Kasus Jaksa Pinangki akhir-akhir ini menjadi sorotan publik lantaran Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman Pinangki menjadi 4 tahun. Padahal sebelumnya oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Jakarta, Pinangki di vonis 10 tahun penjara dan denda Rp. 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Mengingat hukuman terhadap Pinangki lebih berat dari apa yang dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang hanya 4 tahun penjara. Permasalahan Jaksa Pinangki Sirna Malasari ini bermula ketika diduga menerima fee sejumlah US$500.000 dari US$1 juta yang sudah dijanjikan oleh Joko Soegiarto Tjandra yang merupakan terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Bahwa pemberian imbalan untuk Pinangki dalam rangka untuk mengurus fatma Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung supaya Joko Tjandra tidak bisa dieksekusi ke penjara.

Kemudian penyuapan terhadap Pinangki bermula sekitar bulan November 2019, Jaksa Pinangki bersama dengan pengacara Joko Tjandra yakni Anita Kolopaking dan Andi Irfan melakukan pertemuan dengan Joko Tjandra. Pertemuan tersebut dilakukan di kantor Joko Tjandra yang berlokasi di The Exchange 16 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia. Pada saat pertemuan dan melakukan perbincangan, Joko Tjandra menyatakan setuju dan meminta Jaksa Pinangki dan pengacaranya untuk membantu mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung. Tujuannya agar supaya Joko Tjandra tidak dapat dieksekusi sehingga dia dapat pulang atau kembali ke Indonesia dengan tidak menjalani hukuman pidana.

Lalu atas permintaan yang diinginkan Joko Tjandra, Pinangki dan Anita Kolopaking menyatakan bersedia membantu proses tersebut dan memberikan bantuan. Setelah itu, Joko Tjandra menyiapkan imbalan berupa fee sebesar US$1 Juta yang akan diberikan kepada Pinangki karena bersedia mengurus proses yang diinginkan Joko Tjandra. Namun, fee tersebut akan diberikan melalui pihak swasta, yakni Andi Irfan selaku rekan Pinangki. Hal tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat oleh Pinangki. Kemudian, Andi menyerahkan fee sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki, selanjutnya Pinangki memberikan fee sebesar US$50.000 kepada pengacara Joko Tjandra yaitu Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasehat hukum.

Sedangkan sisa uang tersebut masih dalam kekuasaan Pinangki. Namun, rencana yang sudah tertuang dalam action plan tidak ada satupun yang terrealisasi atau terlaksana. Karena tidak terlaksana maka sekitar bulan Desember 2019 Joko Tjandra membatalkan rencana aksi tersebut dengan cara memberikan catatan pada notes dari rekcana aksi tersebut dengan tulisan tangan “No”. Pinangki kemudian menukarkan sisa uang sebesar US$450.000 melalui sopirnya, yang bernama Sugiarto dan Beni.

Lalu uang hasil pertukaran valas itu digunakan oleh Pinangki untuk dibelikan mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di AS dan digunakan untuk membayar sewa apartemen di New York. Atas perbuatan yang dilakukan oleh Pinangki tersebut dan membuat publik bergejolak dengan cepat Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap Pinangki. Tidak berselang lama Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Tingkat Berat berupa pembebasan dari jabatan struktural. Mengingat Jaksa Pinangki sebelumnya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Setelah proses panjang pada akhirnya Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penyidikan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi terhadap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji. Terkait Jaksa Pinangki yang diserahkan ke bidang pidana khusus, telah diambil kesimpulan bahwa laporan hasil pemeriksaan telah dipandang cukup sebagai bukti permulaan tentang terjadinya peristiwa pidana. Hingga akhirnya sampai pada vonis yang oleh Pengadilan Tipikor, Pinangki mendapatkan hukuman 10 tahun penjara dan Pinangki pun melalui pengacaranya mengajukan upaya hukum banding. Dan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hukuman Pinangki dipangkas menjadi 4 tahun penjara.

