Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Fatou Bensouda, membuka investigasi resmi terhadap kejahatan perang di Wilayah Palestina, baik yang diduga dilakukan oleh pihak Palestina maupun Israel beberapa waktu yang lalu.

Jaksa Bensouda berkata, investigasi akan dilakukan menyelidiki berbagai peristiwa yang terjadi di Tepi Barat (West Bank), Jalur Gaza (Gaza Strip), dan Yerusalem Timur (East Jerusalem) sejak Juni 2014. Bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang berada di Den Haag memutuskan bahwa mereka memiliki yurisdiksi di tiga kawasan tersebut. 

Namun, menolak keputusan tersebut mengingat bahwa Israel bukan anggota Mahkamah Pidana Internasional atau tidak tunduk pada Statuta Roma. 

Lantas, bagaimana peran dari Lembaga Peradilan Internasional atau keefektifan keberfungsian Intergovernmental Organization ini? Bagaimana secara singkat gambaran penerapan Hukum Internasional di wilayah Israel-Palestina?

Status Israel-Palestina Dalam Komunitas Internasional

Pertama-tama penting sekali melihat status kenegaraan dari Palestina mengingat bahwa Status Kenegaraan merupakan status tertinggi dari suatu entitas di bawah hukum internasional walaupun Negara bukan satu-satu Subjek Hukum Internasional. 

Kenapa ini penting, karena ini memberikan berbagai hak sepenuhnya dan membawa asumsi kunci, termasuk kebebasan dari campur tangan luar terhadap integritas teritorial.

Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara (de facto) pada tahun 1948 dan diakui sebagai negara anggota PBB pada tahun 1949 (de jure). Status Israel menjadi dan disebut negara tak lepas dari kombinasi dan intervensi dari aliansi Amerika Serikat yang solid dengan memberikan perlindungan yang signifikan terkait dengan intervensi eksternal dalam konflik wilayah antara Israel dan negara Arab lainnya.

Sedangkan Palestina, sebaliknya, mengklaim hak kenegaraannya akan tetapi tidak memiliki status sebagai subjek hukum internasional yang efektif. Posisi hukum internasional jelas bahwa rakyat Palestina berhak untuk menentukan nasib sendiri dan status kenegaraannya dapat diakui oleh komunitas internasional hanya saja faktanya mereka masih hidup di bawah pendudukan Israel sejak 1967.

Baru kemudian pada tahun 2012, status Palestina di PBB ditingkatkan menjadi status khusus “negara pengamat non-anggota”. 

Meskipun mayoritas anggota Majelis Umum PBB mengungkapkan harapan mereka bahwa dalam hal ini akan mengarahkan dukungan terhadap status dan pengakuan pada kenegaraan bagi Palestina, konflik dan solusi dua negara tersebut tampaknya semakin kecil dari kemungkinan dapat dilaksanakan seiring berjalannya waktu.

Palestina Pernah Mengajukan Mahkamah Pidana Internasional Usut Tuntas Dugaan Kejahatan Israel 

Pada 1 Januari 2015, Pemerintah Palestina mengajukan deklarasi berdasarkan Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma yang menerima Kewenangan mengadili dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengusut secara tuntas atas dugaan kejahatan yang dilakukan "di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel, termasuk Yerusalem Timur, tertanggal 13 Juni 2014. 

Diketahui pada tanggal 2 Januari 2015, Pemerintah Palestina telah menyetujui Statuta Roma dengan menyimpan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal PBB. Kemudian Statuta Roma tersebut mulai berlaku pada 1 April 2015.

Meskipun demikian, Israel mengatakan tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kemungkinan kejahatan perang di wilayah pendudukannya sehingga membuat pertanggungjawaban hukum dan pelaksanaan eksekusi Mahkamah Pidana Internasional pun dinilai akan tetap sulit dilakukan.

Dalam surat ke pengadilan, Israel mengatakan ICC "bertindak tanpa otoritas" dalam melakukan penyelidikan. Masalah ini mengancam kerusakan lebih lanjut hubungan yang sudah tegang antara kedua belah pihak. 

Seperti diketahui bahwa bulan lalu, Pemerintah Israel membatalkan tiket perjalanan VIP Menteri Luar Negeri Palestina sekembalinya ke Tepi Barat yang diduduki Israel ketika pertemuannya dengan Kepala Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, Fatou Bensouda.

Apa itu Mahkamah Pidana Internasional dan Apa Kewenangannya?

