Kepulauan Tidore merupakan sebuah kota yang berada di Maluku Utara. Adat dan kebudayaan di Tidore masih sangat kental karena pengaruh Islam dan kesultanan yang masih ada hingga saat ini. 

Masyarakat di luar Kepulauan Tidore menganggap orang Tidore merupakan masyarakat yang fanatik terhadap Islam dan kesultanan. Hal itu disepakati oleh masyarakat Mareku sebagai penilaian yang salah terhadap orang Mareku, seperti apa yang dikatakan oleh Sangadji Laho dalam pidatonya:

“Kami masyarakat Mareku adalah orang yang beradat dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Memang masyarakat saya menyadari bahwa masyarakat luar Tidore mengatakan kami adalah orang yang sangat fanatik terhadap islam dan prinsip kesultanan, namun semua itu adalah bentuk warisan tradisi dan kebiasaan dari nenek moyang kami. Begitulah cara kami menghargai sejarah yang ada di negeri Tidore ini terutama Mareku.”

Memang secara realitas yang terjadi di Tidore khususnya kelurahan Mareku sangat menghargai para kaum tua-tua mereka, terutama tetua adat seperti Sangaji Laho, Sangaji Laisa, dan tokoh agama. Contohnya saja pada saat akan menunaikan ibadah salat jumat, para pemuda sangat takut jika datang terlambat ke masjid. 

Tak hanya itu, di sisi lain, respons dari golongan tua terhadap generasi muda tidak kalah hebatnya. Generasi muda memang diberi kebebasan serta dirangkul dalam setiap realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat Mareku. Pendidikan akan nilai-nilai agama sudah mulai diwariskan dengan secara progresif di masjid-masjid. 

Begitu juga dengan pewarisan nilai-nilai sejarah dan kesultanan pada masyarakat Mareku yang diwariskan melalui sanggar “Jiko Malofo” yang ada di kelurahan Mareku. Di sanggar, para generasi muda mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tentang nilai kesultanan dan sejarah melalui tarian-tarian dan drama-drama yang mereka pelajari.

Jika melihat dari tingkat produktivitas masyarakat Mareku, berdasarkan apa yang ditemukan di lapangan, masyarakat tergolong masyarakat yang mapan secara ekonomi. Hal ini bisa diukur dari tata kelola kampung yang sangat rapi dan bentuk perumahan mereka. Dari sekian rumah di kelurahan Mareku, hanya ada satu rumah yang terbuat dari kayu dan selebihnya merupakan rumah permanen. 

Kenapa hal itu bisa terjadi? Ternyata masyarakat Mareku mempunyai prinsip ideologi yang progresif bahwa jika orang tua sudah bekerja sebagai petani, buat apa anak-anak bekerja sebagai petani lagi. Kalaupun ada nasib dan keahlian bekerja sebagai petani rempah khususnya, maka tidak akan semua anak-anak mereka harus menjadi petani juga. Ide-ide itulah yang disampaikan oleh Pak Niko yang merupakan salah satu petani rempah dari Mareku;

“Saya sendiri memang sering membawa adik ke kebun jika sedang musim pala, namun saya tidak berharap suatu saat nanti dia bekerja sebagai petani pala seperti saya. Pekerjaan yang lebih mapan dan tidak bergantung dengan cuaca dan hasil kebun adalah impian saya sebagai seorang ayah terhadap adik-adik. 

Menjadi petani rempah itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa menghasilkan uang. Harus melewati tahap-tahap yang panjang agar rempah ini menjadi uang. Tidak seperti pekerjaan pegawai yang sudah pasti akan menghasilkan uang setiap bulannya. 

Jadi, kalau kita orang menjadi petani rempah itu, sebisa mungkin memiliki keahlian di bidang lain, seperti menjadi buruh bangunan misalnya, nelayan, berdagang begitu. Jika bergantung kepada rempah saja, sudah pasti tidak cukup untuk mnyekolahkan adik-adik di rumah.”