Putusan yang dilakukan Pengadilan Tinggi tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. banyak yang menganggap tidak adanya rasa keadilan akibat pemangkasan hukuman tersebut. Pinangki sendiri dikenakan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor subsider Pasal 11 UU Tipikor. Selain itu, Pinangki juga didakwa telah mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menukar, atau mengubah bentuk harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi dan melakukan pemufakatan jahat dan dijerat Pasal 15 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar US$ 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Menelaah Putusan Hakim Pengadilan Tinggi

            Secara teoretik dalam hukum pembuktian ada istilah bewijstheorie. Bewijstheorie merupakan teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan. ada empat teori pembuktian. Pertama, positief wettelijk bewijstheorie yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan.

Kedua, Conviction intime yang berarti hanya keyakinan semata. Artinya dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata-mata diserahkan kepada keyakinan hakim. Hakim tidak terikat dalam alat bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana dari seorang hakim, maka ia dapat menjatuhkan putusan. Ketiga, conviction raisonee, artinya dasar pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu dan dengan alasan yang logis.

Keempat, negatief wettelijk bewijstheorie dasar pembuktiannya adalah menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti. Sederhanannya adalah minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim. Di indonesia menganut sistem negatief wettelijk bewijstheorie. Jika dikaitkan dengan kasus Pinangki, memang terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan, hal tersebut memiliki arti minimum bewijst sudah terpenuhi. Tetapi menjadi aneh ketika hakim memangkas hukuman yang diberikan kepada Pinangki menjadi 4 tahun yang semula adalah 10 tahun.

Dengan menggunakan keyakinannya, hakim memberikan pertimbangan bahwa Pinangki menyesali perbuatannya dan ikhlas jika dia dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Hakim berkeyakinan, Pinangki akan berperilaku baik sebagai warga masyarakat akibat menyesali perbuatannya. Lalu dalam pertimbangan lain, Pinangki sebagai wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, serta diperlakukannya secara adil. Kemudian Pinangki adalah seorang ibu yang masih memiliki anak yang masih balita.

Namun jika keyakinan dan pertimbangan hakim demikian, rasa-rasanya kurang pantas hakim memberikan pertimbangan diluar nalar sehingga sisi keadilan menjadi terberangus. Jika Pinangki memaknai sumpah jabatannya dengan baik, maka sudah barang tentu tidak akan terjadi kasus demikian. Apalagi dikatakan dia adalah seorang ibu dan mempunyai anak balita, maka seharusnya dia menjaga kehormatan dan martabatnya. Tetapi bagaimanapun putusan hakim tersebut harus dihormati dan dianggap benar karena ada asas res judicata pro veritate habetur.

Jabatan sebagai Tugas Etik

            Pinangki merupakan salah satu contoh betapa jabatan publik tidak dimaknai sebagai anugrah. Ketika seseorang memperoleh jabatan maka ia merupakan orang yang terhormat dan kehormatan mendatangkan tanggung jawab (noblesse oblige). Ketika kehormatan mendatangkan tanggung jawab maka seseorang itu menjadi exemplary center (suatu pusat yang penuh teladan) dalam terminologi Clifford Geertz.  

            Ironinya Pinangki justru memandang jabatan sebagai tugas estetik, artinya jabatan itu akan dinilai sebagai jabatan bila ada berbagai aksesori yang melekat padanya agar terlihat indah. Jadi jabatan dirinya sebagai jaksa akan lebih dipandang indah bila ia memiliki banyak uang, beberapa mobil, rumah mewah dan lain sebagainya. Tidak heran bila kemudian Pinangki menerima gratifikasi untuk membiayai keinginannya dalam menghias jabatannya agar jabatannya menjadi status sosial yang dipandang indah. Tujuan dia menerima suap tidak lain dan tidak bukan untuk membeli barang-barang mewah, mobil, dan lain sebagainya.

            Pinangki tidak menyadari bahwa letak keindahan suatu jabatan bukan pada barang-barang mewah, mobil mewah, rumah mahal tetapi keindahan suatu jabatan adalah integritas. Simetris dengan hal itu maka setiap jabatan itu seharusnya dimaknai sebagai tugas etik, artinya ketika jabatan melekat padanya maka ada keharusan untuk mempertaruhkan hidupnya agar memenangkan hidup banyak orang. Jabatan melahirkan wewenang, kesempatan, sarana-prasarana maka ia harus bernilai etik.

