“Ah pukulan macam apa ini yang kita derita ketika kita berbaik hati pada manusia, ini semua karena kepentingan kita yang bertentangan.”
Itulah yang dinyatakan Ares, sang Dewa perang kepada Dewa Zeus tentang pertarungan mematikan para Dewa untuk membela kepentingannya masing-masing. Semua berawal dari Dewi Athena yang memberikan pejuang Akhaia Diomedes kekuatan untuk melawan pasukan Troya. Diomedes adalah putra Tydeus, salah satu dari tujuh pejuang Akhaia yang tersohor karena kemampuannya menaklukan Thebes. Karena itu, suku Akhaia termasuk pemimpinnya Raja Agamemnon selalu berharap Diomedes menjadi pejuang setangguh ayahnya.
Dewi Athena mengabulkan harapan banyak orang itu. “Berjuanglah habis-habisan melawan Troya, Diomedes! Dalam dadamu, telah aku tempatkan kekuatan ayahmu. Tydeus, sang penunggang kuda yang hebat itu, tak pernah gugup. Betapa terkenalnya kekuatan yang ia miliki! Lihat, aku sudah menghilangkan kabut dari matamu, agar kau tahu mana manusia dan mana dewa. Jika ada dewa yang muncul untuk menguji keberanianmu, jangan kau melawannya. Jangan lawan para yang dewa kecuali Aphrodite, putri Zeus, muncul dalam peperangan itu. Kau boleh hantam dia dengan pedangmu yang tajam itu!” kata Athena.
Diomedes menjadi begitu kuat. Ia betul-betul menghabisi pasukan Troya. Hingga akhirnya, Diomedes harus berhadapan dengan dua orang pejuang Troya, Pandarus dan Aenas. Keduanya bukan pejuang biasa. Pandarus adalah seorang pemanah handal yang berani melepaskan anak panahnya ke arah Menelaus pemimpin Akhaia yang juga adik Raja Agamenon. Sementara itu, Aenas memiliki darah kerajaan Troya. Ia adalah seorang pangeran, putra dari pangeran Anchises dan Dewi Aphrodite. “Kamu bisa kehilangan nyawamu,” Sthenelus mencoba mengingatkan Diomedes.
Tak sedikit pun Diomedes gentar. Ia tetap maju melawan kedua pejuang hebat Troya. Betul saja. Keduanya tak mampu menghadapi kekuatan Diomedes yang ditopang oleh Dewi Athena. Pangeran Aenas terancam mati kalau saja ibunya Aphrodite, sang dewi tidak menyelamatkannya. Tapi Diomedes teringat pesan Athena bahwa ia tak boleh menyerang dewa mana pun kecuali satu: Aphrodite.
Begitu ia melihat Aphrodite berupaya menyelamatkan putranya, Diomedes, putra Tydeus itu langsung mengejar, menerjangnya, dan segera menusukkan tombaknya yang tajam ke pergelangan tangan Dewi Cinta itu. Aphrodite kemudian terhuyung. Tangannya tak kuasa lagi menopang putranya. Aenas pun terjatuh.
Melihat Aphrodite disakiti oleh manusia biasa dari Akhaia, Dewa Apollo marah besar. Ia membujuk Dewa Perang Ares untuk ikut bergabung mendukung Troya dan mengalahkan Akhaia. Apollo menyatakan pada Ares bahwa Diomedes, si pemberani itu – jika tak dihabisi – akan berani melawan Dewa Zeus. Ares pun bergabung dan memberi kekuatan pada Troya. Padahal Ares sangat menyayangi Menelaus pemimpin Akhaia yang begitu tangguh di medan perang. Namun peringatan dari Apollo yang menegaskan bahwa Diomedes adalah ancaman bagi kekuatan-kekuatan yang ada berhasil memengaruhi Ares. Diomedes adalah ancaman bagi para Dewa. Karena itu, ia harus diperangi!
Situasi lalu berbalik. Akhaia yang selalu ditakuti karena memiliki pejuang-pejuang hebat di medan perang mulai kewalahan menghadapi Troya yang dibantu Ares. Akhaia terancam mengalami kekalahan. Dewi Hera panik dan tak membiarkan itu terjadi. Dengan izin Dewa Zeus, Hera mengirim Athena agar Diomedes berani menghantam Ares.
