Senada dengan makin ramainya kunjungan penikmat alam menjelajah gunung, inisiatif gerakan pembelajaran dunia pendakian digaungkan oleh komunitas Wanita dan Gunung. Dibentuk pada Juni 2015 lalu, Rika Masda dan rekannya sepakat mengarahkan WG untuk memberikan edukasi kegiatan pendakian aman dan nyaman, khususnya bagi wanita.

Tergabung dalam satu wadah penggiat alam, komunitas WG memiliki anggota wanita dari berbagai latar belakang dan daerah. Bahkan ada yang dari negara tetangga sebagai member, atau biasa disebut Inner Circle.

Persiapan dasar mendaki gunung dalam menunjang keamanan pendakian merupakan salah satu fokus WG. Bisa jadi pendaki pemula yang belum pernah mengikuti pelatihan berkegiatan dialam bebas tidak paham bagaimana menjadi aman saat pendakian. Maka dari itu, pengetahuan tersebut perlu dikuasi, agar pendaki safety sesuai dengan SOP. 

Salah satu hal yang sering keliru oleh pendaki ialah menyepelekan alam dan menyelepekan diri sendiri. Seperti mendaki tanpa persiapan dan perencanaan matang, malah akan menyusahkan diri sendiri dan tim. 

Perlengkapan pribadi dan tim harus cukup. Perkiraan logistik juga harus sesuai. Logistik merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pendakian, sebagai pemenuhan energi yang dibutuhkan. Untuk makan dan minum, takarannya harus tetap sama dengan kebiasaan makan di rumah, bahkan perlu asupan yang lebih mengandung energi.

Membludaknya kunjungan ke gunung sudah pasti diiring dengan terlibatnya berbagai jenis bekal makanan dan minuman. Yang menjadi masalah besarnya saat ini adalah tanah gunung-gunung, di Indonesia khususnya, telah bertumpuk sampah buah tangan pendaki yang tidak bertanggung jawab atas logistik yang dibawa.

Sadarkah bahwa sampah plastik tersebut butuh waktu sangat lama untuk dapat hancur dan terurai? Belum lagi dampak buruk yang ditimbulkan.

Bermula dari kekhawatiran akan sampah yang secara brutal mencemari lingkungan dan selaras dengan gaya hidup nol sampah (Zero Waste), yang saat ini mulai diterapkan penggiat lingkungan sebagai perlawanan atas sampah di gunung yang didominasi plastik makanan dan botol minum kemasan logistik. 

Yang disadari oleh WG adalah bagaimana agar berperan dalam perubahan perilaku membawa calon sampah ke gunung.

Komunitas Wanita dan Gunung mengambil langkah melalui pendakian Ekpedisi Zero Waste Movement (ROAM). ROAM merupakan ekpedisi pertama yang dilakukan oleh WG, sebagai proses belajar untuk memaksimalkan kemampuan manajemen pendakian, kemampuan fisik, serta berinovasi dalam pendakian, dengan mengusung konsep nol sampah.

Terinspirasi dari aktivis lingkungan Siska Nirmala (@zerowasteadventure), penggiat pola hidup nol sampah. Bukan hal mudah menerapkan konsep ramah lingkungan, namun bukan berarti tidak ada caranya. 

Lalu mengapa WG tidak memulai kampanye nol sampah praktis seperti dalam keadaan kehidupan sehari-hari? Jawabannya persis yang dikatakan oleh penulis buku 'Zero Waste Adventure' itu, “Karena mendaki gunung salah satu cara termudah untuk belajar.”

Ekpedisi Zero Waste Movement dimulai pada tanggal 28 Juni - 4 Juli 2019 di Gunung Kerinci ketinggian 3.805 MDPL. Melalui akses yang terbilang baru, dengan kenamaan jalur Solok Selatan (Sumatra Barat) sebagai titik awal pendakian, kemudian lintas ke jalur Kresik Tuo Kerinci Seblat (Jambi). Dilakukan oleh 12 wanita, 1 guide, 1 sweeper, dan 2 porter (jika mendaki via solsel wajib bersama guide). 

Dalam realisasinya banyak persiapan yang dilakukan WG. Menggingat penyumbang sampah paling banyak dihasilkan dari logistik. Maka hal yang sangat diperhatikan ialah pemilihan menu dan bahan makanan, mulai dari menyiapkan jenis bahan hingga bagaimana cara menyimpan agar ringkas dibawa.