Berdasarkan penjelasan beliau, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemakmuran ekonomi orang Mareku karena strategi bekerja yang dianut secara menyeluruh.

Ragam rempah di Mareku, Tidore

Seperti halnya wilayah Maluku Utara yang lain, komoditas utama Mareku adalah cengkeh, pala, dan Kemiri. Kendati demikian, pada masa kolonial, jambu air dan kenari juga menjadi komoditas ekspor. Tumbuhan yang ada di Mareku tergolong dalam tumbuhan jangka panjang, walaupun cukup banyak juga jenis tumbuhan palawija yang ditanam oleh petani di Mareku. 

Secara ekonomis, saat ini harga rempah memang sangat bergantung terhadap harga pasar. Namun masyarakat di zaman yang modern ini tentu semakin kompleks juga. Salah satu rempah yang tergolong sangat bernilai jual yang tinggi itu adalah fuli.

Masyarakat mungkin awam mendengar tentang fuli, karena yang tersohor dari Maluku adalah cengkeh dan pala. Padahal fuli itu sendiri memiliki manfaat yang mumpuni dibanding pala itu sendiri. 

Harga fuli juga dapat bersaing dengan pala. Satu kilogram fuli kering berkisar Rp120.000 hingga Rp150.000. Di era kolonial, penduduk Tidore tidak mengetahui manfaat fuli. Tujuannya hanya money oriented. Apa pun yang dapat mereka jual dari hasil kebun, maka dijuallah meski tak tahu untuk apa fuli itu kelak.

Fuli adalah bagian tanaman yang menyelimuti biji buah pala yang berbentuk seperti anyaman. Biasanya disebut dengan bunga pala. Karena, secara kasat mata, memang seperti bunga meskipun bukan bunga dalam artian sesungguhnya.

Bunga pala atau fuli yang kering jika diseduh dengan air hangat berkhasiat untuk mendorong keluar gas dalam usus. Sementara fuli yang dibungkus kain dapat juga mejadi kamper atau pewangi pakaian sekaligus dapat menenangkan saraf yang tegang karena fuli mengandung zat sedative atau penenang. Sedangkan menurut penuturan Pak Niko:

“Kalau dalam gula ada semutnya, taruh aja fuli dalam situ nanti semutnya hilang.”

Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat, jika dikeringkan akan berubah warna menjadi coklat tua. Sementara fuli yang sudah tua berwarna merah api, jika disimpan lama akan berwarna kuning tua hingga orange. Fuli yang sudah kering dapat disortasi menjadi tiga macam, yaitu:

  • Fuli yang utuh berwarna jingga berasal dari buah pala yang telah masak. Fuli ini tergolong mempunyai kualitas yang baik.
  • Fuli yang berwarna hitam berasal dari buah pala yang terlalu masak. Fuli ini tergolong berkualitas cukup.
  • Fuli yang tipis berasal dari buah pala yang belum masak tetapi buah yang telah membusuk. Fuli ini tergolong berkualitas sedang atau kurang baik.

Pengeringan fuli itu berguna untuk meningkatkan kualitas fuli. Untuk langkah awal, fuli dilepaskan dari biji pala dengan hati hati agar bentuknya tetap utuh. Setelah terpisah fuli dijemur dengan cara dihamparkan diatas tampah bambu. Penjemuran dilakukan selama 2-3 hari bila cuaca cerah. Penjemuran dilakukan hingga fuli benar-benar kering. Dengan pengeringan seperti ini dapat menghasilkan fuli kualitas tinggi sehingga nilai ekonominya pun lebih tinggi.

Fuli-fuli yang sudah disortasi berdasarkan kualitasnya, kemudian masing masing dikemas dan siap untuk diekspor. Biasanya fuli di Tidore dijual pada pengepul Ternate baru setelah itu fuli dikirim ke Surabaya. Setelah dari Surabaya, fuli-fuli tersebut dikirim ke beberapa daerah lain.