Miris dan greget rasanya jikalau kita melihat penindasan, perperangan, konflik yang belakangan ini seringkali nampak di media masa. Siapa di dunia ini yang tidak menginginkan adanya perdamaian, Filsuf Italia Dante pun berharap akan adanya aturan yang berkuasa yang dapat menguasai dunia dalam satu komando kekuasaan dengan undang-undang yang seragam bagi semua negara agarsanya tak ada perpecahan.

Perpecahan yang ada saat ini merupakan kenyataan yang tak dapat kita elak keadaanya. Perbedaan pendapat, egoisme merupakan satu dari beberapa penyebab adanya perpecahan tersebut.

Dalam tinta historis adanya pertikaian dan pertumpahan darah antar manusia telah dimulai sejak nenek moyang manusia antara Qabil yang membunuh Habil Putra Adam dan Hawa. Dan adapun perpecahan politik pertama kali dalam Islam muncul sejak kasus arbitrase antara Ali bin Abi Thalib r.a. dan Umayyah. Ini adalah kasus politik yang sampai sekarang tak terselesaikan sampai kepada rentetan antara Sunni vs. Syiah.

Perpecahan yang ada saat ini dikarenakan terkait adanya paham takfiri (saling mengkafirkan satu sama lain). Memang takfir merupakan hukum Syariat, Ia merupakan wewenang Allah dan Rasulnya. Tidak boleh kita meniadakan dan menolaknya; namun, ada orang yang bisa dikafirkan dan ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.

Dan Ahlussunnah berada di tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah dalam masalah takfir ini dengan golongan ekstrim yang menempatkan takfir bukan pada porsinya.

Tidak diragukan lagi, bahwa metode takfiri tersebut kebanyakan merupakan perilaku kaum khawarij, bahkan inilah agama khawarij, jikasanya ada seoarang muslim yang keluar dari koridor keislamannya, maka kita tidak bisa langsung mengkafirkan lantaran kesalahannya. Dan perlu diingat bahwasanya Ahlussunna wal-Jama’ah adalah golongan manusia yang jauh dari sikap mudah mengkafirkan dan memutlakkan vonis kafir terhadap kaum Muslimin.

Bicara soal takfiri di atas ada kaitannya dengan otoritas. Manusia pada hakikatnya tidak mempunyai otoritas kecuali otoritas Tuhan yang mutlak. Manusia tidak berhak melampaui otoritas Tuhan.

Menurut Ahmad Azhar Basyir, predikat teokrasi tidak dapat diterima sebab Islam tidak menganal adanya kekuasaan negara yang menerima limpahan dari Tuhan. Kekuasaan negara berasal dari Umat dan penguasanya bertanggung jawab kepada umat.  Menurut ajaran Islam, kedaulatan hanya milik Allah semata, dan hanya Dia-lah pemberi hukum

Dalam dunia Islam eksistensi teks Al- Qur’an merupakan reinterpetasi dari otoritas Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sementara Nabi Muhammad SAW di zamannya dipandang sebagai orang yang paling otoritatif untuk menafsirkan semua kehendak Allah, dikarenakan wahyu pada tataran itu masih belum terputus.

Namun, pada generasi berikutnya muncul berbagai problematika dalam menafsirkan teks dengan mengatasnamakan Tuhan dan melegitimasi pemikirannya tanpa memperhatikan aspek moral dalam hukum. Kecendrungan ini berdampak pula terhadap pemikiran generasi selanjutnya dan melahirkan sikap otoriter seakan-akan dialah yang paling tahu akan makna dibalik teks seperti apa yang dikehendaki Allah SWT.

Terlepas dari asumsi bahwa Tuhan mempunyai otoritas dalam menentukan hukum, manusia juga diberi mandat (peran) sebagai penentu hukum untuk mewakili suara Tuhan dan Nabi (khalifah fil ard). Namun pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia membuka ruang otoritarianisme. Jika manusia kemudian menyalahgunakan otoritas atau mandat Tuhan, melakukan tindakan di luar batas atau ultra vires, bahkan menuhankan dirinya dengan menutup teks rapat-rapat (pintu ijtihad ditutup).

Oleh karena itu, Abou el Fadl memberikan beberapa standar sebagai prasayarat kepada mereka yang olehnya disebut wakil khusus. Wakil khusus disyaratkan untuk memiliki standar dan nilai-nilai otoritatif, seperti kejujuran, kesungguhan, keuniversalan, rasionalitas, dan pengendalian diri. Wakil khusus inilah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan hukum. Dan tak ayal juga seringkali perpecahan antar umat Islam disebebkan karena hal tersebut.

Perlu diketahui juga bahwasanya perpecahan yang terjadi dan berkembang dalam Islam pada saat ini disebabkan oleh adanya ghazwul fikri, usaha suatu bangsa untuk menguasai pemikiran bangsa lain (kaum yang diinvasi) lalu menjadikan mereka sebagai pengikut setia terhadap pemikiran, idealisme, way of life, metode pendidikan, kebudayaan, bahasa, etika serta norma-norma kehidupan yang ditawarkan kaum penginvasi.

Tujuan adanya invasi tersebut adalah untuk merusak tatanan Islam dan menjauhkan masyarakat Islam dari jati dirinya sendiri.

Yang pada intinya pada era ini umat Islam harus kritis, jangan mau dikambinghitamkan oleh golongan yang apatis terhadap Islam. Bukan zamannya lagi umat Islam untuk saling bertikai  dan masih saja dalam keadaan terpuruk,sementara bangsa lain terus berkembang dengan berbagai inovasinya.

Meskipun beberapa orang, kelompok, organisasi telah mulai bangkit dan menyerukan hal yang sama sambil menyadarkan umat Islam dan berkarya untuk membuktikan hal itu, namun hingga sampai pada detik ini bisa dikatakan umat Islam masih belum bisa memberikan suatu yang berarti  bagi dunia. Tak seperti dahulu, ketika mahligai Islam sangat besar dengan peradaban keilmuannya yang kemudian ilmu tersebut disusun dalam penelitian-penlitian ilmuwan besar seperti Ibnu sina, Al-Farabi, Ibnu Khaldun Dll. Wallahua’lamubisshaab.