"Matilah para pemerkosa, agar para perawan dapat hidup dengan tenang"

Pada titik ini, sang aktris seakan menjadi corong yang menyuarakan keluhan, kecemasan dan ketakutan yang paling dalam dari perempuan. Menyentil sifat patriarkis dari para lelaki yang menonton dengan naif, dan para wanita mengamini nya pula dalam keheningan malam itu, dimana semua penonton sedang terhipnotis oleh pertunjukan yang menelanjangi realitas.

Kunci kontak, merupakan naskah yang ditulis oleh Yusef Muldiana, seorang seniman kawakan yang telah aktif dalam dunia theater dan penulisan naskah sejak tahun 70'an. Menceritakan tentang Dariyati, anak dari seorang pelacur yang kehilangan suami dan anaknya lalu hidup dalam kemiskinan.

Sepanjang hidupnya, selain kemiskinan, reputasinya sebagai anak pelacur membuatnya tertekan secara psikologis melalui bibir-bibir masyarakat apatis. Klimaks tiba ketika Dariyati diperkosa oleh sekelompok pria dan berakhir dengan dipenjaranya Dariyati.

Namun sedikit berbeda dengan yang ditampilkan oleh Annisa Saskia Putri pada Palu Monolog Festival malam ini. Skenario dipadatkan dengan mengurangi beberapa adegan, namun tidak menghilangkan pesan dan emosi yang disampaikan dan tersampaikan. Selain itu ada penambahan adegan dimana ketika Dariyati berusaha lari dari kejaran para pemerkosa, ia bertemu dengan polisi dan bukannya ditolong, ia justru diperkosa oleh mereka. Bisa dibayangkan bagaimana emosi penonton dipermainkan disitu.

Bukan tanpa dasar. Penambahan cerita itu sendiri berdasarkan kisah nyata. Tepatnya pada april 2016 lalu, dimana seorang gadis berinisial F berusia 19 tahun yang berasal dari manado diperkosa oleh sekelompok orang dimana dua diantara adalah seorang anggota kepolisian.

Bisa kalian bayangkan bagaimana sosok yang diharapkan mampu memberi perlindungan justru melakukan hal sebaliknya. Bukannya ingin menjatuhkan suatu golongan, tapi kita kembali diajaknya untuk merenung. Sama seperti ketika saya diajak merenung pada pagelaran yang sempat saya abadikan dalam tulisanku yang berjudul; Rural Nativism dalam Pagelaran Seni Kontemporer Palu. Hanya saja kali ini objek dari perenungan kita hanya mengarah ke dalam dan lebih terfokus pada satu hal; Hawa Nafsu.

Apa yang menyebabkan perempuan diperkosa? Bukan hanya seorang teman yang pernah memberi jawaban yang tidak begitu berbeda; "Sebab ia memamerkan tubuhnya," kurang lebih seperti itu, menyalahkan mereka yang tidak berpakaian dengan baik. Menganggap hawa nafsu sebagai sesuatu yang wajar dan menyalahkan gaya berpakaian sebagai pemantik yang menjadi penyebab adanya pemerkosaan.

Tapi tahukah kalian, United Nations Entity for Gender Equality tahun 2013 menyebut lebih dari 90% perempuan di Mesir mengalami berbagai macam bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Apakah 90% wanita mesir tidak berpakaian dengan baik?

Bagaimana dengan kasus pemerkosaan massal pada tahun 2006 yang melibatkan seorang perempuan diperkosa ramai-ramai oleh tujuh laki-laki Saudi yang berakhir dengan hukuman cambuk dan penjara bagi para pemerkosanya. Padahal, kita tahu bahwa Arab Saudi merupakan negara yang terkenal begitu konservatif dalam hal mengatur busana perempuan.

Tentu masih sangat banyak kasus yang tidak mungkin saya paparkan secara utuh disini. Namun melihat dua bukti kecil diatas, rasanya sudah cukup untuk menggugurkan sebuah argumen yang hanya menyalahkan perempuan tanpa melihat ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan diri sendiri.

Saya sendiri tidak menyepelakan cara berpakaian, etika bahkan syariat. Tapi nyatanya, tidak sedikit yang bersembunyi dibalik etika atau moral. Bagaimana mungkin seorang pemilik rumah disalahkan ketika ia dirampok. Walaupun sebuah ketidakwaspadaan juga dapat disebut suatu kesalahan, melimpahkan sepenuhnya kesalahan pada pemilik rumah merupakan hal yang bodoh, kecuali ia memiliki hasrat untuk mencuri pula lalu menggunakan argumen yang sama untuk membenarkan tindak pencurian yang dilakukan olehnya kelak.

Saya harap teman-teman yang berargumen demikian bukan karena ia membenarkan tindak pelecehan, mungkin hanya ingin mengingatkan tentang pentingnya berpakaian dengan baik dan mungkin hanya kurang merenung saja. Merenungi diri sendiri yang tak luput dari kesalahan dan jangan sampai menutupi kesalahan diri sendiri dengan kesalahan orang lain.

Hawa nafsu merupakan nafas dari budaya patriarki, tapi bukankah hawa nafsu akan selalu ada pada mahluk biologis seperti manusia? Tentu saja. Itulah mengapa manusia diberi akal dan hati untuk mengenali batas, etika dan moral agar tidak menyamaratakan dirinya dengan hewan. Lalu apakah patriarki sepenuhnya salah dan harus dimusnahkan? Tidak juga. 

Bukannya saya ikut merendahkan posisi wanita, namun ada sebuah ungkapan yang bisa mengumpamakan ini; bahwa sebuah pohon beringin yang telah lama berdiri dan akarnya menyebar kemana-mana, jika dicabut hingga keakar-akarnya akan berdampak pula pada lingkungan sekitarnya. Dan patriarki sudah terlanjur mengakar sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Tapi tak perlu mengubah tatanannya secara keseluruhan, yang dibutuhkan adalah keseimbangan. Sebab kita adalah sapiens, kita bijaksana, kita memiliki kemampuan untuk menyeimbangi dua hal yang berbeda walaupun tidak sempurna, tapi kita mampu.


"Kalau pelacur tidak ada, para lelaki tak beristri atau bosan menyantap suguhan istrinya, mereka tak punya pelampiasan nafsu selain onani.  Maka dari itu frekwensi pemerkosaan akan kian bertambah" -Dariyah, kepada penonton (dan pembaca).