Jika mas Eko Triono memberi judul cerpen monumentalnya Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-pohon –walau berbeda tinjuan, hanya mirip di judul—, maka saya sedikit meninjau dari sisi lebih realistis—bukan surreal—dalam ikhtiar memahami hal berbeda dalam ranah agama. Setamsil dengan judul mas Eko, saya juga tergerak bertanya Agama yang pantas bagi ‘galon’ kosong.
Yaps, ‘galon’ kosong. Dua kata yang saya analogikan sebagai manusia yang dalam terminologinya Heidegger dipanggil das Man. Tercerabut karena rutinitasnya yang kering dan larut dalam keseharian tanpa kesadaran tentang Adanya yang MengAda dalam waktu. Serta eksistensinya dalam kemewaktuan.
Para ‘galon’ yang jika dipukul mengeluarkan suara besar namun tak mampu memberi segelas air untuk menuntaskan dahaga.
Maka tatkala para ‘galon’ kosong mulai dipukul pemain di balik layar dan memenuhi jagat maya, ada baiknya kita meninjau si pemikir liar tentang semesta, Einstein. Bagaimanakah si tokoh yang dikenal humanis ini berpikir tentang agama dan Tuhan. Siapa tahu, dari sejarah perkembangan pemikirannya ada yang bisa dipetik.
/1/
Di kalangan fisikawan teoretis, Einstein adalah sosok sempurna. Walau tak sedikit manuver-manuver pemikirannya yang patut ditiru, tak sedikit juga yang—mungkin—harus ditelaah lebih mendalam. Ia adalah paduan sempurna pemberontak, pengkhayal sejati dan ketaksukaan pada penindasan. Namun bagaimana dengan pengalaman keberagamaan Einstein? Kita mendengar banyak postulat-postulatnya, tapi hampir luput bertanya lantang, “Apa yang ia percaya?”
Saat kecil, Einstein pernah mengalami fase indah belajar agama seperti kebanyakan kita. Bergembira dengan janji Tuhan dan takut siksa karena imbas dosa. Namun, beberapa belas tahun kemudian ia mulai memberontak. Bahkan beberapa dekade berikutnya ia seperti alergi memasukkan unsur agama dalam inspirasinya menulis beberapa makalah yang merubah gaya pandang kita tentang semesta. Tapi hal mengejutkan di usianya yang menginjak kepala lima terjadi, ia sangat menghargai warisan darah leluhurnya. Pun kepercayaannya terhadap Tuhan tanpa memeluk agama apapun.
Entahlah, saya menduga –sebagaimana kita pada umumnya—bahwa ada alasan di balik semua itu. Tampaknya, keteraturan yang tersingkap dari teori yang dicetuskannya menjadi salah satu sebab perubahan signifikan perjalanan spiritualitas Einstein. Ia tak percaya kehendak bebas. Dengan tegas ia menolak doktrin manusia membentuk hidupnya sendiri.
Lantas Tuhan seperti apakah yang Einstein percaya?
Apakah Tuhannya Spinoza?
Semua terlihat jelas tatkala Einstein menolak secara tegas ketakpastian. Sebagaimana kredo yang sangat menggugah agamawan yang berbunyi, “Tuhan tak bertaruh atas semesta.” Tak lama Neils Bohr membalasnya dengan telak, “Berhenti menyuruh Tuhan tentang apa yang Ia harus lakukan.”
Bagaimanapun Einstein menunjukkan keyakinan akan keteraturan semesta. Itu menjadi landasan bangunan kredo ilmiahnya –mungkin juga berpengaruh pada apa yang ia percaya—. Bahkan ia pernah menulis di tahun 1929 bahwa, “Kepercayaan terbesar seorang ilmuwan adalah menyadari bahwa Tuhan sendiri tidak bisa mengatur berbagai ubungan ini dengan cara berbedadar yang sudah ada, melebihi kekuatannya kekuatan-Nya ketika menciptakan empat sebagai bilangan prima.”
Tentu saja ini menyiratkan bahwa Einstein –seperti kebanyakan orang—percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada dia yang memiliki pengaruh yang menentukan.
Suatu waktu di Berlin, Einstein dan istrinya sedang menghadiri jamuan makan malam. Saat menikmati, tiba-tiba salah satu tamu bicara tentang keyakinannya pada astrologi. Einstein tertawa dan berujar, “benar-benar takhayyul”. Tamu lain yang skpetis juga ikut nimbrung dan malah menyerang Tuhan. Pria itu dengan lantang bilang bahwa, “Percaya kepada Tuhan pun setamsil percaya takhayyul,”
Si tuan rumah yang tersinggung berusaha menyelamatkan kesucian kepercayaan yang dianutnya dengan berkata, “Einsein juga percaya Tuhan.”
Tamu yang skeptis itu tersenyum lalu berseru, “tidak mungkin,” sambil menoleh ke Einstein dengan ekspresi tak percaya.
