Tidak mudah memenangkan suatu kontestasi pemilihan kepemimpinan di era demokrasi Pancasila yang masih didikte sistem global demokrasi liberal.

Di tahun 2018 ini dan 2019 nanti, 'demam' terkait rebutan posisi yang kepemimpinan terjadi. Para bakal calon Presiden dan Wapres terlihat tidak mau ketinggalan momentum. Hal itu terlihat dengan iklan, pencitraan, serta kerja-kerja yang bertujuan menarik perhatian publik diperlihatkan ke media massa.

Sang petahana, Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019 mendatang. Banyak pihak, baik yang teguh berdiri memperjuangkan Jokowi dua periode maupun pihak yang menghendaki pergantian Presiden 2019, diprediksikan tengah menyiapkan strategi kampanyenya masing-masing.

Sebagai petahana, layaknya SBY pada masanya, jelas Presiden Joko Widodo makin berada di atas angin. Kerja nyata dan kepiawaiannya membangun komunikasi politik dan beberapa program pemerintahan yang ada tak diragukan lagi.

Saat ini, Jokowi masih memiliki elektabilitas dan popularitas yang cukup baik. Ditunjukkan dengan hasil survei dari Indobarometer pada 15-23 November 2017, Jokowi berada di puncak dengan elektabilitas 41,8 persen untuk simulasi 16 calon Presiden. Di bawahnya, Prabowo Subianto 13,6 persen dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 4,5 persen.

Hasil survei elektabilitas Jokowi di posisi pertama dan kedua, tentunya banyak tokoh yang ingin menjadi pendamping Jokowi untuk maju ikut kontestasi Pilpres 2019. Itu karena posisi cawapres pada pilpres 2019 sangat strategis, terutama untuk menjadi pendamping Presiden Jokowi yang diprediksi oleh banyak lembaga survei akan memenangkan pilpres 2019. Lantas calon wakil presiden manakah yang pantas mendampingi Jokowi?

Pertama, klaim Cak Imin sebagai pemimpin zaman now dan panglima santri ditunjukkan dengan banyaknya baliho yang mengatasnamakan Cak Imin sebagai Calon Wakil Presiden 2019. Memang wajar Cak Imin berpeluang besar.

Dalam survei terbaru yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia tentang figur cawapres yang mempunyai daya tarik agama, popularitas Cak Imin menempati posisi pertama dibandingkan tokoh lainnya seperti Muhammad Romahurmuzy, Shohibul Iman, M Zaiunul Majdi, dan Zulkifli Hasan.

Menurut saya, sentimen agama dan identitas dipastikan akan berlanjut pada pilpres 2019. Untuk itu, mengambil tokoh Islam sebagai cawapres adalah salah satu opsi untuk menghentikan kegaduhann politik berkepanjangan bagi para capres.

Kedua, TGH M. Zainul Majdi (TGB) yang saat ini menjabat orang nomor satu di Nusa Tenggara Barat. Memang tingkat pengenalan TGB masih rendah, namun tingkat kesukaan publik yang mengenalnya sangat tinggi (survei LSI 7-14 Januari 2018).

Hal ini merupakan bukti masyarakat Indonesia masih objektif melihat figur. Namun, yang sangat disayangkan, saat ini TGB yang besar melalui Partai Demokrat SBY malah menggadang-gadangkan anaknya AHY.

Ketiga, AHY. Anak SBY ini memutuskan pada 2016 masuk ke dunia politik untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Hal tersebut membuat AHY harus memutus karier militernya. 

Saat ini AHY yang merupakan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Pemilu 2019 sudah melakulan safari politik ke berbagai daerah di Indonesia. Apakah AHY dapat membuat gebrakan pada kontestasi Pilpres 2019? Patut dinantikan.

Keempat, Gatot Nurmantyo. Namanya terus meroket setelah aksi damai 411 dan 212. Banyak ulama saat itu mendukung penuh Gatot untuk ikut kontestasi Pilpres 2019. Apalagi setelah dirinya tidak lagi menjabat Panglima TNI. Gatot menjadi obat kerinduan masyarakat akan hadirnya tokoh militer sebagai pemimpin negeri. 

Hal yang kemudian ditunjang dengan ekspos sisi religiusitas Gatot, oleh media-media, dan menjadikan sosok Gatot sebagai panutan yang dirasa perlu mendapat porsi lebih di dunia politik. Saat ini Gatot juga telah melakukan safari politik ke beberapa elite parpol dan berbagai lapisan masyarakat.

