Lebaran sudah di ambang pintu. Itu artinya siap-siap buat kaum jomblo untuk "pura-pura mati" ditodong pertanyaan, "Kapan nikah?", "Mana pasangannya?", atau "Eh, sudah tua kok masih sendiri aja?"
Iya, aku sudah hafal di luar kepala dan kebal banget pokoknya dengan segala jenis pertanyaan yang mengarah ke "itu-itu" saja. Lebaran penuh jantung berdebar dan greget. Asli! Greget cari seribu alasan untuk melindungi diri sendiri dari "bom sesaat".
Untuk pertama kalinya aku ingin berguru pada Naruto dan belajar jurus seribu bayangan. Soalnya kalau dijawab kasar, takut kualat dan menambah durasi kejombloanku. Di sini aku menyadari bahwa jomblo selalu salah. Huft.
Sudah menjadi budaya kita mendengar pertanyaan "keramat" tersebut di acara kumpul keluarga. Tentu saja lebih horor daripada melihat hantu di siang bolong. Iya 'kan? Buat yang masih "sendiri" lebaran tahun ini, harap bersabar ya. Kita satu aliran, kok. Hehe.
Izinkan aku membagikan sedikit pemahamanku mengenai "pernikahan" yang lebih dari sekadar untuk menjawab pertanyaan di hari raya. Setidaknya, ini akan melapangkan dan menghibur hatiku agar tidak terlalu merasa ngenes.
Bagiku, pernikahan itu sakral, suci, bin agung. Untuk menjalaninya, harus benar-benar siap lahir dan batin. Bukan semata menghentikan pertanyaan orang lain.
Jadi, penting kebahagiaan diri sendiri atau orang lain? Ya penting kebahagiaan diri sendiri, dong. Kalau kita menikah demi menghindari pertanyaan orang lain, berarti kita ingin membahagiakan orang itu.
Jika kita memasuki pernikahan hanya ketika kita sudah siap, maka kebahagiaan sendiri adalah yang utama.
Apakah kita egois? Tidak. Egois itu mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Nah, kita tidak merugikan siapa-siapa 'kan?
Lapangkan hati kita seluas langit tanpa batas. Sebab, "status" tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Jangan pernah bermimpi dibahagiakan oleh status. Karena status ialah "bonus" dari keputusan seumur hidup.
Konyolnya, kita berpikir singkat dan menerima siapa saja yang "datang". Aduh, pikir-pikir dulu. Pernikahan tidak sekonyol itu.
Seandainya orang itu bukan orang yang dicari, yasudah lanjutkan perjalanan. Hidup ini hanya satu kali, lho. Hati kita juga hanya satu, sepertinya juga tercipta teruntuk satu orang saja. Ini sih pendapat subjektifku.
Mengenal seseorang sebelum memutuskan menghabiskan sisa umur bersama dia, juga bukan hal main-main atau lucu-lucuan. Aku yakin, tiap orang punya "ceklis" pribadi untuk kriteria calon teman hidupnya. Yang akan otomatis "nyala" atau tidak saat dekat seseorang.
Ada yang berpendapat, "Nanti cinta akan tumbuh setelah menikah." Siapa yang menjamin? Iya, memang ada orang-orang beruntung yang bisa mencintai setelah menikah.
Lalu, yang kurang beruntung?
Sayangnya, aku tidak percaya dengan "kata orang". Apalagi ini risikonya bukan seperti beli makanan dan tidak sesuai rasanya. Paling kita hanya meletakkan makanan itu dan kehilangan sedikit uang. Tidak sereceh itu, Ferguso.
Kembali lagi, pikir-pikir dulu kalau mau menikah hanya takut ditanya-tanya terus. Logikanya begini, kalau ditanya "Kapan nikah?", memang kesal setengah mati. Tapi, paling satu hari itu saja. Besoknya juga sudah lupa. Eh, kalau salah ambil keputusan dalam menikah, kesalnya tiap hari (seumur hidup).
Menurutku (lagi), pernikahan tak hanya cincin yang melingkar di jari manis perempuan dan laki-laki. Pernikahan ialah tingkatan cinta yang paling agung di dunia ini. Godaannya bukan main-main, pun ujiannya luar biasa.
Jangan pernah bermimpi menikah itu ajang pelarian dari ketidakenakan hidup. Justru lebih enak ketika sendiri. Kita hanya sibuk memikirkan perasaan diri sendiri, bukan orang lain (pasangan). Ketika menikah, kita masih harus memikirkan perasaan pasangan.
Anggap saja ini cerita dari sudut pandangku. Dan, tiap orang punya pandangan sendiri-sendiri. It's okay, kok.
Juga, jangan pernah menginginkan pernikahan hanya untuk menghalalkan hubungan seksual. Orang bilang, hubungan seksual "enaknya" semu. Kali ini aku mencoba memercayai "kata orang".
Kenapa?
Karena jika seandainya dua orang memutuskan menikah hanya untuk menghalalkan hubungan seksual, habis itu hambar sudah cintanya. Yaiyalah, bilang cinta cuma kalau "butuh" saja. Kalau pasangannya tak bersedia, dia bisa mencari di mana saja.
Bukan sarkas, ini kenyataan, "tubuh" manusia juga sama semua. Maka itu, yang membedakan adalah isi dalam hatinya (perasaan saling cinta).
Aku bukan menakuti yang hendak menikah. Ini hanya pandanganku saja. Yang sudah punya calon, ya monggo. Asal dipikir benar-benar dulu. Jangan sampai ada penyesalan, sebab sesal itu ada di belakang. Kita sesama manusia hanya bisa saling mengingatkan.
Yang belum punya pasangan, mari sama-sama saling mendoakan yang terbaik dan berusaha mencari.
Kasihanilah anak-anak yang akan kita lahirkan nanti. Aku berharap, anak-anak kita adalah doa-doa yang dihaturkan kepada Pencipta. Bukan semata "imbas" hubungan seksual yang sebenarnya tak terlalu diinginkan.
Ya, aku memang belum menikah. Tapi, mata dan telinga ini sudah "kenyang" tersajikan pengalaman orang lain. Rasanya, untuk mendapat pelajaran sesuatu tak harus mengalaminya sendiri. Pengalaman orang lain pun sama berharganya.
Intinya, bijak-bijaklah mencari kebahagiaan diri. Jangan melulu ingin mengikuti kata orang lain. Jadi, masih betah menjomblo untuk menemukan orang yang tepat 'kan? Hehe.