Mungkin untuk menyelamatkan wibawa si tuan rumah Einstein berkata dengan santai, “Ya, Anda bisa menyebutnya demikian.”
“Cobalah memahami rahasia alam dengan kemampuan kita yang terbatas. Anda akan mendapati diri bahwa di balik semua hukum dan hubungan alam yang bisa dilihat, masih ada sesuatu yang halus, tidak berwujud, tidak terjelaskan. Memuja kekuatan di luar apa pun yang bisa kita pahami adalah agama saya. Sampai sejauhitu saya memang percaya Tuhan.” lanjutnya.
Kredo Einstein akhirnya sedikit menegaskan apa yang ia pijak dan pegang. Dalam buku Walter Isaacson, Einstein, kita bisa menjumpai beberapa kalimat itu.
Perasaan paling indah yang bisa kita rasakan adalah perasaan misterius. Itu adalah perasaan mendasar yang menjadi tiang bagi semua seni dan ilmu pengetahuan sejati. Bagi mereka yang merasa asing dengan perasaan ini, yang tidak pernah merasa heran dan berdiri dengan pebuh kekaguman, sama saja dengan mati, seperti lilin yang padam. Memahamai bahwa di balik semua yang bisa kita alami terdapat sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh pikiran kita, yang keindahan dan keagungannya menyentuh kita secara tidak langsung, inilah yang disebut religius. Dalam pengertian ini, dan hanya dalam pengertian ini, saya bisa disebut pria beragama yang taat.
Einstein menyiratkan ketakmauannya terikat dengan agama formal. Bahkan Einstein mambalas telegram dari Rabi Herbert S. yang bertanya tentang agama Einstein. Lagi Einstein menegaskan, ia percaya pada Tuhannya Spinoza. Tuhan yang tak sibuk memikirkan takdir dan perbuatan manusia. Namun Tuhan yang memunculkan dirinya dalam kerukunan semua makhluk dalam semesta.
Ia sendiri bukanlah manusia yang bersembunyi dalam kedok tertentu. Kejujurannya dalam berkata adalah cerminan etika fisikawan yang terpancar. Einstein tak pernah menghina agama atau penganut agama formal tertentu. Tak seperti Freud, Russel atau George Bernard, ia merasa tak perlu menjelek-jelekkan para manusia yang percaya Tuhan.
Bahkan ia menyerang para ateis dengan sebuah argumen bahwa beda utama Einstein dengan para ateish—kebanyakan—adalah pada rasa rendah hati tentang misteri yang tak terpecahkan dalam keteraturan di alam semesta.
Dalam bukunya, Walter Isaacson menulis bahwa, “Sebenarnya, Einstein cenderung lebih kritis terhadap orang-orang ‘palsu’ yang tampaknya tidak memiliki kerendahan hati atau kekaguman, dibandingkan orang yang beriman.”
Bagi Einstein mereka—yang dalam kebenciannya terhadap agama tradisionalis sebagai candu masyarakat—kebanyakan tak mampu mencandra musik alam semesta.
/2/
Einstein bersikap dengan kejujurannya tentunya juga dengan pemikiran yang matang. Tak digerakkan sebagian besarnya oleh tendensi tertentu. Sikapnya pun pada kehendak bebas tak kalah menarik.
Setamsil psikolog Schopenhauer ia pun percaya bahwa manusia bisa bertindak semau-maunya namun bukan seperti yang dia mau.
Suatu ketika saat berkirim surat dengan sahabatnya, Max Born. Ia menulis, “Semuanya sudah ditentukan, dari awal hingga akhir, oleh kekuatan yang tidak bisa kita kendalikan. Semuanya sudah ditentukan, baik untuk serangga maupun bintang. Manusia sayuran, atau debu kosmis, kita semua berdansa mengikuti irama misterius yang dimainkan dari jauh oleh seorang yang tak kasat mata.”
Namun melampaui itu semua, ia pecaya pentingnya memperjuangkan moralitas. Ia juga percaya bahwa hanya moralitas yang mampu membuat hidup kita indah dan bermartabat.
Ia hidup dengan sikap tegas dan jelas. Jauh dari kepalsuan. Lantas bagaimanakah dengan sikap kita?
Di tengah kekurangannya dalam mengeskpresikan rasa pada sekeliling, dia mendedikasikan dirinya secara jujur dan berani mengambil tindakan yang menurutnya dapat menghilangkan keinginan egois dan mendorong langkah maju sains untuk tujuan kemanusiaan dan menjaga kebebasan untuk memilih bagi setiap orang.
Begitulah ia dikenang. Pria baik, tidak egois, sederhana dan bersahaja. Bahkan bagi kakek saya yang asketik, kata-kata Einstein seolah menjadi peneguh pilihan akhir hidupnya. Menggunakan sedikit untuk diri sendiri dan memberikan banyak untuk orang lain.