Kejadian aksi teror beruntun di Mako Brimob, 3 gereja di Surabaya, dan rusunawa di Sidoarjo adalah tanda bahwa negara kita benar-benar berada dalam kondisi darurat terorisme.

Disinyalir bahwa kejadian di 3 gereja Surabaya dan rusunawa di Sidoarjo ini dipicu oleh kejadian di Mako Brimob yang melahirkan semacam semangat sporadis untuk melancarkan serangan terorisme selanjutnya. Mungkin juga ada komunikasi intensif di kalangan teroris tersebut untuk melakukan upaya penyerangan yang sistematis. 

Apa pun itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan terhadap terorisme, namun tidak berarti bahwa itu adalah sebuah bentuk ketakutan. Kita berespons, namun tidak reaktif. Kita marah, tapi tidak boleh hanya secara emosional, namun juga secara intelektual. Kita melawan, namun harus dengan langkah yang cerdas.

Untuk memberikan perlawanan yang efektif, terorisme di Indonesia tidak bisa lagi hanya dilihat sebagai masalah keamanan negara, melainkan dilihat secara komprehensif sebagai masalah bangsa. Terorisme harus dilawan dengan segenap kekuatan bangsa Indonesia dan dengan multi pendekatan yang sistematis pula. Tanggung jawab melawan terorisme tidak hanya dipikul oleh aparat kepolisian ataupun TNI, melainkan juga seluruh warga negara Indonesia.

Jika menganalogikan terorisme sebagai sebuah penyakit, maka terorisme ini adalah suatu wabah yang membutuhkan penanganan praktis dan harus segera diputuskan penyebarannya.

Untuk penanganan terorisme secara praktis, maka penyelesaian masalah ini ada di tangan Polri dan TNI dalam konteks keamanan. Selain itu, ada di tangan pemerintah dalam pemberantasan ormas terlarang yang berlawanan dasar ideologi negara. Serta juga ada pada DPR yang harus segera menyelesaikan revisi UU Anti Terorisme.

Untuk mengendalikan penyebaran pahaman radikal, dibutuhkan suatu upaya edukasi yang berguna dalam mencegah penyebaran sekaligus merehabilitasi para korban pahaman radikal.

Sebenarnya beberapa upaya edukasi ini telah dilaksanakan, misalnya dengan kembali menggalakkan penanaman nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, nasionalisme, dan memberikan berbagai materi bela negara lainnya. Selain itu, kalangan ulama juga telah membantu meluruskan pemahaman yang keliru tentang jihad dan syahid, yang selama ini dianut oleh para teroris.

Namun, upaya edukasi dengan pendekatan konvensional tersebut nampaknya tidak cukup.

Pentingnya Epistemic Rationality dalam Mencegah Radikalisme

Pendidikan yang tinggi tidak menjamin bahwa dia bisa terhindar dari pahaman ini. Banyaknya masyarakat modern berpendidikan tinggi yang menjadi korban hoax di sosial media adalah contoh kecilnya.

Contoh lain adalah adanya oknum dokter yang setuju dengan kampanye anti-vaksin. Pseudoscience adalah equivalen dengan radikalisme dalam konteks ia sebagai unfounded belief.

Doktrinasi bela negara juga tak dapat menjamin seseorang untuk tidak menjadi radikal, bahkan pada anggota militer atau aparat kepolisian sekalipun.

Sebuah artikel di detik.com tanggal 11 Mei 2018 yang berjudul “Keberingasan Kelompok Wawan cs dan Klaim ISIS” melaporkan hasil investigasi terhadap sesorang mantan jaringan teroris Al Qaeda yang telah dipidana 10 tahun, bernama Sofyan Tsauri. Sebelum bergabung dengan kelompok terorisme ini, ia adalah personel Brimob.

Penjelasan tentang hal ini terdapat pada hasil penelitian Stahl dan Prooijen mengenai epistemic rationality, yang dipublikasikan pada Februari 2018Menurut Stahl, kemampuan kognitif yang baik tidak menjamin seseorang untuk tidak mempercayai suatu kepercayaan yang tidak berdasar (unfounded belief), yang di mana salah satunya adalah ideologi radikal.

Dibutuhkan adanya kemampuan epistemic rationality yang diukur dari nilai Importance of Rationality Scale (IRS) dan Moralized Rationality Scale (MRS).

