Unik, beragam, kaya, indah, dan ramah adalah kata-kata yang biasanya melekat di pikiran saat mendengar kata ‘Indonesia’. Indonesia dikenal sebagai negara yang murah senyum. Negara yang kaya akan baharinya. Posisi strategis Indonesia yang terletak di antara 2 (dua) benua dan 2 (dua) samudera mengakibatkan perekonomian masyarakatnya berjalan dengan baik, bahkan jika Inonesia tidak melakukan ekspor-impor.
Namun, di balik hal-hal positif yang melekat pada Indonesia, Negara tempat tinggal hewan komodo itu memiliki ribuan, bahkan jutaan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.
Fanatik, perpecahan, kekerasan, anarkisme, pembunuhan, dan teror adalah hal negatif yang cukup erat dan dekat di telinga masyarakat Indonesia. Hal-hal negatif itu tidak dapat dihindari, namun mereka dapat dicegah.
Ironisnya, malah ancaman dari luar negeri yang dapat dicegah lebih baik daripada ancaman yang berasal dari dalam negeri. Ancaman tersebut sifatnya dapat berupa aktual dan potensi. Ancaman berupa aktual jauh lebih berbahaya dari ancaman berupa potensi dan terkadang pelakunya (ekstrimis) menerobos batas wajar dan mencapai titik ekstrem.
Bicara mengenai ekstrem, saya yakin telinga Anda pasti sudah familiar dengan kasus estremisme yang terjadi di Indonesia. Ekstrem pada zaman dahulu disebut pribumi, sedangkan zaman sekarang ekstrem adalah Islam, atau setidaknya begitulah yang dikatakan oleh Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si yang adalah dosen di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Salah satu contoh kasus ekstremisme di Indonesia adalah Ahok dan Aksi 4 November (411), sedangkan kasus yang mendunia adalah kasus mengenai ISIS.
Kebanyakan dari masyarakat luas akan merasa cemas, gelisah, dan takut saat mendengar kata ekstremisme. Akan ada di bayangan mereka kekerasan dan kehancuran.
Ekstremisme adalah istilah yang digunakan untuk paham atau keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Paham ekstremisme sering menggunakan cara atau gerakan yang bersifat keras dan fanatik dalam mencapai tujuan.
Dengan kata lain, ekstremisme merupakan kecenderungan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan.
Terdengar familiar dengan fanatisme, bukan? Fanatisme sendiri berasal dari kata fanatik. Kata fanatik sendiri merupakan sikap di mana seseorang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Sedangkan fanatisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya).
Mungkinkah sikap fanatik ini melahirkan anarkisme yang dapat melewati batas wajar toleransi? Jawabannya adalah ya.
Lantas, apakah kita bisa menyalahkan fanatisme sebagai penyebab perilaku ekstremisme yang terjadi di sekitar kita? Jawabannya tidak.
Mengapa? Karena menurut Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si ekstremisme atau radikalisme tidak bisa lepas dari struktural—akan disampaikan secara terus-menerus, turun-temurun, tidak akan hilang.
Lalu, apa sebenarnya penyebab orang-orang melakukan radikalisme? Menurut Prof. Dr. Zainuddin, M.Si, tindakan semacam itu didasari oleh deprivasi—sebuah situasi di mana kualitas hidup di bawah dari apa yang bisa diharapkan untuk tempat tertentu pada waktu tertentu—atau jarak antara harapan dan kemampuan untuk mencapainya terlalu besar. Tidak hanya itu, arogansi dan soliaritas kelompok juga berperan dalam kelahiran ekstremisme.
Menurut Cataldo Neuberger dan Valentini, Pearlstein, dan Post, ekstrimisme disebabkan oleh penyimpangan kepribadian atau mental disorder. Sayangnya, hal tersebut dibantah oleh beberapa orang seperti Crenshaw, Ross, dan Rabbie.
Namun saya berpikir bahwa pernyataan mereka tidak sepenuhnya salah. Mengambil contoh namun tidak mendeskritkan sosiopat, mereka yang memiliki gangguan kepribadian ini cenderung mempunyai empati serta simpati yang rendah.
Sosiopat adalah suatu kondisi yang mengacu pada perilaku atau ide antisosial seseorang, menurut kitab pegangan para psikiater dan psikolog, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
Sementara orang yang bebas dari gangguan kepribadian merasakan rasa bersalah dan rasa peduli orang lain, sosiopat tidak merasakan hal itu. Mereka kurang menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah setelah memanipulasi orang lain.
