era Digital saat ini. Kasta di media sosial terus tumbuh dan berkembang dan membudaya pada generasi muda saat ini. Telah muncul kepercayaan kelas-kelas sosial seperti kelas elit, kelas menengah, dan kelas bawah. 

Kelas elit merupakan sekumpulan individu atau kelompok masyarakat yang terkenal atas pengakuan dikhalayak publik seperti jumlah follower diatas 10.000 akun. Kelas menengah mempunyai jumlah follower dibawah 10.000 akun, serta kelas bawah yang berjumlah 1.000 akun yang mengikutinya.

Jika semakin banyak kuantitas yang merespon suatu keberadaannya dimedia sosial maka akan semakin meningkatkan harkat dan martabatnya di media sosial. Ditandai banyak fakta yang dimana para pengguna saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan dari khalayak publik.

Tentunya kasta media sosial ini akan membangun pola kehidupan yang baru. Pola kehidupan tersebut akan mengarahkan kepada masyarakat yang saling bersaing untuk mencari sebuah pengakuan dari pengguna aplikasi. Peristiwa ini sering disebut “haus pengakuan publik”.

Kasta media sosial ini untuk dunia bisnis juga tidak jauh berbeda. Akan tetapi kasta tersebut dapat dijadikan strategi dalam berjual beli suatu produk. Sederhana saja, tips untuk dapat melihat sebuah akun yang berkualitas salah satunya adalah kita sebagai pengguna harus teliti agar tidak terjebak dalam suatu penipuan dalam suatu produk.

Tipsnya yang pertama, kita kunjungi terlebih dahulu akun suatu produk. Kedua, kita dapat melihat follower dan following-nya perbandingannya wajar atau tidak. Ketiga, kita dapat melihat postingan atau update suatu produk dari suatu laman. Jika antara followernya banyak tetapi yang menyukai atau “like” nya tidak berbanding terbalik maka bisa dijadikan rekomendasi produk. 

Keempat, kita dapat memantau siapa saja yang terlibat yang mendukung produk tersebut. Kelima, jika membeli produk tersebut segera rasakan manfaatnya apakah sesuai dengan manfaat yang ditawarkan di akun media sosial. Hal ini dapat dijadikan tips sederhana untuk generasi muda agar lebih selektif dalam memilih sebuah produk di media sosial.

Ada sisi positif dan negatif dengan munculnya fenomena ini. Sisi positifnya, jika dimanfaatkan dalam dunia bisnis akan meningkatkan dan membuka lapangan pekerjaan baru berbasis digital sehingga berujung pada meningkatnya penghasilan suatu masyarakat. Positif lainnya dapat dijadikan sebagai media promosi alternatif, menarik, dan efisien terhadap penawaran suatu produk. 

Sisi negatifnya, Jika kasta media sosial ini digunakan untuk kepentingan indivisualistis dalam suatu masyarakat maka cenderung akan tumbuh suatu sikap memandang sebelah mata antar teman, kerabat, dan kelompok masyarakat. Karena dengan semakin banyak follower maka akan muncul perasaan atau pemahaman “haus pengakuan publik”.

Yang berarti bahwa jika tidak banyak yang melihat dirinya maka akan semakin kecewa. Begitu pula sebaliknya jika suatu pencapaiannya semakin banyak yang nge-like dan nge-view maka akan semakin bangga atas dirinya. Selain itu, sisi negatif ini juga seringkali dijadikan bahan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab diluar sana untuk dijadikam bahan isu hoax yang berujung pada konflik sosial seperti problematika yang terjadi akhir-akhir ini.

Selain itu, terdapat pandangan bahwa semakin banyak follower dibanding following maka akan semakin tinggi harkat dan martabatnya. Tidak heran banyak aplikasi-aplikasi pendukung untuk mendeteksi akun-akun yang unfollow. Kebanggaan-kebanggan itu akan muncul perasaan negatif pada diri seseorang.

Kasta di media sosial seperti pada umumnya, hanya saja kasta berada dimedia sosial ini tidak diturunkan secara turun temurun dan bukan berasa dari sebuah adat tertentu. Fenomena tersebut memberikan kelas-kelas masyarakat maka semakin banyak pengikut sebuah akun dan semakin sedikit yang diikuti maka akan semakin tinggi eksistensinya. Begitupula sebaliknya.

Tidak heran hangat-hangat ini telah beredar konflik yang berujung pada disintegrasi bangsa. Seperti permasalahan adu domba, SARA, isu hoax, cyber bullying, pencitraan, dan semakin beragam permasalahan lainnya. Tentunya ini harus menjadi perhatian seluruh masyarakat, untuk saling menjaga silaturahim antar masyarakat.

Jalan tengahnya kita sebagai pengguna akun media sosial sebaiknya menggunakan fungsi sebagaimana mestinya atau bijak dalam penggunaannya. Gunakanlah media sosial sebagai media untuk menyebarkan informasi kebermanfaatan untuk masyarakat, salah satunya sebagai media yang menyebarkan inspirasi kepada masyarakat. Yang diharapkan masyarakat termotivasi untuk terus memperbaiki diri agar lebih baik lagi, bukan seperti saat ini yang kebanyakan masyarakat terobsesi terhadap suatu hal.

Mengapa hal ini terjadi ? Hal ini dikarenakan fenomena kasta di media sosial ini terus terbangun oleh berbagai faktor diantaranya tuntutan gaya hidup, tuntutan karir, kebutuhan pribadi, dan perkembangan zaman. Pudarnya nilai-nilai luhur dikalangan muda menjadi problematika yang terus berlangsung saat ini.

Secara laten jika fenomena ini tidak segera dicegah oleh diri pribadi maka akan merusak mentalitas kita sebagai generasi penerus bangsa. Kedepannya jika fenomena tersebut tidak segera ditanggulangi maka generasi penerus bangsa Indonesia akan selalu "haus terhadap pengakuan" dari sebuah pencitraan terhadap dirinya sendiri.