Jika sebelumnya Athena haya mengizinkan Diomedes untuk menyerang Dewi Aphrodite, kini ia memberi izin untuk menyerang siapapun dewa yang menghalangi jalannya, termasuk Ares. Diomedes dengan Athena di belakangnya akhirnya menghadapi Ares. Meski Ares mencoba melayangkan tombaknya untuk membunuh Diomedes, Athena melindunginya. Sebaliknya, Diomedes dengan amunisi yang diberikan Athena berhasil menusuk Ares tepat di perutnya. Dewa perang itu pun terluka.
Ares kembali ke Olimpus dan mengadu kepada Dewa Zeus sebagaimana kutipan di atas. Ia ingin menekankan bahwa ketika dewa ikut campur dalam urusan manusia, dewa itu sendiri yang menjadi korban. Tapi kisah mitologi Yunani yang diceritakan Homerus dalam buku lima The Iliad ini begitu menarik. Kita bisa melihat bagaimana para dewa berintrik layaknya manusia pada umumnya. Ares bisa menjadi simbol tentang dinamisnya politik.
Apollo yang sejak awal pro Troya dan Ares yang pro Akhaia bisa bersatu ketika kepentingan mereka sejalan. Ares merasa terancam dengan kekuatan besar lainnya. Disinilah kemiripan Ares dengan politik. Pada satu masa, kita melihat seseorang membela mati-matian kelompoknya dan bahkan ikut serta dalam membesarkan kelompok tersebut. Namun ketika kelompok tersebut menjadi kekuatan besar yang mengancam dan tidak terkontrol, kita juga bisa melihat orang tersebut menjadi aktor yang menghancurkan kelompok yang ia besarkan untuk mempertahankan posisi atau kekuasaannya.
Dalam kolom sebelumnya pada laman Geotimes, saya menceritakan pertarungan para Dewa dalam buku empat The Iliad. Kolom tersebut membahas soal bagaimana narasi heroik memengaruhi pelaku terror dan membandingkannya dengan kisah Troya yang terprovokasi oleh Dewi Athena dan Dewi Apollo. Sebenarnya kolom kali ini juga menunjukkan bagaimana narasi heroik memengaruhi Diomedes. Narasi yang terus diulang dan disampaikan kepada Diomedes: Tydeus, ayahmu adalah pejuang hebat, maka kamu harus mampu mengikuti jejaknya.
Tentu saja Diomedes terdorong oleh narasi heroik semacam itu dan dengan senang hati menerima amunisi dari Athena. Cerita Diomedes menunjukkan bahwa tidak semua orang tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperalat, bahkan ada pula yang membiarkan dirinya diperalat dan justru mengambil keuntungan dari situ. Diomedes sadar ia sedang dikendalikan oleh Athena, tapi Diomedes merelakan Athena menjadi dalang dirinya untuk merealisasikan narasi heroik tersebut. Dua kepentingan pun bertemu. Athena yang ingin menghancurkan Troya dan Diomedes yang ingin mendapat pengakuan.
Para dalang pun bertarung. Athena menggunakan Diomedes untuk membela kepentingannya, sementara Ares dan Apollo menggunakan pasukan Troya. Amunisi terbaik mereka berikan kepada para wayang yang sedang dimainkan. Sayang, para wayang sering kali hanya menjadi korban dari pertarungan keji para dalang.
Memang Ares mengakui bahwa mereka pun sebagai dalang akhirnya menjadi korban karena pertarungan antar mereka sendiri hanya untuk membuktikan siapa yang terkuat. Tapi para dewa hidup abadi (deathless), meski mereka menjadi korban, pada akhirnya mereka pun akan mampu melalui itu semua. Para dalang mungkin berkonflik dan bahkan menjadi korban dari permainan mereka sendiri, tapi mereka akan survive.
Jelas berbeda dengan para wayang. Terkadang para wayang merasa bisa ikut mengambil keuntungan dari dalang-dalang yang memperalatnya, namun seperti yang disampaikan Dione kepada putrinya Aphrodite ketika ia menangis kesakitan. “Apakah Diomedes tidak tahu bahwa orang yang menyerang dewa tidak akan hidup lama?”