Tidak banyak yang menarik perhatian dari seorang Djoko Santoso. Sejak dipilih Prabowo Subianto menjadi jenderal politik Tim Badan Pemenangan Nasional—Djoko Santoso menanggung beban politik yang cukup berat—ia hadir dalam kondisi dan sumber daya politik yang tak pasti. 

Menjadi ketua Tim Pemenangan bukan perkarah mudah, apalagi melawan inkumben yang memiliki sumber daya yang pasti sangat besar, baik yang terlihat maupun tak terlihat. Pernah menjadi Panglima TNI pada tahun 2007-2010—Djoko Santoso tentu sangat paham strategi perang, memahami konsolidasi intelijen, dan manajemen konflik yang baik. Bahkan pada tahun 2002-2003 Djoko Santoso bahkan menjadi Panglima Komanda Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) untuk bertugas mengatasi konflik di Maluku. 

Duel kembali dengan Joko Widodo, membuat Prabowo Subianto harus menerapkan berbagi strategi politik (shifting politics) dengan koalisinya yang terdekat. Dipilihnya Sandiaga Uno, dan mengabaikan rekomendasi Itjima’ Ulama I menjadi penanda besar jika isu minimnya sumber daya jadi salah satu faktor utama keputusan politik Prabowo memilih Sandiaga. Memilih Djoko Santoso sebagai political backbone yang baik, merupakan syarat Prabowo dapat tetap bisa berlari kencang melawan Jokowi. 

Djoko Santoso, tentu juga sangat paham benar bagaimana ia harus mengambil peran. Dengan umur yang tidak lagi mudah, ia juga memiliki lawan Jenderal Militer dibelakang Joko Widodo. Dalam militer, pilihan untuk melalui medan yang sangat sulit harus dimaksimalkan dengan alokasi pasukan yang tepat pada peran masing-masing. Rasanya, akhir-akhir ini, Djoko Santoso menemukan ritme politiknya—salah satu yang paling banyak dibicarakan adalah dengan memindahkan Posko BPN Prabowo-Sandi di titik di Jawa Tengah, terkhusus di Solo, tempat kelahirannya.

Mengelola Sentimen

Strategi firehouse of falsehood yang selama ini menjadi strategi framing isu Prabowo Subianto, sedikit demi sedikit telah bergeser pada level losing psychology. Strategi ini berhasil membuat Donal Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. 

Trump berhasil membawa narasi optimism change yang dikelola oleh Hillary Clinton menjadi losing psychology yang terus disemburkan oleh Donald Trump. Trump, melarang imigran masuk ke AS, menuduh Islam teroris, supremasi kulit putih, yang semuanya bertujuan untuk membentuk sentimen massa untuk kepentingan elektoral.

Fokus pada narasi ekonomi, pilihan kata Prabowo Subianto tidak jauh dari strategi losing psychology—mengatakan ekonomi bangkrut, melebihkan narasi kemiskinan, harga bahan pokok yang meningkat, salah urus negara dengan utang, tenaga kerja Tiongkok, pengangguran, dan isu ekonomi yang dapat membentuk kesadaran merasa kalah sebagai warga negara. 

Seperti apa yang dikatakan Direktur Riset Cambridge Analytica yang memilih untuk membocorkan rahasia perusahaan dalam memanipulasi Pilpres America Serikat. Ia mengatakan kepada Guardian, bahwa CA mengelola psikologi emosi dari Bank Data yang tersedia di Facebook, dan menyebarkannya menjadi menjadi psychological warfare untuk warga Amerika Serikat.

Hampir seluruh survei nasional menunjukkan gap elektabilitas sebesar 20 persen. Angka yang cukup besar untuk dapat dikejar dengan waktu efektif 90 hari. Namun, perubahan-perubahan signifikan dari mulai asosiasi Islam politik sampai memperkuat isu ekonomi—menjadi penanda bahwa pengelolaan strategi Prabowo kedepan akan membentuk isu framing ekonomi yang kuat. 

Dengan menggunakan strategi ini, Prabowo Subianto akan berusaha mengambil segmentasi massa pemilih diluar basis massa yang sudah terawat lewat isu Islam politik. Kaku nya basis pemilih Prabowo ini tentu menjadi evaluasi khusus Tim BPN, karena bagaimanapun, mengelola strategi dengan sumber daya terbatas akan sangat susah jika tidak tepat implementasinya.

Menyebar Pion Politik

Pion politik yang terorganisir menjadi solusi untuk tetap menjalankan mesin partai pendukung yang tidak sepenuhnya berjalan. Sejak awal tahun 2019, pola strategi pion politik ini membentuk jejaring sistematis yang penetrasinya menguat di pembentukan opini media sosial. Seperti strategi losing psychology yang menjadi strategi utama Prabowo-Sandi. 

Yang masih panas adalah hoax 7 kontainer yang berisi surat suara dari Tionkok sudah tercoblos pasangan nomor 01. Andi Arief dan Tengku Zulkarnain, menjadi dua elit yang secara terbuka menyebarkan ini di media sosial. Efek dari penyebaran isu dinilai menjadi penanda paling penting strategi yang dimainkan oleh Prabowo-Sandi membangun persepsi delegitimasi terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019.

Survei terakhir dari Indikator yang melihat bagaimana pengaruh Media Sosial dalam mengelola emosi publik, menunjukkan situasi pengguna internet jika dikonversi dari DPT sebanyak 95,4 juta. Tentu untuk menjangkau dan konsolidasi politik yang serba terbatas, startegi firehouse of falsehood dengan pendekatan losing psychology menjadi mobilisasi paling efektif untuk menyasar ceruk pemilih yang unliteracy user. 

Pilihan kata yang dikeluarkan Prabowo-Sandi tidak menggambarkan kebohohan mereka. Justru mereka menggunakan serangan kata tersebut untuk menyerang kebodohan kita. Pembelahan politik melalui strategi itu, tentu saja bukan hanya merusak budaya demokrasi kita, tentu saja hilangnya akal sehat.