Barcelona pernah alami masa gemilang saat mereka diperkuat oleh Ronaldinho, pemain jenius asal Brazil. Suatu Ketika Barcelona bertandang ke Santiago Bernabeu, kandang Real Madrid. Tak disangka, dalam duel ini Ronaldinho hadirkan magisnya. Mengelabui back muda Sergio Ramos serta cetak gol ke gawang Iker Casillas dengan solo run indahnya. Gol brilian Ronaldinho lantas disambut standing ovation para pendukung Real Madrid sebagai sikap respek dan takjub kepada dirinya.
Yang terbaru, di tahun 2021 MU dipermalukan dengan skor telak 0-5 di kandangnya sendiri. Sebagian pendukungnya saat itu pergi meninggalkan Old Trafford sebagai bentuk hukuman kepada CR7 cs yang tampil memalukan. Sepeninggal Sir Alex, MU memang alami masa penurunan yang berdampak pada minimnya trofi yang mereka raih dalam sembilan tahun terakhir. Kegagalan demi kegagalan kini menjadi sesuatu kewajaran bagi sebagian pendukung MU. Yang mereka rasakan sekarang adalah romantisme kolektif pada masa kejayaan Sir Alex.
Ada pelajaran berharga dalam dua narasi awal tadi. Pertama, pendukung Real Madrid tak merasa dirinya rendah hanya karena memberikan standing ovation ke pemain lawan. Kedua, pendukung MU tak merasa bahwa dunia akan kiamat hanya karena tim kesayangannya alami penurunan kualitas.
Dua pendukung ini sadar, semua ini hanyalah sepak bola yang di dalamnya terdapat momen menang dan kalah. Masih ada kehidupan diluar stadion yang harus mereka jalani kembali. Dapatkah iklim sepak bola Indonesia belajar dari dua fenomena tersebut? Jawabannya: Bisa ya, bisa tidak.
Tak bisa dipungkiri, sepak bola sudah menyatu ke dalam genetika mayoritas masyarakat Indonesia. Dari desa hingga perkotaan, sepak bola merupakan kemeriahan bersama yang melampaui sekat-sekat sosial. Tak peduli buruknya kualitas kompetisi liga dan TIMNAS, sepak bola tetap dicintai semua lapisan masyarakat.
Mungkin ini paradoks yang menarik, karena masyarakat negeri ini tetap mencintai sesuatu yang nyatanya antiproduktif. Prestasi TIMNAS sendiri hanya berkutat di level Asia Tenggara (itu pun hanya posisi runner up).
Seakan sepak bola hanya persoalan kemelut, kini muncul masalah baru di dunia sepak bola Indonesia. Tragedi Kanjuruhan. Kasus di Malang pada Sabtu lalu menjadi tragedi berdarah dalam lembar sejarah Indonesia.
Tragedi yang begitu mengenaskan, karena korban berjatuhan bukan dalam situasi perang, bencana, atau wabah besar yang sedang terjadi. Duel klasik yang seharusnya menjadi gegap gempita kehidupan justru berubah menjadi lahan kuburan massal bagi ratusan suporter.
Kematian suporter di dalam dan di luar stadion sepertinya bukan sesuatu yang baru dalam dunia sepak bola negeri ini. Setiap musim kita selalu mendengar kasus kematian suporter tanpa ada proses bagaimana kedepannya hal ini tidak terulang.
Sebelum tragedi Kanjuruhan, dalam laporan Save Our Soccer, setidaknya sudah ada 78 suporter yang tewas sejak Januari 1995 sampai Juni 2022. Dengan tragedi Kanjuruhan, maka secara kalkulatif suporter yang tewas kini tembus di angka ratusan orang. Ingat, ini bukan perkara statistik, ini perkara nyawa yang tak bisa kembali.
Tragedi Kanjuruhan sekarang berada di urutan dua Deadliest Soccer Matches In History. Insiden Kanjuruhan berada di urutan dua dengan jumlah korban 129 orang (data terakhir). Di urutan pertama adalah insiden Estadio Nacional Disaster di kota Lima (Peru) dengan jumlah korban 328 orang. Muncul dua kesamaan dalam dua tragedi berdarah ini.
Kedua tragedi ini sama-sama bermula dari pemakaian gas air mata oleh kepolisian saat mengamankan huru-hara suporter di stadion. Karena insiden Estadio Nacional Disaster juga lah akhirnya FIFA keluarkan regulasi pelarangan penggunaan gas air mata di stadion.
Banyak tafsir yang muncul pasca insiden Kanjuruhan, namun publik menunggu apa tindakan pemerintah selanjutnya. Terlampau dangkal bila menempatkan kesalahan sepenuhnya kepada pihak suporter. Pertandingan sepak bola merupakan perkara menejerial yang saling terkait, di dalamnya terdapat: Panitia pelaksana, pihak klub, pihak keamanan (kepolisian), serta kordinator suporter.
Sinergitas wajib berjalan dari setiap pihak tanpa pernah terputus. Celakanya, sinergitas inilah yang jarang terjadi. Benturan antar stakeholder rupanya adalah hal yang biasa saat hari H berlangsung. Yang kemudian akan saling menyalahkan pihak ini dan pihak itu bila tragedi sudah terjadi.
Seluruh pecinta sepak bola negeri ini berharap agar tragedi Kanjuruhan tidak selesai di tingkat press release pemerintah. Penjelasan dari MENKO POLHUKAM Mahfud MD terkait tragedi ini tak akan mampu menghapus duka mendalam keluarga yang ditinggalkan. Publik menunggu siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini.
Pihak-pihak yang terhubung dengan insiden tewasnya suporter wajib diganjar dengan hukuman pidana yang mengikat. Bila mengacu pada KUHP, ancaman pidana yang ditanggung bisa mencapai 5 tahun penjara, ini sesuai dengan Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal.
Kondisi (tragedi) yang dialami Indonesia hari ini pernah dirasakan oleh publik Inggris di dekade 80-an. Aksi holiganisme, keributan di dalam stadion, bahkan mati di dalam stadion, semuanya pernah terjadi di Inggris.
Saat itu beruntung mereka memiliki sosok Perdana Menteri Margaret Thatcher yang ingin menghapus realita buruk ini. Dirinya tidak peduli klub-klub Inggris dihukum oleh UEFA untuk dilarang bertanding di luar negaranya (selama bertahun-tahun). Yang dia inginkan saat itu adalah sepak bola Inggris kembali normal tanpa hadir korban jiwa di dalam dan di luar lapangan.
Jika ketegasan merupakan hal langka di negeri ini, jangan harap iklim sepak bola kita berubah. Lalu jangan pula bermimpi situasi sepak bola Indonesia seperti dua paragraf awal yang saya tulis.