Perkembangan zaman dan kemunculan teknologi canggih menjadi sebuah pisau bermata dua bagi masyarakat suatu negara. Di sisi lain dapat menjadi sebuah jalan untuk meningkatkan kualitas suatu negara, tapi di sisi lain dapat menjadi bumerang yang mengubah tatanan yang sudah menjadi ciri khas negara.
Membicarakan sisi positif dari zaman yang semakin modern dan teknologi yang canggih mungkin sudah bisa dijumpai pada beberapa artikel yang sudah bisa di baca pada media berita elektronik, begitu pun dengan sisi negatifnya. Namun, tulisan ini akan membahas sedikit dari beberapa dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemunculan teknologi yang selalu inovatif.
Indonesia di kenal sebagai sebuah negara dengan budaya dan adat istiadat yang kental dengan banyaknya suku yang ada. Tak hanya itu, tata krama orang Indonesia sudah sangat terkenal di seluruh dunia, salah duanya adalah kesopanan serta keramahan yang selalu ditampilkan oleh masyarakat Indonesia dimana pun dan dengan siapa pun, baik yang di kenal maupun yang baru di kenal.
Apakah di zaman sekarang sikap ini masih eksis di kalangan milenial atau sudah mulai di tinggal oleh anak-anak muda yang kesehariannya selalu ditemani oleh layar pintar ditangannya? Pertanyaan ini sudah sangat lumrah ditanyakan terlebih bagi orang-orang yang kelahiran di atas tahun 90an yang kini menjadi orang tua, pertanyaan ini sudah menjadi pertanyaan sekaligus keresahan tak berkesudahan. Bagaimana tidak, anak yang sudah dibesarkan bersusah payah tetapi terkadang mengumpat dengan kata-kata tak pantas ketika di tegur untuk suatu yang salah.
Sayangnya, tata krama, didikan sopan santun yang sudah mendarah daging bagi masyarakat 'garis khatulistiwa' ini sudah sangat jarang dijumpai pada generasi milenial saat ini. Tidak dapat dipungkiri, entah setuju ataupun tidak hal ini memang benar terjadi pada generasi milenial. Supaya dapat memberikan gambaran bagaimana hal ini terjadi, berikut saya paparkan beberapa perbedaan generasi milenial dengan generasi sebelumnya yang masih menjunjung tata krama dan sopan santun.
Pertama, generasi milenial sekarang lebih banyak bercumbu dengan ponsel pintar mereka dibanding berinteraksi langsung dengan sanak saudara. Berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana kualitas suatu hubungan dapat dilihat langsung melalui interaksi dan komunikasi langsung.
Kedua, bagi generasi sebelumnya, di tegur guru menjadi momentum yang paling tidak diinginkan karena menimbulkan rasa sangat bersalah. Namun sekarang di tegur guru, bukannya mendengarkan dan meminta maaf, malah ngelunjak dan terkadang mengata-ngatai guru. Begitupun dengan orang tua, dahulu di tegur orang tua sangat membantu dalam proses untuk belajar bagaimana menghormati orang yang lebih tua, namun sekarang di tegur orang tua kadang ngelawan dan mengata-ngatai orang tua dengan kata tak sopan bahkan dengan nada bicara yang ditinggikan.
Ketiga, dahulu waktu maghrib sampai isya' adalah waktu yang sibuk untuk mengaji di masjid atau mushola, mengikuti rangkaian sholat maghrib berjamaah, membaca Al Qur'an hingga sebagai penutup bersalaman kepada guru ngaji sebelum beranjak pulang, Namun sekarang, banyak sekali dijumpai generasi milenial terlebih yang masih duduk di bangku sekolah, bukannya ke mushola atau masjid melainkan mencari tempat untuk berkumpul lalu asik dengan memainkan layar ponsel canggihnya.
Sebenarnya, masih sangat banyak perbedaan generasi milenial dengan generasi sebelumnya yang berdampak pada tergerusnya keberadaan tata krama serta sopan santun generasi milenial sekarang dan sering kita jumpai perbedaannya.
