Feminis itu benci laki-laki! Feminis itu konsep Barat! Feminis itu tidak boleh menggunakan make-up dan bra! Feminis antipernikahan! Feminisme itu hanya menguntungkan para perempuan!

Pernyataan-pernyataan itu hanya segelintir stigma populer yang menyelimuti wajah feminisme zaman ini apalagi di Indonesia. Di Indonesia, feminisme sering sekali ditolak oleh masyarakat, khususnya oleh mereka yang telah melihat wajah feminisme dengan stigma-stigma di atas. Padahal, feminisme tidak seburuk itu.

Saya sendiri, dengan bangga, adalah salah satu diantara mereka yang menggaungkan kesetaraan gender. Mungkin masih bukan seorang feminis yang “sempurna” karena, tentunya saya seorang laki-laki. Dengan perbedaan gender yang begitu nyata pada diri saya tidaklah mempengaruhi gerakan aksi sosial untuk menyukseskan kesetaraan gender ini dan mengedukasinya kepada kalangan khalayak masyarakat khususnya generasi millenial saat ini.

Mengubah stigma dan menerima feminisme memang merupakan suatu hal yang tidak mudah. Apalagi dengan adanya pandangan kuat mengenai bagaimana feminisme itu tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Namun, ada suatu kunci penting yang dapat digunakan untuk menghapus stigma dan mempermudah menerima feminisme. Kunci itu adalah mulailah, secara perlahan, untuk mencoba mengerti konsep feminisme terlebih dahulu.

Namun demikian, masih banyak lagi hal-hal tentang feminisme dan pendukungnya yang belum sempat saya pelajari untuk lebih mengenal lagi wajah feminisme. Meski begitu, kenapa saya dengan bangga mengatakan saya itu seorang yang mendukung adanya gerakan feminisme? Satu alasan sederhana, yaitu karena feminisme memiliki tujuan yang baik.

Feminisme memiliki arti dan tujuan yang beragam, namun, keragaman tujuan itu memiliki satu titik temu. Laura Brunell, dalam Encyclopedia Britannica (2021), mengartikan feminisme sebagai sebuah kepercayaan mengenai kesetaraan semua gender dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Menurut seorang feminis asal Indonesia, Nadya Karima Melati, feminisme merupakan “sebuah pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan.” (Melati, 2019).

Gerakan sosial yang mencari persamaan hak bagi perempuan. Kepedulian yang luas terhadap hak-hak perempuan berasal dari Pencerahan ; salah satu ekspresi penting pertama dari gerakan ini adalah A Vindication of the Rights of Woman karya Mary Wollstonecraft (1792). Konvensi Seneca Falls 1848, diselenggarakan oleh Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott, dan lainnya, menyerukan kesetaraan hukum penuh dengan laki-laki, termasuk kesempatan pendidikan penuh dan kompensasi yang setara; setelah itu gerakan hak pilih perempuan mulai mendapatkan momentum. Itu menghadapi perlawanan yang sangat keras di Inggris dan Amerika Serikat, di mana perempuan memperoleh hak untuk memilih masing-masing pada tahun 1918 dan 1920.

Pada pertengahan abad, gelombang kedua feminisme muncul untuk mengatasi sifat terbatas partisipasi perempuan di tempat kerja dan gagasan umum yang cenderung membatasi perempuan di rumah. Gelombang feminisme ketiga muncul pada akhir abad ke-20 dan terkenal karena menantang feminis kulit putih kelas menengah dan untuk memperluas tujuan feminisme untuk mencakup hak yang sama bagi semua orang tanpa memandang ras, kepercayaan, status ekonomi atau pendidikan, penampilan atau kemampuan fisik, atau preferensi seksual.

Interseksionalitas adalah terobosan untuk memahami bahwa praktik diskriminasi dan ketidakadilan bukan sesuatu yang hitam putih dan bersifat biner. Ada persimpangan, irisan serta keterkaitan yang saling berhubungan antar banyak unsur, yang kemudian membentuk suatu praktik diskriminasi yang dialami baik oleh individu ataupun kelompok tertentu. Interseksi memungkinkan untuk melihat bahwa keterhubungan satu unsur dengan unsur lain berpeluang memiliki kontribusi pada terjadinya praktik diskriminasi berganda atau ketimpangan yang multidimensi.

Interseksionalitas struktural dijelaskan sebagai tempat perempuan menghadapi serangkaian ketertindasan dalam kehidupan mereka, mulai dari kemiskinan hingga permasalahan pekerjaan. 

Banyak perempuan, terutama kulit hitam, menjadi korban diskriminasi ras dalam kelas sosial dan pekerjaan yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian, dijelaskan oleh Crenshaw (1991) bahwa penindasan terhadap perempuan juga terjadi pada undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah ketika posisi perempuan dianggap marginal.

Interseksionalitas politis terjadi ketika perempuan berkonflik dalam agenda politis. Ras dan gender kerap menjadi konflik dan diperjuangkan dalam bidang politik sehingga perempuan terus terpinggirkan.

Interseksionalitas representasional yang artinya perempuan hanya menjadi minoritas dan isu perempuan bukan yang signifikan (Crenshaw 1991). Selain itu, interseksionalitas representasional juga meliputi cara pembangunan budaya populer membentuk citra perempuan dalam ras dan gender yang berakibat pada marginalisasi perempuan itu sendiri karena mengabaikan kepentingan utamanya.

Ini hanya secuil yang saya ketahui tentang feminsme, masih banyak lagi hal yang menarik yang perlu kiranya di kupas tentang feminsme ini apalagi di era Milenial. Pada dasarnya saya memandang gerakan feminisme ini bukanlah suatu gerakan untuk menjadi yang lebih tinggi dan lebih berkuasa atas laki-laki bahkan peribahasanya untuk menginjak kepala laki-laki, melainkan gerakan feminisme ini untuk menyadarkan kita atas hak-hak perempuan yang semestinya memanglah perlu kita berikan dan gaungkan bersama agar terciptanya keadilan sosial dan rasa kemanusiaan yang tinggi sesama manusia.