Nilai IRS diukur dari seberapa penting orang berpikir bahwa setiap keyakinan harus berdasarkan logika dan bukti ilmiah. Sementara MRS adalah tentang bagaimana menganggap bahwa mendasarkan setiap keyakinan pada logika dan bukti ilmiah adalah suatu suatu kebaikan moral. Singkatnya, kemampuan logika sangat dibutuhkan untuk mencegah seseorang dari pengaruh ajaran radikal.

Bagaimana Seseorang Menjadi Penganut Pahaman Radikal karena Wow Effect?

Bagaimana kemampuan logika berperan dalam mencegah ajaran radikal dapat kita pahami melalui penjelasan ilmiah tentang wow effect. Istilah wow effect merujuk pada suatu pengalaman penting yang dialami seseorang, yang dapat mengubah keyakinan, perkataan, perilaku, dan perbuatannya dengan seketika.

Kita telah banyak mendengarkan tentang teori bahwa mereka yang rentan terhadap ajaran ini adalah mereka yang rentan secara psikologis. Mereka yang mengalami trauma, tekanan mental, dan depresi menjadi objek yang paling mudah untuk dipengaruhi. Tapi tidak berarti hanya mereka yang mengalami kerentanan psikologis yang dapat “diracuni” oleh ajaran ini. Persuasif yang baik dapat merubah pandangan dan keyakinan seseorang, terlebih pada jiwa yang rapuh.

Pada kondisi yang normal, setiap informasi berupa stimulus yang diterima oleh panca indera akan menuju ke thalamus untuk diproses menjadi bahasa otak. Selanjutnya, stimulus tersebut menuju ke neocortex yang menjadi pusat ilmu, logika, dan penalaran, pusat memori, pusat kesadaran yang juga terhubung dengan nurani. Namun, bila seseorang mendapatkan wow effect, maka jalur tersebut akan berubah. 

Kemampuan persuasif yang baik, mampu menyampaikan sebuah informasi kepada penerimanya langsung menuju ke amygdala, yaitu pusat emosi, tanpa menjalani proses di neocortex, yang selanjutnya dapat menjadi ucapan atau perilaku otomatis. 

Dengan memahami proses berpikir, bersikap, dan bertindak tersebut, maka akan didapatkan pola bahwa jika stimulus wow effect ajaran radikal lebih kuat dibanding kekuatan logika, maka akan memunculkan kecenderungan menjadi radikal. Sebaliknya, jika kekuatan logika lebih kuat dibanding stimulus wow effect radikalisme, maka orang tersebut tidak akan terpengaruh oleh hasutan radikalisme.

Pengenalan Logika sebagai Upaya Pemberantasan Terorisme

Berdasarkan data dan penejelasan ilmiah di atas, pengenalan ilmu logika kepada masyarakat menjadi hal yang penting untuk dilakukan dalam upaya pemberantasan terorisme, khususnya di Indonesia. Jika sebelumnya ilmu logika secara ekslusif hanya dimiliki oleh para pemimpin dan para ahli ilmu mantiq dalam lingkungan pesantren, maka sebaiknya ilmu ini mulai diperkenalkan secara umum kepada masyarakat. 

Tak perlu untuk menjelaskannya dengan penuh istilah filsafat dan istilah rumit lainnya, namun dengan mengajarkannya melalui prinsip-prinsip silogisme yang sederhana, lalu mencoba menggunakan premis-premis yang sesuai dengan konteks kehidupan hari ini untuk merefleksikan penggunaan prinsip silogisme tersebut.

Sebagai contoh adalah mengenali kekeliruan berpikir over generalisasi, seperti Teroris bernama si A beragama Islam. Si B juga beragama Islam. Maka si B adalah teroris.

Sebagai kesimpulan, untuk melawan terorisme, dibutuhkan upaya yang sistematis. Mulai dari pendekatan taktis hingga ke pendekatan strategis. Salah satu upaya pendekatan strategis adalah meningkatkan kemampuan epistemic rationality masyarakat dengan membudayakan pemikiran dan perilaku logis di masyarakat.

Budaya logis ini tidak hanya bermanfaat untuk memutus penyebaran ajaran radikal, melainkan juga mampu membentengi masyarakat dari serbuan hoax dan hasutan kebencian yang merajalela di masyarakat.