Beberapa faktor yang menyebabkan semakin hilangnya tata krama dan sopan santun generasi milenial dapat terjadi karena beberapa hal yakni faktor di dalam rumah dan di luar rumah seperti yang dipaparkan oleh Yuliati Umrah, seorang pemerhati anak dalam sebuah artikel online yang diterbitkan oleh expostnews.com dengan judul "Dua Pemicu Ini Dicurigai Hilangkan Tata Krama Generasi Milenial"
Faktor di dalam rumah berkaitan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Fokus pada faktor ini adalah bagaimana kualitas komunikasi dan interaksi antara anak dan anggota keluarga terutama orang tua. Semakin banyak dan berkualitas interaksi komunikasi terjalin, anak akan mendapat lebih banyak kasih sayang yang selanjutnya berdampak pada kemampuan anak untuk mengontrol emosional serta mengetahui lebih banyak pola perilaku yang baik, karena pada dasarnya anak menjadi peniru yang hebat.
Orang tua zaman sekarang rata-rata lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, sehingga ketika pagi hari sebelum berangkat kerja komunikasi yang terjalin sangat singkat, pun begitu ketika pulang kerja terkadang tidak ada waktu untuk berkumpul dengan keluarga yang lain karena dalam keadaan lelah sehabis bekerja belum lagi jika dalam perjalanan pulang dihadapi dengan hiruk pikuk jalanan yang macet dan kendala lainnya.
Terlepas dari faktor komunikasi orang tua, dimana anak kurang mendapatkan perhatian orang tua. Sisi lainnya adalah tidak semua orang tua dapat memposisikan diri sebagai orang tua sekaligus sebagai teman bagi anak, banyak yang hanya memposisikan diri sebagai orang tua dan anak segan untuk bercerita kepada orang tua, sehingga anak cenderung mencari cara lain untuk bisa didengarkan ceritanya yang terkadang menimbulkan masalah baru, misalnya menuangkan keluh kesah di media sosial.
Perlu di ingat juga, orang tua yang belum melek dalam memanfaatkan teknologi secara optimal, dimana orang tua seperti ini terkadang tidak mengetahui jenis tontonan apa yang pantas untuk anaknya, game yang sesuai dengan usianya, bahkan kata-kata kekinian yang merajalela saat ini. Hal ini kemudian menyebabkan anak dengan leluasa berbicara atau mengumpat dengan kata-kata tidak sopan yang asing di telinga orang tuanya sehingga orang tua tak memberikan teguran.
Faktor di luar rumah berkaitan dengan pendidikan, kemajuan teknologi, peranan guru dalam proses pembelajaran di sekolah, serta interaksi dengan orang lain.
Pendidikan di Indonesia berfokus pada pendidikan berkarakter, namun belum maksimal dalam pemberian pendampingan dan pembentukan karakter anak, guru hanya sebatas transfer of knowledge dan belum seutuhnya menjadi sosok yang mampu memberikan bimbingan lebih terutama dalam mengarahkan peserta didik untuk mengetahui dampak penggunaan teknologi, internet, serta bagaimana cara berinteraksi sosial yang baik.
Pengaruh teknologi juga tak dapat dipungkiri. Google sudah menerapkan kebijakan dalam pembuatan akun google, namun kontrol sosialnya belum berjalan dengan baik, masih banyak anak-anak sekolah di bawah umur dapat menggunakan data palsu untuk membuat akun google ataupun akun sosial media.
Selain itu, kemunculan beberapa game online tanpa filter usia juga mengakibatkan anak dengan bebas mendownload game yang belum sesuai dengan usianya, pun begitu anak-anak di bawah umur masih bisa menonton acara televisi yang tidak sesuai usia dengan leluasa tanpa kontrol maksimal dari orang tua, alhasil kemampuan meniru anak tersalurkan dengan meniru apa yang ada di game dan tontonan yang salah.
Interaksi dengan sesama teman juga dapat mempengaruhi keperibadian, sopan santun dan tata krama seorang anak. Biasanya mereka akan cenderung sama dengan kelompok bermainnya jika tidak memiliki pedoman yang selalu diajarkan oleh orang tuanya.
Kedua faktor tersebut memang mendasar dan berdampak pada eksistensi tata krama dan sopan santun generasi milenial di Bumi Pertiwi saat ini. Sehingga, diperlukan perhatian lebih dari seluruh pihak terutama sekolah dan orang tua. Hal ini juga harus menjadi perhatian masyarakat luas, bagaimana menegur jika menyimpang dan memberikan arahan yang baik. Terlebih baik anak-anak di bawah umur sehingga tidak terbawa hingga dewasa.
Bukan perkara sibuk mengurusi hidup orang lain atau ikut campur terhadap hidup orang lain, ini masalah sederhana dan tidak menyinggung privasi seseorang lebih dalam. Bukankah ketika mengetahui terjadi suatu yang salah, kemudian membiarkan, dan tidak menegur akan menjadi dosa bagi diri sendiri? :)