Dari hal itu saya berpikir bahwa mungkin, namun tidak semua, oknum yang memulai tindakan ekstremisme yang terjadi di sekitar memiliki gejala-gejala dari gangguan kepribadian antisosial atau sosiopat.
Seseorang bisa menjadi sosiopat karena banyak faktor, seperti lingkungan tempat tinggalnya. Contoh lainnya yang ingin saya angkat adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga si penderita.
Mengapa saya memilih untuk mengangkat kasus kekerasan terhadap anak? Karena perilaku kekerasan yang dialami dapat menjadi contoh maupun defense mechanism bagi korban. Sama halnya dengan seorang anak kecil yang menonton televisi atau Mime Jr. yang ada dalam animasi Jepang berjudul Pokemon.
Meniru adalah bagian integral manusia, ciri khas perilaku manusia yang sudah terjadi sejak dini. Sejak kecil kita diajarkan norma-norma dan kebiasaan dengn harapan kita akan mengikuti apa yang diajarkan. Hal itu akan berpengaruh pada kemampuan kita meniru seseorang hingga dewasa.
Namun ironisnya, tidak jarang dari mereka yang melakukan atau mengajarkan hal-hal yang tidak benar kepada keluarganya. Tidak hanya itu, terkadang mereka melepaskan amarah dan rasa frustrasi yang dapat mengakibatkan munculnya trauma.
Trauma tersebut akhirnya melahirkan 2 (dua) hasil, yaitu si korban memiliki defense mechanism-nya sendiri atau memiliki gangguan kejiwaan.
Anak-anak yang mengalami kekerasan pada masa kecilnya kemungkinan besar akan terkena PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder dan gangguan mental lainnya yang hanya akan merugikan dirinya.
Sementara mereka yang melahirkan defense mechanism, mereka akan melakukan apa yang mereka pelajari dan mempraktekkannya ke orang lain. Misal, pendapat mereka tidak diterima oleh orang banyak, maka mereka akan memaki atau memukul orang tersebut karena ia mencontoh perilaku orang tuanya.
Tindakan tersebut menjadi benteng pertahan yang menjaga mereka dari semua rasa takut yang dialami. Namun pada akhirnya mereka masuk ke jalan yang salah. Dari sini lah muncul oknum-oknum yang memulai kegiatan-kegiatan ekstremisme.
Tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja oknum tersebut tidak menderita penyakit apa pun dan melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan hukum hanya karena didasari oleh kesenangan semata. Kita tidak akan pernah bisa tahu dengan pasti.
Mereka yang mengatasnamakan ‘kesenangan’ dan semacamnya adalah orang-orang yang harus kita waspadai, karena terkadang mereka bisa menjadi lebih berbahaya dari seorang sosiopat. Bayangkan saja, jika seorang sosiopat sudah tidak waras, maka apa yang akan terjadi? Tingkat bahaya yang dapat disebabkan oleh mereka akan meningkat.
Lalu, apa solusi untuk masalah ini? Bagaimana pemerintah dan masyarakat luas dapat menghadapi ancaman tersebut?
Sebelumnya saya telah memberitahu Anda bahwa sosiopat kurang merasakan rasa bersalah dan memiliki empati yang rendah. Walau pernyataan itu benar, sebenarnya, sama hampir sama seperti psikopat, mereka tidak kekurangan empati, melainkan dapat ‘menyalakannya’ sesuka hati.
Seperti yang elah dilansir oleh BBC News, orang-orang tersebut dapat mengaktifkan ‘empathy switch’ mereka, yang bisa membawa mereka selangkah lebih dekat ke rehabilitasi. Hal ini tentunya dapat memudahkan pemerintah untuk memperbaiki sikap dan mindset para oknum yang memiliki gangguan jiwa ini.
Dengan hasil penelitian tersebut, empati mereka dapat ditingkatkan. Saya yakin metode ini akan berhasil karena, seperti manusia yang bebas dari gangguan mental, sosiopat serta psikopat dapat mengurangi tindakan jahat mereka.
Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan kinerja pekerja yang bekerja di bidang perlindungan anak-anak terhadap kekerasan. Namun meskipun itu adalah tugas pemerintah, tidak menutup kemungkinan juga bagi masyarakat yang mendiami Negara Indonesia tercinta ini untuk membantu meningkatklan kesadaran para pelaku kekerasan.