Saat ini perekonomian global masih mengalami pelemahan dan proses pemulihan ekonomi yang terjadi di beberapa kawasan masih rentan dan tidak merata, serta pengangguran masih tinggi di banyak negara. Pertumbuhan global yang sampai Oktober 2013 mengalami perlambatan dan downside risks tetap menjadi pusat perhatian. 

Perlambatan tersebut didorong sebagian besar oleh melemahnya permintaan domestik dan pertumbuhan yang masih belum merata, terutama di Eropa; meskipun negara maju lain mengalami perbaikan pertumbuhan terutama Amerika Serikat dan Jepang. 

Selain itu, dampak kebijakan moneter AS bersamaan dengan melemahnya perekonomian negara emerging economies terus meredam pertumbuhan global. 

Berdasarkan laporan IMF's World Economic Outlook, diperkirakan laju perekonomian global pada tahun 2013 hanya tumbuh 2,9%, lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun sebelumnya yaitu 3,2%. IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2014, dari proyeksi awal 3,8% menjadi 3,6%. 

Adapun proyeksi pertumbuhan di beberapa ekonomi dunia diantaranya:

Beberapa negara di kawasan eurozone masih mengalami permasalahan dalam ekonominya. Berdasarkan proyeksi IMF bulan Oktober 2013, kawasan euro hanya akan mencapai pertumbuhan 1% pada tahun 2014.

  • Di Jepang, kebijakan stimulus fiskal dan moneter ekspansif turut menyumbang pada pertumbuhan ekonomi yang sehat. Meski demikian, berakhirnya stimulus fiskal dan reconstruction spending, dipadu dengan peningkatan pajak konsumsi diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dari 2% pada 2013 menjadi 1,25% pada tahun 2014.

  • Ekonomi Amerika Serikat untuk 2014 diperkirakan akan lebih stabil, di mana permintaan domestik swasta akan meningkat antara lain melalui permintaan kredit perumahan yang mengalami pertumbuhan positif. Sementara pertumbuhan ekonominya diperkirakan meningkat dari 1,5% pada tahun 2013 menjadi sebesar 2,5% pada tahun 2014.

  • Berdasarkan proyeksi IMF pada bulan Oktober 2013, pertumbuhan di negara emerging market dan negara berkembang lainnya adalah sebesar 4,5% pada tahun 2013 dan 5% di tahun 2014. Besaran tersebut mengalami penurunan sebesar 0,5% apabila dibandingkan proyeksi IMF Juli 2013. 

  • Beberapa faktor yang masih dipandang dapat mempengaruhi pelemahan pertumbuhan ekonomi global secara signifikan yaitu:

    • Deleveraging sektor swasta, khususnya sektor perbankan, Uncertainty: ketidakpastian arah kebijakan fiskal konsolidasi Amerika dan penyelesaian krisis utang Eropa menyebabkan timbulnya sentimen negatif pada pasar keuangan global.

    • Konsolidasi Fiskal: Program konsolidasi fiskal dan medium-term fiscal plan di negara maju merupakan kunci utama penyelesaian krisis ekonomi global, Rebalancing:  menurunnya global imbalance akan mendorong pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik dan kuat.

    • Emerging markets: melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diantaranya disebabkan oleh menurunnya permintaan global dan implikasi kebijakan domestik untuk mengurangi laju pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi (overheating). 

    • Di tengah krisis dunia akibat pandemi, perperangan, dan faktor lainnya, dunia mengakui keberhasilan Indonesia dalam menjaga kondisi perekonomian tetap stabil. Inflasi Indonesia  hanya 4 sampai 5 persen, sementara Amerika Serikat mencetak inflasi mencapai 9 persen. 

    • Secara umum Indonesia kuat untuk bertahan. Sepanjang sejarah perekonomian beberapa dekade terakhir, belum pernah dalam sejarah inflasi Indonesia lebih rendah dari pada inflasi Amerika Serikat,” kata Miranda Gultom saat menjadi moderator dalam Kuliah Umum Indonesia’s Economic Resilience and Future Challenges bagi peserta PPRA 63 dan 64 Lemhannas RI.

    • Hampir seluruh dunia mengakui kalau Indonesia mengakui kebijakan keuangan dan kebijakan fiscal yang baik. “Kita tidak perlu ragu kalau semua sudah mengakui kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis. Tapi tetap harus hati-hati, anjut mantan  Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tersebut.

    • Seperti yang kita ketahui mengenai kondisi saat ini Indonesia terkait krisis ekonomi tidak terlalu rentan sebagaimana tahun 1998 dahulu karena didukung oleh berbagai kebijakan dan dukungan pemerintah menjaga kestabilan perekonomian.

    • Berbagai babak krisis ekonomi maupun kemelut sosial politik telah mewarnai pembangunan negeri ini, termasuk krisis akibat pandemi Covid-19 dan dampak situasi politik dunia. Namun, di tengah berbagai tantangan tersebut, Indonesia membuktikan mampu melewati seluruhnya dengan baik. 

    • Ke depan, tetap diperlukan kewaspadaan yang tinggi agar Indonesia tetap mampu mempertahankan kemandirian dan kedaulatannya. 

    • Bangsa kita patut bersyukur atas aneka pencapaian di tengah berbagai ragam persoalan, termasuk pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren positif, inflasi yang relatif terkendali, dan surplus neraca perdagangan. Sungguh pun begitu, kita wajib waspada karena aneka rintangan telah menghadang di depan mata,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin ketika menghadiri Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional ISEI Tahun 2022 di Jakarta, Rabu (24/08/2022).

    • Dari sisi kebijakan kemandirian pangan dan energi, Wapres menekankan, diperlukan penguatan dan pemerataan agar dapat turut mendukung pemerataan kesejahteraan di Indonesia.

      “Kemandirian pangan dan energi masih belum sepenuhnya menjelma di negeri ini. Kedua sektor ini merupakan sektor basis (di samping sektor industri) yang menjadi tulang punggung perekonomian. Demikian pula dukungan sektor keuangan juga harus nyata terhadap sektor riil ini. Triple F (food, fuel, and finance) menjadi pusat pertempuran ekonomi yang mesti dimenangkan,” imbau Wapres.

    • Sedangkan dari aspek kebijakan ekonomi, Wapres mengingatkan, mengejar pertumbuhan ekonomi juga harus dibarengi dengan ikhtiar mewujudkan pemerataan pembangunan.

      “Infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan teknologi mesti hadir sampai ke pelosok negeri. Pertumbuhan ekonomi harus menyentuh semua lapisan, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang,” imbaunya.

    • Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, Indonesia termasuk dari sedikit negara yang dalam masa pandemi dari 2020 hingga 2022 tidak terlalu jauh turun pertumbuhan ekonominya dari yang diharapkan.

      Selain itu, akan ada dampak akibat krisis Ukraina dan Rusia pada perekonomian global. “Bila krisis Ukraina dan Rusia tidak selesai, tentu saja ada dampaknya. Akan tetapi, factor itu tidak sendirian, perekonomian China juga berdampak ke Indonesia. Indonesia punya bantalan yang cukup untuk menghadapinya. Saya cukup optimistik, saat ini Indonesia memiliki berbagai tools dan instruments yang bisa dipakai,” kata Miranda Goeltom.