Berkantor pusat di Den Haag, Mahkamah Pidana Internasional didirikan pada tahun 2002 untuk memiliki kewenangan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas beberapa  jenis kejahatan yang menjadi kekuasaan kehakiman Mahkamah Pidana Internasional itu berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma 2002 (tentang the most serious crime) antara lain:

  1. Genosida (Pasal 6);
  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7);
  3. Kejahatan perang (Pasal 8);
  4. Kejahatan Agresi.

Kemudian di Pasal 5 ayat (2) nya menjelaskan bahwa Mahkamah akan menjalankan yurisdiksi atas kejahatan agresi setelah ada ketentuan yang diadopsi sesuai dengan Pasal 121 dan Pasal 123 yang mendefinisikan kejahatan dan menetapkan persyaratan di mana Mahkamah akan menjalankan yurisdiksi sehubungan dengan kejahatan ini. Ketentuan seperti itu harus konsisten dengan ketentuan yang relevan dari Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa.

Untuk yurisdiksi dari ICC sendiri antara lain:

  1. Personal Jurisdiction (Ratione Personae - Pasal 25);
  2. Material Jurisdiction (Ratione Materiae - Pasal 5 - Pasal 8);
  3. Temporal Jurisdiction (Rationes Temporis - Pasal 11);
  4. Territorial Jurisdiction (Ratione Loci- Pasal 12).

Tapi perlu diketahui juga bahwa Pasal 11 ayat (1) Statuta Roma 2002 kemudian menambahkan bahwa:

"Pengadilan memiliki kewenangan hanya sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini."

Betul, bahkan Mahkamah menjunjung tinggi asas legalitas. Sehingga, Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki kewenangan terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma 2002 pada 1 Juli 2002.

Selain Mahkamah Pidana Internasional Sudah Pernah Ada Putusan Mahkamah Internasional pada Konflik Israel-Palestina

Fakta lain, sebelumnya juga berdasarkan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang khusus darurat kesepuluh mengadopsi Resolusi ES-10/14, di mana Majelis Umum tersebut meminta Mahkamah Internasional (ICJ) - ini lembaga peradilan juga namun berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional - Mahkamah Internasional atau ICJ pernah diminta memberikan Advisory Opinion tentang konsekuensi hukum yang timbul dari pembangunan tembok yang sedang dibangun oleh Israel, the occupying Power, di Wilayah Pendudukan Palestina. 

Termasuk di dalam dan sekitar Yerusalem Timur, seperti yang dijelaskan dalam laporan Sekretaris Jenderal, dengan mempertimbangkan aturan dan prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949, dan Resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum yang relevan.

Pada tanggal 19 Desember 2003, ICJ mengeluarkan perintah, menetapkan 30 Januari 2004 sebagai tanggal pernyataan tertulis untuk diajukan ke Pengadilan tentang perkara tersebut tersebut dan menetapkan tanggal 23 Februari 2004 sebagai tanggal untuk dengar pendapat lisan. Ada beberapa Resolusi Majelis Umum PBB dan ICJ antara lain:

- Resolusi GA ES-10/13 (21 Oktober 2003);

- Resolusi GA ES-10/14 (8 Desember 2003);

- Resolusi GA ES-10/15 (20 Juli 2004).

Advisory Opinion dari ICJ dapat dibaca di sini.

Kemudian timbul pertanyaan krusial sementara.

Pertama, Bagaimana dengan kekuatan eksekutorial dari Putusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sendiri?

Kedua, Kalau pernah dimintai pendapat hukum Mahkamah Internasional (ICJ), apakah Israel sudah melaksanakannya dan seberapa efektifkah pendapat hukum Mahkamah Internasional (ICJ)?

Mengingat bahwa Rusia pernah menganggap Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai lembaga peradilan justru keberfungsiannya tidak efektif. Sudah selama 14 tahun berjalan, ICC telah menghabiskan biaya operasional lebih dari satu miliar dolar, namun, hanya bisa memvonis empat kasus kejahatan.

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Wilayah Konflik Israel-Palestina

United Nations Security Council Resolution 1325 (Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 Tahun 2000 tentang Wanita), Perdamaian dan Keamanan mengakui bahwa warga sipil, terutama wanita dan anak-anak, merupakan sebagian besar dari mereka yang terkena dampak negatif konflik bersenjata. 

