Pada dasarnya sejarah perkembangan Islam memiliki banyak urgensi. Ia tidak hanya sekedar berbicara tentang aliran-aliran pemikiran, apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir kritis, analisis dan sistematis.

Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuisisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu di nyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).

Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.

Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge), secara etimologis, berasal dari kata Yunani epistemologi yang berarti pengetahuan (knowledge), dan logos yang berarti teori tentang atau studi tentang.

Jadi secara terminologis, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan validitas (keabsahan) pengetahuan. Dengan cara mengetahui unsur-unsur itulah kemudian suatu pengetahuan dapat diafirmasi validitasnya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya adalah doxa yang berarti percaya, yakni percaya begitu saja tanpa menggunakan bukti (taken for granted).

Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistemologi adalah hakekat (esensi), eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metodologi ilmu tentang cara mengetahui suatu pengetahuan, sarana yang digunakan dalam rangka kerja metodologis tersebut dan uji validitas pengetahuan.

Dapat disimpulkan bahwa epistemologi ilmu berorientasi pada persoalan filsafat, metode dan system. Secara filsafat, epistemologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mencari hakikat untuk kebenaran ilmu, secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu dan secara system yaitu berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah hirarki sistematis.

Epistemologi Bayani

Secara etimologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu: kesinambungan (al-waslu): keterpilahan (al-fashlu): jelas dan terang (al-zhuhur wa al-wudlhuh): dan kemampuan membuat terang dan generik. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud dalam al-bayan al-ibarat “perpektif”’ dan “metode” yang sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “estetik-susastra”, melainkan juga dalam lingkup “logic-diskursif”. Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah terminologi yang disamping mencakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan memahami.

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nas), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali melalui inferensi istidlal). Secara langsung artinya memahami tes sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.

Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik bayani adalah aspek esoterik (syari'at).

Pada masa Syafi’I (767-820), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mencakup masalah-masalah ushul atau pokok dan yang berkembang hingga ke furu atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’I membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan yaitu :

- Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah di jelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya. 

- Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah. 

- Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah. 

- Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.

Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan suatu masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya adalah teks, karena adanya kesamaan illah.

Epistemologi Burhani

Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas. Dalam istilah logika, alburhan adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan cara menghubungkan proposisi yang satu yang telah terbukti secara aksiomatik.

Dengan demikian, burhan merupakan aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu. Model berpikir Burhani selalu bersentuhan dengan nalar tau aql. Menurut Abed al-Jabiri yang mengikuti perspektif Andre Lalande, secara global ada tipologi nalar yaitu, nalar pembentuk atau aktif (al-Aql al-Mukawwin) dan nalar terbentuk atau dominan (al-Aql al-Mukawwan).

Epistemologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu yaitu berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akar tanpa didasari teks wahyu suci, yang memunculkan peripatetik.

Jadi, sumber pengetahuan nalar burhani adalah realitas-empiris, alam, sosial dan humanities. Maksudnya, ilmu itu diperoleh dari hasil penelitian, percobaan, eksperimen baik di laboratorium atau di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun nalar.

Metode Burhani, pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.

Misalnya dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor dan minor, serta ada tidaknya middle trem yang sah yang mengantarai kedua premis tersebut. Bentuk formal inilah yang disebut silogisme yaitu berupa mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsure yang sama, yang disebut middle trem (al-hadd al-ausath).

Epistemologi Irfani 

Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain.

Dengan demikian, secara metodologi, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual.

Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus dilalui ini. Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, semuanya berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju tingkatan.

Pengetahuan irfan tidak di dasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, di harapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, di konsep kemudian di kemukakan kepada orang lain secara logis.

Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan: persiapan, penerimaan dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.