Siang itu, saya duduk di kantin sebuah universitas. Seperti biasa hari minggu, saya isi dengan menyelesaikan tugas-tugas menulis sebagai mahasiswa. Mengetik sekaligus membaca di MacBook adalah aktivitas sehari-hari yang bagi sebagian mahasiswa bisa membosankan tapi sebaliknya bagi saya.

Pada momen mendaras buku elektronik, pikiran saya kemudian melayang-layang, memikirkan konten di dalam sana, seraya mengernyitkan dahi tanda belum memahami sepenuhnya.

Kedua mata saya berpaling dari papan layar dan menatap tempat sampah yang jaraknya sekitar dua pelemparan batu di depan. Terdapat tempat sampah yang terbagi menjadi tiga, yakni sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), organik serta nonorganik, dengan pembeda berdasarkan warna. 

Sontak saya refleksi: apakah sejauh ini sudah membuang sampah sesuai kategori tersebut?

Pembagian tempat sampah ini, saya kira, baru diterapkan di ruang publik belum lama ini. Barangkali sekitar lima atau sepuluh tahun belakangan. Tak jelas kapan mulainya, namun pembagian itu, menurut saya, sangat penting.

Surplus sampah di negeri ini mencapai titik memuakkan bagi jamak orang. Manajemen sampah, karenanya, menjadi solusi preventif yang sedemikian cerdas.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sudahkan inheren kebijakan pengelolaan sampah antara pemerintah, petugas kebersihan, dan masyarakat? Jangan-jangan ketiga komponen ini belum setarikan napas dalam manajemen sampah. Terlebih lagi ketika melihat teman-teman saya, termasuk diri sendiri, belum sepenuhnya menyadari pengelolaan itu.

Nirkesadaran di antara kita dalam membuang sampah, misalnya, mungkin sebatas penempatan secara serampangan. Tak peduli wadah mana yang seharusnya sampah itu ditempatkan, kecenderungan kita baru sebatas ontologis, alih-alih aksiologis. 

Menempatkan sampah sesuai kategori yang disediakan adalah kesadaran etis kita terhadap manajemen pengelolaan.

Kendati begitu, bila kesadaran etis telah diejawantahkan, persoalan berikutnya adalah pengelolaan sampah secara makro, setidaknya dalam kasus di universitas, sebagai contoh, sudahkah disadari secara tepat? 

Saya pernah melihat petugas kebersihan yang mengambil sampah dari ketiga kantong tadi ternyata malah disatupadukan di dalam truk besar. Saya bingung melihat kenyataan itu. 

Lantas, apa gunanya pembagian sampah tadi bila pada akhirnya ia dicampuradukkan menjadi satu? Di mana letak manajemen sampahnya?

Sampah Kertas

Sudah barang tentu, di dalam institusi pendidikan, problem utama yang sering ditemui di tempat sampah adalah kertas-kertas bekas. 

Barangkali sebagian orang menampik hal ini karena produktivitas sampah plastik lebih dominan ketimbang kertas. Betapapun kampanye antiplastik sudah digencarkan, namun sebagian besar pelajar masih menggunakan plastik.

Banyaknya sampah kertas yang memenuhi tempat pembuang akhir di kampus-kampus ternyata menandakan konsumsi sekaligus manajemen kita terhadapnya masih serampangan. Kertas-kertas itu, entah dibuang oleh mahasiswa ataupun pegawai, belum disadari dimensi manfaatnya bila dikelola secara rapi. 

Maksud saya di sini adalah sampah kertas tersebut dapat menjadi berguna jika terdapat keseriusan manajerial dari birokrasi maupun mahasiswa yang tepat.

Kita acap kali mengulas bagaimana produktvitas kertas makin melejit tiap tahun karena menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Namun, di balik itu, kita juga kerap luput bagaimana dampak pengelolaan sampah kertas yang makin hari makin menumpuk. Di sana tercitra gap antara kesadaran pendauran ulang dan kenyataan tumpukan sampah yang tak terkelola.

Bagaimana seharusnya kampus mengatasi hal ini? 

Sebagai orang yang masih rajin datang ke kampus, saya pernah mendiskusikan perihal tersebut kepada pegawai universitas. Menurutnya, memang belum ada manajemen sampah kertas yang terintegrasi. Artinya, pengelolaan sampah kertas saat ini masih sebatas kebijakan “dari atas” tanpa upaya pelatihan manajerial yang terpadu di “akar rumput”.

Kampus hendaknya memperhatikan hal itu, sebagaimana menseriusi kebijakan-kebijakan lain yang bersifat eksistensial. Pengelolaan sampah kertas memang tak mendatangkan prestis tersendiri karena ia urusan “belakang dapur”.

Tetapi ia dapat memunculkan eksistensi simbolik manakala universitas fokus menangani secara serius. Eksistensi simbolik yang saya maksudkan di situ adalah ketenaran sebuah universitas dalam pengelolaan sampah kertas, sehingga pada gilirannya akan (semoga) ditiru perguruan tinggi lain.

Kampus hijau menjadi tren tersendiri belakangan ini. Kehendak untuk “menghijaukan” kampus sebagai perimbangan dari pembangunan fisik tentu perlu diapresiasi. Tetapi jika ia tak dibarengi dengan manajemen sampah kertas yang menjadi titik sentral problem universitas, maka keteterkenalan itu sekadar berupa pepesan kosong.

Itu kenapa dalam konteks demikian diperlukan kebijakan pengelolaan sampah kertas secara massal dan terpadu. Masalah kebijakan universitas yang terkadang sebatas permukaan dapat diperdalam menjadi laku emansipatoris dengan menggalakkan semua elemen sampai tingkat akar rumput.

Bentuk akhir dari pengelolaan ini dapat beraneka rupa. Sebagai contoh, pendauran ulang sampah kertas tersebut diproyeksikan menjadi sesuatu yang berguna, baik untuk kepeningan pembelajaran maupun birokrasi.

Kalau kebijakan itu dilakukan secara komprehensif, saya kira tak lagi kegamangan mahasiswa terhadap lingkungan kampusnya yang kotor. Hal ini berlaku bagi sampah-sampah lain, seperti organik, nonorganik, dan B3 tadi. 

Semua itu memang terbuang, tapi memungkinkan menjadi yang berguna. Tergantung kreativitas dan upaya praksis kita dalam menanganinya.