Resolusi tersebut menegaskan kembali kebutuhan untuk menerapkan sepenuhnya hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional yang menetapkan tanggung jawab semua pihak untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak selama dan setelah konflik. Perempuan dan Anak perempuan Palestina yang hidup di bawah pendudukan tidak terkecuali.

Pada 18 Mei, enam puluh dua (62) anak-anak Palestina di Gaza telah dilaporkan tewas dan 444 terluka setelah delapan hari baku tembak roket dan serangan udara antara militan Palestina dan Pasukan Israel. Dua anak Israel tewas dan lima lainnya luka-luka.

Kerusuhan hebat di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur telah mengakibatkan 3 anak Palestina tewas. Sebanyak 223 orang terluka di Tepi Barat dan 54 lainnya cedera di Yerusalem Timur sejak 7 Mei.

Permusuhan di Jalur Gaza telah mengakibatkan 72.000 orang mengungsi, 47.000 di antaranya ditampung di sekolah-sekolah UNRWA.

Sebanyak 44 sekolah dan 15 fasilitas kesehatan di Jalur Gaza mengalami kerusakan akibat kekerasan yang hebat.

Menyusul pelepasan pasokan medis yang telah disiapkan sebelumnya untuk 72.000 orang di Gaza, UNICEF segera mendapatkan pasokan medis penyelamat jiwa tambahan, termasuk obat-obatan, bahan medis sekali pakai, dan bahan laboratorium. 

Lebih banyak pasokan diharapkan akan dikirimkan pada 25 Mei, setelah situasi keamanan memungkinkan.

UNICEF telah meningkatkan jam operasional Pabrik Desalinasi Air Laut Gaza Selatan (Southern Gaza Seawater Desalination Plant - SGDP) dari 4 menjadi 8 jam dengan mengoperasikan generator siaga untuk memungkinkan produksi air 1.500 meter kubik per hari untuk 70.000 orang.

UNICEF memberikan layanan Perlindungan Anak melalui saluran bantuan di Tepi Barat dan Gaza yang telah menjangkau 258 anak hingga saat ini. Pengadaan pendidikan penting dalam perlengkapan alat tulis darurat yang memadai untuk 30.000 anak-anak yang terkena dampak konflik sedang berlangsung.

UNICEF membutuhkan tambahan US $ 7,71 juta untuk tanggapan segera dan langkah-langkah kesiapsiagaan untuk eskalasi di Gaza dan Tepi Barat.

UN Women menyerukan kepada komunitas internasional untuk memperhatikan dampak siklus kekerasan ini pada kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak yang saat ini berisiko menghadapi penggusuran paksa di Yerusalem Timur dan pembongkaran rumah di Gaza, dan untuk memperkirakan perlunya perluasan dan pembongkaran rumah di Gaza. 

Dukungan kemanusiaan yang tanggap terhadap gender, serta layanan kekerasan berbasis gender, kesehatan dan kesehatan mental, khususnya dalam konteks pandemi COVID-19.

Kondisi Terkini Israel-Palestina

Dilansir dari Kompas.com Konflik bersenjata antara Israel dengan faksi Hamas di Jalur Gaza, Palestina akhirnya berakhir, setelah tercapainya gencatan senjata antara kedua belah pihak. Total 244 orang tewas selama konflik antara Hamas dengan Israel.

Sedikitnya 232 warga Palestina, termasuk 65 anak-anak, terbunuh akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza. Sedangkan Israel melaporkan 12 warganya, termasuk 2 anak-anak, terbunuh akibat serangan roket Hamas. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengapresiasi terciptanya gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Guterres menambahkan, setelah 11 hari konflik berdarah, dia berharap kedua belah pihak menyadari tanggung jawab perdamaian dan terciptanya rekonsiliasi. Dikutip dari akun Twitternya, Jumat (21/5/2021).

Dugaan Kejahatan Perang baik oleh Israel dan Hamas harus diselidiki secara berani oleh Mahkamah Pidana Internasional namun yang menjadi persoalaan adalah kemampuan Hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional benar-benar dapat diterapkan dan bagi pelanggarnya, mengingat hingga saat ini baik Israel dan Hamas masih melanggar ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional hingga mengakibatkan krisis Hak Asasi Manusia yang berkelanjutan akan terus terjadi. 

Intervensi dari komunitas internasional dan kesatuan pemahaman yang objektif yang masih terus diharapkan untuk menemukan solusi bersama.