Aku dan Mas Zen adalah pasangan yang romantis. Orang-orang sering membicarakan keharmonisan kami. Kesibukan kami tidak pernah menghambat kami dalam berkomunikasi, sehingga kami bisa menjalani hubungan dengan sempurna.

Aku sendiri memang bekerja untuk membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Untungnya, waktu bekerja sif pagi sampai siang. Dengan demikian, tugas melayani suami dan mengurus anak-anak dapat aku lakukan dengan baik.

Mas Zen juga sangat memahamiku. Aku sangat bersyukur dan membuatku semakin sayang kepadanya. Sementara itu, di tengah kesibukannya, Mas Zen juga selalu membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku sangat bahagia hidup bersama Mas Zen.

Namun, kebahagiaan itu ternyata cuman sementara. Betapa pun aku mencoba untuk mempertahankan, tetapi jika Tuhan sudah berkehendak, apalah mau dikata. Tuhan selalu memberi ujian bagi orang-orang yang beriman.

Jadi, ceritanya ketika itu Mas Zen pulang agak kesorean. Lewat pukul lima lebih baru tiba di rumah. Namun, wajahnya tidak tampak lelah. Setelah membersihkan badan dan mengganti baju, Mas Zen bermain dan bergurau dengan anak-anak sembari menunggu waktu azan Magrib.

Sehabis salat, wajah Mas Zen tampak segar dan bersinar wajahnya. Dia mengajari anak-anak membaca Alquran. Setelah Isya, kami makan di luar, restoran sebuah hotel yang mewah, yang mana kami tidak biasa ke sana.

“Kita ke WO restoran aja ya!” kata Mas Zen.

“Wah, kita mau makan enak nih?” tanyaku senang.

“Sekali-kali kan boleh. Biar semua senang,” kata Mas Zen beralasan.” Lagian, di sana buka 24 jam. Kita bisa santai di sana.”

“Aku sih oke aja, Mas!” kataku senang.

Sepanjang perjalanan, Mas Zen selalu membuat obrolan yang menarik. Kadang-kadang dia melucu yang membuat aku dan anak-anakku tertawa bahagia. Aku merasakan kegembiraan suamiku petang itu lain dari biasanya. Cara bercandanya, cara tersenyum, dan tertawanya.

Pada saat kami menikmati makanan di restoran mewah itu, Mas Zen tak berhenti bercerita sambil melempar joke. Kebahagiaan kami malam itu seakan tidak ada bandingnya. Malam itu kami habiskan dengan penuh kebahagiaan sampai kami tidak ada di rumah.

Setiba di rumah, anak-anak yang perutnya kenyang langsung menuju kamar masing-masing untuk tidur. Aku dan Mas Zen juga langsung menuju kamar kami. Karena malam sudah larut, aku sudah sangat mengantuk sekali. Maka aku langsung rebahan dan memejamkan mata.

Aku merasa Mas Zen tiba-tiba membelai rambutku. Lalu ia mengecup bibirku mesra sekali. Tapi aku sudah mengantuk berat, sehingga tidak meresponsnya.

“Dik, malan ini aku menginginkanmu!” bisik Mas Zen.

Mataku terbuka sedikit, tapi aku tidak berkata apa-apa.

“Sekali ini saja!” bisik Mas Zen lagi.

“Aku sudah mengantuk, Mas. Badanku juga cape. Besok saja ya!” kataku menolak.

Mas Zen lalu pelan-pelan melepaskan pelukannya. Lalu aku tidak ingat apa-apa sampai terbangun ketika azan Subuh berkumandang.

Pagi harinya, aku dan Mas Zen melakukan aktivitas seperti biasa. Aku mempersiapkan sarapan untuk Mas Zen dan anak-anak. Setelah sarapan siap, kami sarapan bersama.

“Dik, anak-anak kamu yang mengantar ya!” kata Mas Zen saat masih sarapan. “Aku ada urusan mendesak.”

“Iya, Mas!” jawabku.

Selesai sarapan, Mas Zen langsung berangkat kerja menggunakan mobil. Sementara itu aku mengantar anak-anak sambil berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan mengantar anak-anak sekolah, perasaanku terasa tidak enak sekali. Pikiranku terasa kalut, entah apa penyebabnya. Lalu, aku menelepon Mas Zen, tapi tidak tersambung. Aku mencoba menelepon nomor kantornya.

“Halo!” kataku ketika yang menjawab bukan Mas Zen. “Mau bicara dengan Mas Zen”

“Pak Zen belum datang, Bu!” katanya.

“Oh begitu, ada agenda keluarkah?” tanyaku menyelidik.

“Enggak, Bu. Seharusnya ada rapat sekarang. Tapi pak Zen malah belum datang,” kata si penjawab telepon.

Aku mulai kebingungan. Setelah aku antar anak-anak, aku telusuri jalan menuju kantor Mas Zen. Di sebuah perempatan, aku melihat sebuah mobil yang ringsek karena habis kecelakaan. Ponsel ku berbunyi tanda panggilan masuk.

“Halo!” kata si dia.

“Ya, Halo!” jawabku.

“Dengan Ibu Rara?” tanya si dia.

“Iya benar,” jawabku.

“Saya dari polres Metro. Suami Ibu kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Anggrek,” katanya.

Tangisanku pecah saat itu juga. Aku mengingat mobil yang ringsek di perempatan tadi. Itu mobil Mas Zen. Dengan perasaan kalut dan khawatir bercampur aduk, aku memacu motorku ke rumah sakit Anggrek. Namun sayang, setibanya aku di sana, semua sudah terlambat. Mas Zen menghembuskan napas terakhir sebelum aku tiba di sana.

Aku tidak bisa menahan teriakan histerisku. Bahkan aku sempat pingsan. Sebuah penyesalan yang sampai kini tidak aku terlupa yaitu malamnya Mas Zen menginginkanku dan aku tidak melayaninya.

Kini, sudah empat tahun Mas Zen tiada. Tetapi duka itu tidak kunjung sirna. Beberapa lelaki pernah dengan terus terang mengajakku menikah. Tetapi aku masih belum bisa melupakan Mas Zen.

Aku tahu, kematian Mas Zen adalah takdir Tuhan. Tapi aku benar-benar tidak bisa melupakannya. Setiap kali teringat Mas Zen, aku menangis sedih. Pipiku basah oleh air mata. Aku tak tahu. Duka kehilangan benar-benar susah dimusnahkan.