Sebelumnya, tim telah mempersiapkan bahan sedari rumah, seperti memasak daging giling, membeli bahan sayur dan bahan pendukung di pasar tradisional. Pembelian bahan makanan juga menggunakan wadah selain plastik sekali pakai. Namun tidak dimungkiri tetap ada bahan makanan berbalut plastik dari toko, walau begitu masih tetap dipindahkan ke kotak makan.

Beberapa alat packing yang gunakan ialah besek (wadah anyaman bambu, kantung kain, darybag, box, dan daun pisang. Untuk bahan makanan cair seperti kecap dan minyak goreng dikemas dalam botol minum. 

Menu makanan di ekpedisi ROAM ini terbilang mujur, dengan banyak jenis bahan makanan. Menunya sandwich, ayam mentega, ayam kecap ,sup, telur dadar, nasi rendang, tumis bihun, spaghetti, sayur bayam, kacang panjang rebus bumbu kacang hingga pancake. Dari menu tersebut terbayangkan apa saja bahan yang dibutuhkan.

Dalam pengepakan rendang dan ayam ungkep misalnya, dimasukkan dalam box kedap udara. Perlakuannya sama, dipanaskan agar tidak basi. Pemilihan sayur bayam karena tahan lama saat dibawa dalam kantung jaring. Pengepakan keju, garam, gula, kopi, bubuk coklat, adonan pencake, dan teh dalam box kecil. 

Sedangkan yang dimasukan dalam besek dengan dilapisi daun pisang atau kertas koran adalah jenis makanan kering seperti bumbu pecel, pasta, bawang, cabai, telur asin, dan kacang panjang. Tak ketinggalan bahan pencuci piring menggunakan biji lerak, dikenal sebagai ditergen tradisional ramah lingkungan.

Satu lagi yang perlu diperhatikan, penggunan jenis kompor serta bahan bakarnya. Alternatif kompor yang ramah lingkungan dan tidak meninggalkan bekas kaleng gas potebel, seperti yang umum digunakan, adalah dengan menggunakan kompor jenis Trangia berbahan bakar spiritus yang aman untuk isi ulang.

Tanggal 29 Juni, persiapan pendakian dari desa Bangun Rejo basecamp pak Dulhadi, dimulai dengan sarapan sandwich. Bekal makan siang, ayam goreng mentega sudah terbagi di box makan pribadi. Selama proses pendakian tiap pendaki wajib membawa box makan pribadi, apabila masakan telah matang box siap diisi makanan siap santap. 

Botol minum pribadi, water bladder wajib bagi setiap pendaki, tidak ada botol minum kemasan sekali pakai dan bungkus makanan ringan yang dibawa. Untuk wadah makanan ringan menggunakan stoples atau box kecil dan juga snackbag yang ramah lingkungan. 

Bukan dengan waktu yang singkat WG menuntaskan ekpedisi ROAM, butuh 5 hari 4 malam untuk bisa keluar dari rimbunan hutan sumatera. Hal tersebut dikarena keadaan medan pendakian yang panjang dan ritme jalan dua belas wanita yang terbilang santai (waktu perjalanan relatif, tergantung perencanaan dan keadaan alam).

Tanggal 3 Juli. Tim ekpedisi melintasi punggungan gunung menuju puncak Kerinci. Pukul 10:00 WIB dua belas pendaki wanita dengan membawa misi Zero Waste Movement, berhasil menapakkan kaki di atap sumatera ketinggian 3805 MDPL. Kemudian dilanjutkan perjalanan turun melalui jalur pendakian Kresik Tuo, hingga sampai ke basecamp di desa Kayu Aro Kerinci Jambi.

Dari ekpedisi ini, WG membuktikan bahwa mendaki tanpa membawa kemasan logistik sebagai calon sampah dan minim mengasilkan sampah anorganik dapat dilakukan dalam proses pendakian. Dilihat dari jenis menu makanan dalam ekpedisi WG yang terbilang banyak dan persiapan yang rumit pun dapat mengantisipasi calon sampah. 

Apalagi jika hanya dengan pilihan menu yang simple, tentu sangat dapat dilakukan oleh teman-teman pendaki yang coba menerapkan Zero Waste

Kawasan gunung yang notabene sebagai tempat indah dan penghasil sumber air bersih sudah selayaknya terjaga dari tangan-tangan jahat. Agar terwujudnya pola ramah lingkungan perlu kesadaran pribadi juga kerjasama banyak pihak. 

Gaya hidup minim konsumsi plastik sebagai kantong atau wadah dapat mencegah serta mengurangi sampah yang sulit terurai. Demi dapat meletarikan lingkungan hidup dan alam semesta.