Dunia kerja memang tidak seindah dunia sekolah. Banyak sekali hal-hal yang saya alami ketika masuk dunia kerja.
Saya bersyukur saya diperkenalkan oleh dunia kerja di usia yang sangat muda, pada saat itu masih enam belas tahun dan sudah magang di sebuah radio swasta di Yogyakarta. Di sinilah saya bertemu dengan berbagai variasi manusia.
Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah, saya mengira bahwa dunia kerja akan jauh lebih menyenangkan. Ya menyenangkan, karena kita bisa jadi apa pun yang kita mau atau cita-citakan dan kita bisa mandiri secara ekonomi.
Maklum, saat itu saya masih enam belas tahun dan masih kelas dua SMA. Hal yang saya ketahui saat itu adalah hanya menjadi sebaik mungkin.
Tetapi ternyata menjadi baik saja tidak pernah cukup, ada permainan yang harus dimainkan yang membutuhkan kecermatan dan kepekaan. Kita harus jeli melihat mana yang tukang bohong, bermuka dua, hanya mencari keuntungan pribadi, dan bahkan yang serakah. Dunia orang dewasa pelik untuk dipahami.
Hal yang pernah saya alami dan membuat saya kecewa adalah diskriminasi. Bagi saya, ini adalah sesuatu yang menjijikkan dan mulai saat ini harus dihentikan.
Lalu seperti apa sebetulnya diskriminasi di dunia kerja? Bentuk diskriminasi ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari standarisasi peran, sikap diskriminatif oleh kolega, atau bisa juga tidak ada promosi dari ras, agama, atau kelompok tertentu.
Ujian melewati orang-orang penjilat atau serakah sudah saya lewati, tetapi baru kali ini saya mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Di perusahaan tempat di mana saya bekerja sebelumnya diberlakukan asas fleksibilitas. Artinya, setiap pekerja boleh saja bekerja di rumah atau di lain tempat dengan alasan tertentu. Misalnya, bekerja dari Singapura karena memperpanjang visa.
Contoh lain, misalnya, izin terlambat datang ke kantor di hari kerja karena selama akhir pekan mengurus client atau bisa saja pulang ke rumah halaman tetapi sambil bekerja di rumah. Sungguh bisa seperti itu.
Suatu hari saya sebagai anak rantau butuh pulang ke kampung halaman karena saya sakit cukup parah dan membutuhkan bantuan keluarga atau orang tua saya untuk mendampingi saya periksa.
Singkat cerita, saya datang ke HR untuk ijin bekerja dari rumah, tetapi sayangnya saya tidak diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Mereka ingin saya tetap bekerja di kantor. Padahal kolega kulit putih di kantor saya saat itu boleh saja bekerja dari kampung halaman mereka di Eropa.
Jujur saya gagal paham dengan hal ini, padahal alasan ini cukup masuk akal. Dan untuk urusan sakit, seharusnya saya tidak harus bekerja dari rumah, tetapi istirahat.
Hal berikutnya yang saya ketahui adalah soal jabatan. Di kantor itu, tidak ada di antara kami orang Indonesia yang menempati posisi sebagai manajer kecuali satu orang yang berhubungan dengan orang lokal.
Masih di kantor yang sama, seorang kolega saya (orang Indonesia) yang sudah bekerja sejak awal perusahaan itu didirikan, tetapi sampai hampir enam tahun bekerja dia masih menempati posisi yang sama alias mandek.
Sedangkan orang yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang baru saja masuk (bule), bahkan beberapa ada yang baru lulus kuliah. Bagi saya, hal ini tidak masuk akal.
Hal ketiga yang membuat saya makin geram adalah soal pendapatan. Pernah seorang teman saya mengungkapkan kekecewaannya kepada saya dari hasil one on one-nya. Manajernya mengungkapkan bahwa di kantor itu, gaji orang Indonesia di-budget-kan maksimal enam juta saja. Tidak bisa lebih dan itu adalah aturan.
Bukankah ini sebuah pelecehan? Atau ini adalah bentuk baru dari kolonialisme?
Tidak seharusnya sebuah perusahaan memberikan pendapatan kepada timnya berdasarkan kebangsaannya. Aturan tersebut dibuat seakan-akan orang Indonesia tidak berhak mendapatkan lebih.
Jika mereka ditanya mengenai alasan aturan tersebut dibuat mereka akan merespons seperti, "Loh kan untuk orang Indonesia gaji segitu udah banyak." Sungguh jawaban yang sangat tidak masuk akal dan sulit untuk dimengerti.
Saya rasa mereka hanya ingin membatasi kapasitas orang Indonesia di perusahaan itu karena ketakutan mereka sendiri kalau ternyata orang Indonesia jauh lebih pintar dari mereka.
Tiga kejadian di atas adalah sebagian kecil dari banyak bentuk diskriminasi orang kulit putih yang terhadap orang Indonesia. Sangat aneh rasanya jika mereka datang ke Indonesia dan memperlakukan orang lokal dengan tidak adil. Memangnya mereka ini siapa?
Dengan dalil demi kemajuan pariwisata lokal di Indonesia mereka sesungguhnya hanya mencari keuntungan sebesar mungkin untuk pribadi mereka. Caranya dengan membatasi hak-hak orang Indonesia yang bekerja dengan mereka.
Dari dalam hati yang paling dalam, ada pertanyaan dalam diri saya yang sulit untuk menemui jawabannya sendiri. Mengapa orang-orang seperti mereka ini selalu punya keinginan untuk menguasai segalanya? Apakah keserakahan telah menjadi sifat dasar mereka?