Salah satu kasus dugaan korupsi, dari ratusan bahkan ribuan dugaan korupsi lainnya, pula yang masih hangat diwartakan media akhir-akhir ini adalah kasusnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Setya Novanto. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait proyek pengadaan KTP elektronik yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Penetapan tersebut dibacakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK (17/7).
Dalam konteks di atas, ia diharapkan mengedepankan sikap kenegarawanan dan etika dalam berpolitik, di samping juga menjaga citra DPR, lembaga yang ia pimpinnya kini. Ia harus meperhitungkan citra DPR yang ikut terkena dampak negatif pasca penetapan tersangkanya kini.
Sebenarnya, kasus Novanto berurusan dengan hukum juga pernah terjadi pada akhir tahun 2015. Saat itu publik sempat dihebohkan dengan rekaman perbincangan antara dirinya dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maruf Sjamsoeddin dan Riza Chalid. Ia diduga mengutip nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kasus tersebut dikenal dengan sebutan “Kasus Papa Minta Saham”.
Ia sempat mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR saat itu. Namun, karena dinilai tidak cukup bukti dalam kasus di atas, November 2016 ia kembali menjadi Ketua DPR setelah berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Deskripsi di atas adalah salah satu contoh kasus yang terus menggerogoti imunitas negeri ini. “Korupsi” namanya. Tentu karena banyak faktor yang melatarbelakanginya sehingga sampai detik ini, tindakan tersebut sangat sulit untuk ditumpas hingga ke akar-akarnya.
Korupsi
Korupsi adalah perilaku siapa saja, baik ia sebagai pejabat publik, politisi, maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.
Kata "korupsi" itu sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio dan corruptus yang artinya kerusakan, kebobrokan dan kebusukan. Dalam Bahasa Yunani, corruptio menunjukkan perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, material, mental dan umum.
Maka dari itu, dampak korupsi tidak hanya sekadar menimbulkan kerugian keuangan negara, namun dapat menimbulkan kerusakan kehidupan yang tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi sebaliknya.
Definisi di atas diperkuat oleh seorang pakar antikorupsi yang sudah malang melintang, baik sebagai konsultan maupun peneliti di lebih 39 negara, Robert Klitgard. Beliau mendefinisikan korupsi sebagai sebuah diskresi atau monopoli tanpa adanya akuntabilitas. Dikenal sebagai teori Klitgard C=M+D-A.
Menurutnya, korupsi (C) adalah monopoli kekuatan oleh pimpinan (M) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (D) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (-A).
- Menurut UU No. 31/1999 jo No. UU 20/ 2001, terdapat 7 kelompok tindak pidana korupsi yang terdiri dari: (1) kerugian keuangan negara; (2) suap-menyuap; (3) pemerasan; (4) perbuatan curang; (5) penggelapan jabatan; (6) benturan kepentingan dalam pengadaan; (7) gratifikasi.
- Dengan demikian, sebagai aparatur negara, merupakan suatu tanggung jawab da amanah untuk menghindari sikap-sikap korupsi dengan menanamkan kesadaran diri tentang nilai-nilai antikorupsi.
- Adapun nilai dasar antikorupsi yang dihasilkan KPK bersama para pakar setelah melakukan identifikasi nilai-nilai antikorupsi, yaitu: jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Perspektif Gunnar Myrdal
Jika kita membaca catatan Cak Nur dalam Fatsoen (2002), di sana beliau memotret pernyataan Karl Gunnar Myrdal (1898-1987), seorang ahli ekonomi Swedia yang juga sebagai pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1974, memasukkan Indonesia ke dalam kategori negara berkembang. Beliau menyebutnya sebagai kelompok negara-negara lunak (soft states).
Myrdal menyebut Indonesia seperti di atas bukan sekadar tudingan tanpa fakta. Negeri kita secara faktual memang sangat “lunak” dalam arti tidak mempunyai disiplin sosial. Kelemahan dan kesewenangan telah disalahgunakan untuk kepentingan individu oleh orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, dan politik.
Menurutnya, kesempatan penyalahgunaan baik dalam ukuran besar ataupun kecil di negeri ini telah mengakar seolah sudah membudaya.
Analisis Myrdal mengenai Indonesia sangat objektif, tepat, dan akurat. Beliau menyebut Indonesia bebas dari korupsi pada saat zaman kolonial Belanda. Namun, setelah beberapa tahun melewati kemerdekaan menjadi negeri yang paling korup hingga kini, sekalipun. Sungguh sangat miris dan menyedihkan.
Myrdal menawarkan solusi konkrit yang sangat jitu untuk memberantas penyakit akut tersebut dengan dua jurus ampuh melumpuhkannya, yaitu kemampuan politik yang kuat dan keteladanan pemimpin. Keduanya harus berjalan bersama, beriringan. Tidak boleh lemah di salah satunya.
Prinsipnya sebagai berikut: “Tanpa keteladanan, apa pun seruan dan tindakan pemimpin, tidak akan pernah berwibawa karena tidak otentik. Begitu juga sebaliknya, keteladanan tanpa kemauan politik yang kuat, kepemimpinan seseorang tak akan efektif.”
Tokoh ideal yang cocok dengan kriteria yang ditawarkan Myrdal dalam konteks pemberantasan korupsi adalah Rajaratnam (1915-2006) dari Singapura. Dalam pandangan Myrdal, Singapura adalah satu-satunya dari kalangan negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara yang bukan termasuk negara berkembang dan bukan kategori “negara lunak”.
Lihatlah Singapura kini. Ia merupakan negara yang memiliki pemerintahan yang bersih, spirit rakyatnya untuk membangun senantiasa berkobar. Kondisi demikian tentu berkat kemauan politik yang kuat dari Rajaratnam, sosok pemimpin yang keras kemauannya untuk memberantas korupsi ditambah dengan keteladanan diri dan keluarganya yang bersih.
Indonesia seharusnya belajar banyak dari kesuksesan Singapura dalam memberantas habis penyakit korupsi yang sudah mengakar di mana-mana. Negeri ini membutuhkan para pemimpin dan pejabat yang sudah selesai dengan dirinya. Ia tidak identik dengan orang kaya, karena tidak sedikit orang kaya pun terus mencari tambahan kekayaan, bahkan menambahnya pun melalui korupsi.
Negeri ini sangat membutuhkan pemimpin yang jujur terhadap kebaikan dan kebenaran. Pemimpin tersebut adalah orang yang berorientasi pengabdian, kompeten, dan tentunya pemimpin tersebut adalah orang yang bahagia.
Jika kesadaran kita untuk tidak korupsi (antikorupsi) mencapai puncak tertinggi, maka akan menyentuh akuntabilitas spiritual (spiritual accountability). Ia akan selalu ingat pada perjanjian dengan Tuhannya. Akuntabilitas spiritual yang baik ini pasti akan menghasilkan niat yang baik, visi misi yang baik, dan tentunya usaha dan hasil yang terbaik pula.
Kita tahu dan sadar bahwa dampak korupsi itu tidak hanya merugikan keuangan negara saja, namun akan merusak seluruh sendi kehidupan generasi kini dan mendatang. Dengan demikian, jangan sekali-kali korupsi. Niat, semangat, dan berkomitmen antikorupsi di manapun berada dan kapan pun momentumnya.
Wujudkan Indonesia bebas dari korupsi. Mari bersama membangun impian yang dapat dijadikan inspirasi dan penyemangat bersama untuk memberantas korupsi (dreamtegrity!)