Kelima, Susi Pudjiastuti. Wanita yang disebut Kartini Milenial ini bahkan masuk dalam bursa Cawapres Jokowi pada survei Litbang Kompas tentang elektabilitas bakal Cawapres Jokowi pada 21 Maret hingga 1 April 2018, menempatkan Susi diurutan keempat dengan 4,8 persen.

Meski masih di bawah Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo, tapi Susi berada di atas Mahfud MD serta Sri Mulyani dan Puan Maharani, yang notabene juga menteri di kabinet Jokowi.

Keenam, Puan Maharani. Bahkan PDIP melalui Wakil Sekjen terang-terangan mengatakan, putri ketua umum PDIP tersebut masuk dalam bursa cawapres Jokowi di Pilpres 2019.

Ketujuh, Prabowo Subianto. Memasukkan nama Prabowo ke dalam calon wakil presiden Jokowi adalah bentuk solusi Pilpres adem. Karena banyak masyarakat yang berpikir, apabila Jokowi rangkul Prabowo di Pilpres 2019, pemilu akan adem; tidak ada lagi muncul berita hoax dan saling fitnah-menfitnah.

Bahkan Jokowi tidak menutup kemungkinan merangkul Prabowo. Pernyataan tersebut diungkap saat menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam program Mata Najwa tanggal 25 april 2018. Berikut pernyataannya:

"Ya kan boleh-boleh saja ada ide menuju ke sana. Dalam rangka kebaikan negara ke depan, kenapa tidak (gandeng Prabowo). Kalau saya membuka semua opsi yang ada," kata Jokowi.

Prabowo mungkin saja gabung Jokowi. Apalagi jika PKS tidak diberi porsi Wapres oleh Prabowo dan Gerindra, maka bisa jadi PKS akan membentuk poros baru dengan parpol lain, misalnya, seperti PKB atau PAN, dan mengusung capres-cawapres sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh ketua DPP PKS, Mardani Ali kepada Viva.com 15 April 2018. “Selalu ada kemungkinan,” kata Mardani Ali.

Karena koalisi politik itu amat dinamis, bisa saja dahulu menjadi kawan, kemudian menjadi lawan. Begitupun sebaliknya.

Bahkan berdasarkan survei terakhir Litbang Kompas, Prabowo menjadi tokoh kedua yang paling banyak dipilih responden sebagai cawapres Jokowi setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Prabowo menduduki peringkat kedua dengan elektabilitas 8,8 persen untuk menjadi cawapres Jokowi.

Apabila hal itu terjadi nyatanya, tentunya ada segelintir yang akan menolak, yakni loyalis Prabowo, yaitu Fadli Zon. Menurutnya, "Jokowi-Prabowo tidak cocok, Orientasinya berbeda," Ungkap Fadli Zon artikel di CNNindonesia.com pada 25 April 2018.

Meskipun demikian, Jokowi dan Prabowo, keduanya sama-sama didukung oleh tokoh-tokoh era Reformasi di masing-masing kubu. Jika saya sederhanakan, kedua-duanya sama-sama mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda dalam membangun bangsa dan tanah air ini agar lebih baik.

Untuk itu, pada 2019 nanti, akan menjadi momentum yang penting bangsa Indonesia, di mana rakyat dapat menyaksikan pembuktian kenegarawanan dari kedua Tokoh yang telah dideklarasikan oleh para pendukungnya sebagai Capres Republik Indonesia dalam mengambil keputusan politiknya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Patut dinantikan, apakah Jokowi dan Prabowo akan bersaing dan bertempur dalam ajang Pilpres 2019 nanti, atau justru memilih bersatu menyatukan kekuatan (berkoalisi) bersama-sama membangun bangsa dan tanah air agar lebih baik?

Jejak politik yang sedang dijalankan Jokowi dan semangat nothing to lose yang dirajut Prabowo di gelaran Pilres 2019 menjadi sebuah kemungkinan yang layak untuk ditunggu kelanjutannya.

Bagaimanapun juga, Jokowi dan Prabowo adalah dua dari banyaknya putra terbaik bangsa yang akan mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara, sehingga kesimpulan saya, Pilpres 2019 nanti adalah momentum pembuktian hadirnya negarawan sejati yang akan membawa Indonesia menuju Indonesia Emas, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa terdahulu.