Ah, capek ngerjain tugas terus. Mau nikah ajalah! Atau, kalau tidak mau capek kerja, ya nikah aja sana. Bayang-bayang menikah itu "enak" seolah sudah menjadi stereotip banyak orang.
Konon katanya, pernikahan sebagai solusi dari ketidakenakan hidup yang dialami saat ini, baik tugas kuliah menumpuk, capek kerja, maupun tanggung jawab lainnya. Yakin menikah adalah solusinya?
Memangnya kalau sudah menikah lepas dari tanggung jawab? Yang ada malah makin bertambah sana-sini. Kecuali menjadi Cinderella yang bernasib mujur. Dia menikah dengan pangeran dan happily ever after (hidup bahagia selamanya).
Apakah kita juga akan seperti Cinderella yang happily ever after? No, no, no! Belum tentu. Lah, kita ini siapa? Kita manusia biasa yang penuh konflik internal dan eksternal.
Ketika memutuskan menikah berarti akan mengawali hidup baru. Makanya orang-orang yang menghadiri pesta pernikahan pasti berbasa-basi, "Selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selalu." Sayangnya, kata semoga mengandung dua kemungkinan: terwujud atau tidak.
Jangan salah kaprah memaknai konsep 'mengawali hidup baru'. Itu artinya bukan berarti menutup hidup saat ini serapat-rapatnya. Yang ada justru menggabungkan keduanya.
Saya merasa ada sedikit kesalahan pola pikir ketika mendengar dongeng-dongeng pernikahan seperti Cinderella. Seakan terbuai oleh indahnya akhir derita hidup dengan 'pernikahan'.
Dapat dipastikan, Cinderella setelah menikah akan menjadi ratu yang tidak ngapa-ngapain; minta apa saja dilayani dayang-dayang; urusan duit tidak pernah menjadi persoalan.
Lalu, kita masih bisa seperti itu? Apakah dipikir setelah menikah itu bisa menjadi ratu yang tidak ngapa-ngapain, gitu? Minta apa saja dituruti oleh para dayang? Lalu, punya duit yang tidak ada habisnya?
Cinderella termasuk dongeng umum yang hampir semua orang tahu. Mengutip dari Wikipedia, kata dongeng memiliki arti bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) yang dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tidak benar-benar terjadi.
Sudah jelas bahwa dongeng merupakan fiktif belaka. Yang berisi khayalan dan angan-angan semu untuk membuai. Biasanya, dongeng-dongeng dibacakan kepada anak-anak ketika sebelum tidur. Ya, fungsinya memang untuk membuai agar anak lekas lelap.
Apakah kita juga akan terbuai dan 'terlelap' dari kenyataan dengan menikah itu selalu berujung happily ever after?
Pernikahan itu kompleks, seperti sistem organ pada tubuh kita. Semuanya harus seimbang. Jika ada yang sakit sedikit saja, maka akan mengganggu kinerja bagian tubuh lain. Misalnya, sakit demam. Seluruh bagian tubuh juga tidak enak ngapa-ngapain.
Menikah harus menyatukan fase hidup pranikah dan pascanikah. Segala perbedaan harus dipikirkan matang-matang. Siap menerima atau tidak. Bukan serta-merta seperti pangeran menemukan sepatu kaca Cinderella lalu mereka menikah begitu saja.
Efek dari cerita-cerita dongeng 'pernikahan selalu bahagia' tidak boleh diremehkan. Jadi, yang terpikirkan oleh otak adalah "aku menikah, aku bahagia." Ya, memang positifnya bermakna doa-doa agar bahagia. Tetapi, berubah boomerang ketika kenyataan ternyata berkata lain.
Fakta menunjukkan jika menikah tak selalu bahagia. Lebih baik bersiap untuk berduka daripada bersiap untuk bahagia. Sebab, kebahagiaan selalu dapat diterima dan dinanti-nanti. Sedangkan, duka paling ingin dihindari dan disemogakan tidak terjadi.
Pola pikir kita secara otomatis ter-setting "setelah menikah akan bahagia". Itu sebabnya basa-basi ucapan pernikahan adalah "semoga selalu bahagia". Ini adalah ironi bentuk ketidaksiapan mengalami duka setelah menikah dan seolah duka itu bisa terusir jauh-jauh.
Coba basa-basi itu diubah begini: "Semoga mampu melewati duka". Kan enak, ya? Jadi, kita sadar bahwa mengalami duka itu wajar-wajar saja. Bukan momok yang menakutkan. Yang ada, jika menikah tanpa aba-aba, bisa maktratap saat menemui dukanya pernikahan. "Kok tidak seperti Cinderella, ya?"
Alhasil, pernikahan bukanlah solusi yang tepat di kala kehidupan melelahkan. Solusi yang tepat bukan mencari sasaran lain, tetapi ya diselesaikan apa-apa yang sudah dikerjakan. Tugas numpuk, ya dikerjain. Jangan ditunggu sampai numpuk, baru dikerjain. Bukan begitu?
Yang paling ironi, dongeng Cinderella itu tidak menceritakan bagaimana kehidupannya setelah menikah. Sudah, mandek tok sebatas menikah yang happily ever after. Sementara, pernikahan kita sebaliknya: "awal hidup baru." Lah, kan malah jadi kontradiksi.
Melihat keadaan ini, saya pun berasumsi bahwa pernikahan yang diidentikkan dengan bahagia (seperti Cinderella) yakni sebatas 'prosesi pernikahan' saja. Bagaimana tidak, pada saat itu dapat diseragamkan semua orang yang menikah merasakan bahagia bak si Cinderella. Dan, 'hidup baru' baru akan berlangsung esoknya.
Yang memutuskan menikah karena tugas numpuk, memangnya bisa itu tugas langsung selesai pascamenikah? Ujug-ujug 'penikahan' berubah menjadi ibu peri yang menyulap segalanya. Kan, tidak! Tugas-tugas tetap harus dikerjakan. Ingat, ya. Tugas-tugas tidak bisa tiba-tiba selesai begitu saja meskipun sudah menikah.
Dongeng Cinderella tidak buruk. Fiktif itu berfungsi menina-bobokan anak-anak. Hanya saja kesadaran kita yang sudah pantas menikah jangan "dinina-bobokan" juga. Sadar bahwa menikah juga beresiko untuk tidak selalu bahagia dan bukan solusi dari segalanya.
Berduka itu wajar-wajar saja. Jangan terlalu dipusingkan. Efek positif dari dongeng itu adalah Cinderella juga pernah berduka. Iya, bukan?