Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disingkat menjadi KUHP merupakan pedoman yang memberi batasan-batasan terhadap perbuatan mana yang dikatakan kejahatan dan perbuatan mana pula yang dikatakan pelanggaran.
Secara definisi awam, kejahatan dan pelanggaran adalah perbuatan yang sama-sama dikategorikan tidak baik sehingga sulit merumuskan eksplisit perbedaannya bahkan KUHP sendiri tidak memberi penjelasan perbedaan kedua perbuatan ini.
Beberapa referensi menjelaskan kualifikasi dikatakan kejahatan yaitu walaupun perbuatan tersebut tidak diatur sebagai tindak pidana dalam undang-undang namun seluruh masyarakat menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan, sedangkan kualifikasi dikatakan pelanggaran yaitu masyarakat baru menyadari perbuatan tersebut sebagai tindak pidana karena diatur dalam undang-undang.
Berkaitan dengan pelanggaran, ada satu permasalahan sosial yang meresahkan ketertiban bermasyarakat dan belum menemukan titik temu penyelesaian sedangkan undang-undang jelas mengatur sanksi bagi pelaku.
Permasalahan sosial tersebut terkait pengemis atau peminta-minta. Alih-alih berbelas kasihan, tidak jarang beberapa pengemis justru malah memberi kesan mengganggu seperti enggan pergi apabila tidak diberi uang atau tiba-tiba muncul merusuhi ketika kita sedang makan.
Seorang teman bercerita keluhannya terhadap pengemis yang diduga terorganisasi. Dugaan ini muncul ketika seorang teman tersebut melihat pengemis yang sama di lokasi yang sama pula memberi hasil pencarian dari mengemisnya kepada orang tidak dikenal yang mungkin saja bos dari organisasi itu.
Parahnya lagi, beberapa pengemis yang turun ke jalanan adalah anak di bawah umur. Lebih memalukan pula mendengar fenomena pengemis bertambah di bulan ramadan dan berpenghasilan dua ratus sampai tiga ratus ribu per hari.
Seolah-olah pengemisan merupakan profesi baru yang diminati masyarakat sebagai jalan alternatif karena beberapa faktor seperti sulitnya mencari pekerjaan, budaya hukum yang lembek, perhatian pemerintah belum fokus, sudut pandang masyarakat yang cenderung religius sosialis, kurangnya edukasi prinsip hidup sehingga kebiasaan malas berpikir dan bertindak mewabah menjadi penyakit kronis.
Asumsi bahwa pengemisan merupakan profesi baru berangkat dari potret ramainya pengemis yang ditemui hampir disetiap lampu merah, di halaman depan masjid, di pusat perbelanjaan, bahkan sampai ke lokasi kampus khususnya di kota Medan.
Pengemis dengan wajah lesunya memainkan drama kepantasan masyarakat untuk memberi rasa iba kepadanya. Tidak sedikit dari pengemis yang memanfaatkan kondisi difabel, pakaian sobek, atau anak yang digendongnya sebagai bahan atau alasan dapat dikatakan wajar dan diperbolehkannya ia menyandang pengemisan sebagai profesi.
Ajaibnya, tidak sedikit pula dari masyarakat yang tergiur untuk mengasihaninya seperti otomatis terhipnotis karena berbanding lurus dengan pola budaya masyarakat yang kental mengutamakan nilai-nilai anti individualis.
Padahal berdasarkan Pasal 504 ayat (1) KUHP, barangsiapa minta-minta (mengemis) di tempat umum dihukum karena minta-minta dengan kurungan selama-lamanya enam minggu, sedangkan RUU KUHP yang rencananya lanjut ke pembahasan tingkat II dan masih menuai kritik, mengancam penggelandangan dengan denda maksimal satu juta rupiah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 342 RUU KUHP.
Dikutip dari detik news, hal tersebut bertujuan untuk menghapus ancaman pidana kurungan bagi pelaku peminta-minta yang sebelumnya diatur dalam KUHP.
Larangan ini juga diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktik Susila Di Kota Medan Pasal 2 ayat (1) yang diancam pidana kurungan enam bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya lima juta rupiah.
Pasal-pasal tersebut setidaknya memberi pengaruh terhadap mobilitas perkembangan, perluasan dan penyebaran pengemis yang seharusnya dapat diatasi.
Menguak upaya-upaya pemerintah seperti upaya prepentif, represif, dan rehabilitatif yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pun tampaknya masih sebagai lukisan indah yang implementasiannya belum mencukupi untuk menjawab permasalahan pengemis.
Berbagai program-program yang ditawarkan Dinas Sosial seperti program membina pengemis yang tidak memiliki keluarga di dalam panti rehabilitasi masih belum menemukan titik penyelesaian.