            Secara lebih ekstrim ketika seseorang memaknai serta merenungi bahwa kehidupan sebagai tugas etik maka ia akan menjadikan dirinya sebagai manusia yang supererogatoris yaitu orang yang melakukan melebihi apa yang diwajibkan. Sederet nama yang dapat kita sebut sebagai manusia yang supererogatoris yaitu: Yesus, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan lain sebagainya. Dicirikan manusia supererogatoris yaitu orang yang berani mengambil resiko, tidak gentar melawan ketidakadilan, berani dalam kesendirian, berbuat kebaikan karena bukan hanya kewajiban tetapi memang keputusan eksistensial dirinya, karena ia sadar bahwa hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.

Kesesatan Dunia Peradilan

            Peristiwa hukum akhir-akhir ini persis seperti lelucon dan seolah-olah hanya panggung drama yang dipertontonkan oleh aparat penegak hukum kita. Terkhusus dunia peradilan yang memberikan tontonan yang menunjukkan kurang profesionalan dalam menyelesaikan perkara. Tentunya publik kecewa dengan putusan yang memberikan keringanan untuk terpidana kasus pencucian uang yang dilakukan oleh mantan seorang jaksa yakni Pinangki. Dimana ada istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas memang benar-benar terjadi.

Jika dibandingkan dengan kasus Prita, dia hanya seorang IRT dengan dua anak yang masih balita. Kasus bermula ketika ia berobat ke RS Omni Internasional. Kemudian Tak disangka malah mendapat perlakuan tak layak saat melakukan pengobatan. Hal ini membuat dia meluapkan keluh kesahnya melalui email yang dikirim kepada teman-temannya dan terkirim pula ke surat pembaca detikcom. Karena email itulah, ia kemudian digugat oleh Rumah Sakit Omni. Ia dianggap melakukan pencemaran nama baik rumah sakit itu.

Prita juga menghadapi persidangan pidana dan dijerat Pasal 27 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebelum diadili, Prita sempat mendekam selama beberapa bulan di penjara. Atas desakan berbagai pihak akhirnya Prita diharuskan membayar denda sebesar 200 juta lebih karena dianggap mencemarkan nama baik. Kasus yang menimpa masyarakat kecil seperti yang sudah diuraikan diatas menunjukkan bahwa persoalan hukum dan keadilan di Indonesia masih memperihatinkan. Bahwa antara hukum dan keadilan bak seperti dua kutub yang bertentangan. Pengadilan harus menjadi tempat dimana menyelesaikan permasalahan secara adil. Bukan menjadi tempat yang hanya membuat keadilan tergerus karena ulah beberapa oknumnya.

Moralitas Publik

Putusan hakim tingkat pertama yang memutus 10 tahun kemudian pada tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum 4 tahun penjara terhadap kasus Pinangki merupakan bentuk inkredibilitas hakim dalam membaca kasus a quo. Dalam kasus hukum yang dilakukan oleh penegak hukum mempunyai kekhususan yang harus dibaca dengan kedalaman untuk mendeteksi seberapa besar kejahatan yang dilakukan Pinangki yang padanya melekat suatu jabatan yang dipercayakan negara kepadanya.

            Hakim tidak boleh hanya memandang bahwa kasus Pinangki sebatas tercela secara hukum tetapi juga harus dibaca kasus ini tercela secara moral. Perlu untuk diketahui bahwa yang sedang dipertaruhkan adalah moralitas publik yaitu segenap kepercayaan masyarakat terhadap proses terselenggaranya negara dan penegakan hukum.

            Dalam moralitas privat orang boleh berdoa, melakukan ritual ibadah sesuai dengan apa yang dipercayai tetapi dalam moralitas publik terletak suatu gagasan yaitu bagaimana cara membentuk hidup bersama di tengah berbagai perspektif, pemikiran dan sifat yang amat berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Dasar dari segala pembentukan hidup bersama adalah kepercayaan. Kepercayaan itu berbasis hak moral yang tidak dapat diganggu gugat.

