“Diobok-obok, airnya diobok-obok...” selanjutnya teruskan sendiri. Penggalan lirik lagu anak-anak yang legendaris. Bagi generasi sembilan puluhan pasti langsung flash back ketika mendengarkan lagu ini. Dulu air diobok-obok oleh Joshua, namun sekarang “diobok-obok” korporat. Bedanya Joshua hanya untuk dolanan, sedangkan korporat untuk kepentingan Industri.
Ya, suatu bentuk industri yang mengeksploitasi air habis-habisan. Mulai dari industri energi sampai pertambangan menyedot air sebagai kebutuhan utama. Bisa dikatakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan.
Mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah mengutamakan investasi dibanding kewajibannya untuk menjalankan amanat konstitusi dan norma internasional terkait hak atas air.
Sebagai contoh, pabrik semen diperkirakan menggunakan air secara besar-besaran dalam pengolahannya. Dengan potensi kehilanagan air bisa mencapai 4.054.500 meter kubik. Selain itu pipanisasi untuk industri air minum benar-benar sangat “mematikan”. Aktivitas ini menyebabkan sungai-sungai mengering yang pada akhirnya yang paling menderita adalah masyarakat sekitarnya. Belum lagi masalah pencemaran air.
Berdasarkan catatan WALHI telah terjadi pencemaran sumber air oleh kegiatan industri seperti di Tumpang Pitu, Ciujung, Mojokerto, dsb. telah menjadikan rakyat tidak memiliki akses air secara layak dan membuat kesehatan mereka terganggu.
Mengingat betapa sangat pentingnya air bersih. Majalah The Independent memperkirakan satu dari lima bayi meninggal dalam bulan pertama kehidupan mereka karena sepsis atau infeksi. Gangguan kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah dengan air bersih dan pola hidup higienis.
Hewan dan burung juga berisiko punah ketika sungai sebagai tempat berkubang, bermain dan minum melenyap. Sebagai sebuah hak asasi, air dan sumber air haruslah dipahami sebagai sebuah esensi dari kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika kita lihat perdaban manusia selalu berdekatan dengan sumber air.
Walaupun tidak dipungkiri keseharian manusia juga berkontrobusi terhadap penggunaan dan pencemaran air. Oleh karena itu, PBB sendiri memberikan setidaknya lima langkah sederhana untuk melakukan efisiensi air. (1) Mematikan keran air (wastafel) ketika kita sedang menggosok gigi. (2) Mematikan keran air ketika kita mencuci atau membersihkan sayuran. (3) Memasukkan sampah, minyak, kotoran, dan limbah makanan langsung ke tempat sampah, bukan membuangnya ke dalam air.
Semakin kotor air limbah, maka akan semakin mahal biaya yang digunakan untuk mendaur ulang (mengembalikannya menjadi air layak minum). (4) Menyimpan air bekas mencuci sayuran atau air limbah dapur untuk menyiram tanaman. (5) Memanfaatkan air bekas mencuci piring atau baju untuk mencuci sepeda atau mobil.
Gerakan hemat air seperti yang dicanangkan PBB diatas akan percuma jika pihak industri sebagai kontributor utama tidak menerapkan manjemen konservasi air. Apakah komitmen industri mengembalikan fungsi air patut dipertanyakan. Apa lagi pemerintah sendiri tampaknya telah mengabaikan konservasi sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air. Belum terlihat usaha pemerintah secara serius untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem air.
Bersyukurlah Indonesia yang bisa dikatagorikan negara yang kaya air. Namun anehnya apabila musim kemarau datang kesulitan air, musim hujan tiba-tiba banjir. Fenomena ini akibat dari hilangnnya daerah tangkapan air seperti Kawasan Karst Pegunungan Kendeng.
Pegunungan kendeng secara ekologis berperan sebagai media penyimpan air dapat berkontribusi sebagai penyedia pada periode kekeringan yang panjang. Rencana pembangunan industri semen dapat membahayakan lingkungan, bahkan dapat mengakibatkan bencana ekologi seperti banjir.
Alih fungsi hutan untuk industri. Sebuah langkah kebijakan yang sangat riskan. Kenapa riskan? Industri yang tidak benar-benar menerapakn prinsip pembangunan yang berkelanjutan sangat berbahaya bagi fungsi ekologis lingkungan dan keanekaragaman hayati.