Tidak sampai itu saja, pemerintah daerah juga menghimbau partisipasi masyarakat seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (5) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktik Susila Di Kota Medan mengenai kewajiban melaporkan kepada pihak berwenang bagi siapa saja yang mengetahui, melihat dan melanggar perbuatan pengemisan.
Tentu saja imbauan ini meninggalkan pertanyaan besar dibalik budaya masyarakat yang cenderung bersifat kordial atau mengedepankan rasa toleransi. Esensinya, daripada melapor kepada pihak berwenang masyarakat lebih memilih jalan cepat memberi uang dua ribu rupiah kepada pengemis.
Lalu menyinggung siapa yang dikatakan sebagai pihak berwenang dalam Perda tersebut jawabannya adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintah kota Medan yang kemudian diberi wewenang sebagai penyidik.
Apakah seluruh lapisan masyarakat memahami hal ini? Bagaimana jika masyarakat tidak paham, apakah pelaksanaan frasa kata wajib melaporkan dalam pasal tersebut masih dapat dilakukan?
Ironisnya, eksistensi Pasal 2 ayat (5) Perda Kota Medan tersebut memiliki permasalahan terpisah dengan permasalahan isu pengemis. Misalnya permasalahan pertama, sejauh mana masyarakat mengetahui himbauan kewajiban melapor seperti yang tertuang dalam Pasal tersebut?
Lalu kemudian tugas siapa yang seharusnya mensosialisasikan himbauan ini? Seberapa efektifkah pelaksanaan pasal ini untuk mengurangi dan atau memberantas perbuatan pengemisan?
Bagaimana jika masyarakat tidak melaksanakan kewajibannya untuk melapor, sanksi apa yang ia terima? Jika permasalahan pertama dianggap selesai, tidak menutup kemungkinan muncul permasalahan kedua seperti kerumitan administrasi berperkara, pun melapor kepada pihak berwenang mengorbankan waktu dan biaya.
Walaupun dalam hukum acara pidana dikenal asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan tapi realitasnya beberapa masyarakat mengeluh kerumitan berperkara ke pengadilan.
Ketika larangan undang-undang dan upaya penanggulangan oleh pemerintah serta himbauan kepada masyarakat untuk melapor perbuatan tersebut masih belum cukup memberi dampak berkurangnya pergerakan pengemis, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dimana letak titik permasalahan ini?
Apakah mustahil apabila visi menyapu bersih pengemis terlaksana secara menyeluruh? Karena apabila meninjau ulang Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Hemat saya, pengemis termasuk kategori masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Lemah disini bukan hanya sebatas tidak mempunyai pekerjaan yang layak, tapi juga melingkupi latar belakang mengapa pengemis mengandalkan meminta-minta daripada bekerja sesuai dengan kecakapan dan keterampilan masing-masing.
Artinya, kewajiban pemerintah masih belum selesai dalam hal pasal tersebut.
Memang beban pertanggungjawaban tidak sekonyong-konyongnya diberikan kepada pemerintah. Mengarah pada kajian kriminologi untuk memberantas suatu pemasalahan perlu kajian komprehensif yang meliputi segala aspek dan melibatkan seluruh komponen subjek mulai dari tingkat yang paling rendah yaitu masyarakat sampai kepada pemerintah dan pihak terkait lainnya.
Diliput dari tribunmedan.com tahun 2018, Kepala Dinas Sosial kota Medan berkomentar beberapa pengemis yang telah mendapat binaan atau yang sudah dipulangkan kepada keluarganya namun masih saja kembali mengemis ke jalanan sudah menjadi kerusakan mental.
Berbeda dengan Bapak Abdul Hakim Siregar yang berpendapat dalam aspek tatanan sosial, masyarakat tidak bisa disalahkan dengan alasan kerusakan mental karena yang salah adalah sistemnya.
Pendapat yang senada pula oleh Bapak Muhammad Adlin Ginting, ketika suatu tujuan tidak tercapai sesuai dengan cita-cita maka yang perlu diubah adalah sistemnya.
Menyimpulkan ketiga pendapat tersebut, saya pikir perspektif sosiologi hukum dapat diandalkan. Hukum yang diciptakan untuk masyarakat, yang menjalani hukum tersebut masyarakat juga serta dampak yang dihasilkan tentunya kembali ke masyarakat.
Hukum berasal dari budaya masyarakat dan bersifat dinamis sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu perlu sinkronisasi antara peraturan tertulis yang sedang berlaku saat ini dengan objek kajian peraturan itu sendiri yaitu masyarakat.
Apakah perlu pemberlakuan larangan pengemisan sedangkan budaya masyarakat masih menganggap bahwa pengemisan adalah cara praktis menghidupi diri? Atau apakah sanksi yang diberikan terhadap pengemis berdampak terwujudnya cita-cita hukum seperti yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, khususnya nilai kemanfaatan?
Pengkajian hubungan kausalitas dijadikan sebagai pertimbangan untuk menjawab arah yang seperti apa seharusnya dilakukan saat ini.