            Tidak ada seorang pun dapat memaksa saya agar percaya kepada takhayul karena terdapat hak moral yang harus dijaga orang lain terhadap pilihan saya untuk tidak percaya kepada takhayul. Seorang ilmuwan yang ragu dengan pengobatan-pengobatan tradisional tidak mungkin dipaksa untuk percaya kepada hal-hal semacam itu karena lagi-lagi ada hak moral yang dimiliki ilmuwan untuk meragukan suatu hal. Sekali lagi bahwa kepercayaan itu basisnya hak moral yang dilandaskan pada kerelaan.

            Kepercayaan itu sangat sarat dengan nilai bahkan ia tidak terukur, demikian pula moralitas publik, ia sangat bernilai bahkan tidak dapat diukur, dan moralitas publiklah yang sedang dipertaruhkan dalam kasus Pinangki. Baik keberjalanan bidang makro seperti politik, bisnis, sosial, budaya, dan sampai menyentuh tataran mikro seperti keluarga semua didasarkan pada kepercayaan.

            Kala itu saat Socrates (filsuf Yunani Kuno) dituduh oleh kaum Sofis bahwa ia telah meracuni pikiran anak-anak muda, kemudian oleh karena konspirasi kaum Sofis akhirnya Socrates dihadapkan di muka peradilan. Socrates dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati dengan cara meminum hemlock, padahal teman-teman Socrates sudah membujuk Socrates untuk melarikan diri dari peradilan sesat itu, tetapi Socrates menolak ajakan teman-temannya dan tetap meminum hemlock hingga akhirnya ia mati.

            Bagi Socrates, hukum adalah tiang negara maka ketika tiang itu runtuh maka runtuh pula negara itu. Dalam kasus Socrates, ia sudah dianggap bersalah (melanggar hukum) oleh pengadilan itu, artinya ia sudah merusak moralitas publik. Kendati sebenarnya Socrates tidak bersalah atas perbuatannya itu tetapi ia tetap memilih untuk mati karena anggapannya ia telah menyakiti banyak orang dan lebih baik ia mati. Yang lebih dihargai Socrates adalah moralitas publik ketimbang nyawanya sendiri.

Hakim Bukan sebagai Wakil Tuhan 

            Betapa berat dan besarnya moralitas publik yang harus dikorbankan dalam kasus Pinangki bila hakim ternyata hanya menghukum Pinangki selama 4 tahun. 4 tahun merupakan waktu yang terlalu dini dalam membangun kepercayaan! Ketika suatu negara mempunyai traumatisasi terhadap negara lain maka butuh waktu yang amat panjang untuk memulihkannya karena kepercayaan telah hilang dan untuk menumbuhkan kepercayaan itu tidak cukup dengan 4 tahun.

            Dalam sosiologi, suatu masyarakat itu memiliki ingatan sosial yang di sana terdapat memori yang merekam berbagai ketidakadilan. Lebih lanjut bila ketidakadilan itu sudah direkam dalam ingatan sosial maka masyarakat akan terus menagih kepada pihak-pihak yang mempunyai kewajiban untuk menuntaskan berbagai kasus ketidakadilan. Dalam kasus Pinangki yang akan terus ditagih oleh masyarakat adalah jaksa serta hakim.

            Katakanlah bila ternyata terhadap vonis 4 tahun kasus Pinangki yang diputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak dilakukan kasasi oleh Jaksa maka masyarakat akan mengaktifkan ingatan sosial untuk merekam ketidaknormalan dan ketidakadilan yang dilakukan hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan juga Jaksa yang tidak melakukan kasasi.

            Kepatutan akan menguji logika yuridis, maka bila Pinangki sebagai penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum hanya dihukum 4 tahun itu jelas melanggar kepatutan. Tidak patut bila hakim dikatakan sebagai wakil Tuhan dalam memutus suatu perkara tidak secara objektif. Jangan salahkan masyarakat bila nantinya masyarakat menganggap bila hakim bukanlah wakil Tuhan di dunia.