Membangun dinasti politik secara yuridis tidak ada persoalan, sebab tidak ada larangan dalam hukum yang berlaku di Indonesia, selama cara yang ditempuh melalui legal-prosedur. Sebab, lahirnya revisi Undang-Undang Pasal 7 Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah yang melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana agar ada sirkulasi kekuasaan yang lebih transparan di daerah dan tidak dihegemoni-monopoli oleh kekuatan politik tertentu sudah tak berlaku.
Tidak berlakunya undang-undang tersebut bermula ketika Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan, mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah melalui peroses peradilan, MK pada akhirnya membatalkan pasal tersebut pada 8 Juli 2015 (Kompas, 26/2). Putusan tersebut menjadi angin segar bagi para elite politik yang ingin membangun status quo dan atau dinasti politik oligarki.
Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana dengan dinasti politik gaya baru yang dibangun oleh Jokowi saat ini di tengah beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia?
Inilah yang menjadi kontraproduktif-polemik dalam masyarakat saat ini. Restu Jokowi kepada anak dan menantunya masuk dalam bursa politik membuat masyarakat acuh tak acuh dan menganggap ucapan dan komitmen Jokowi untuk tidak melibatkan anaknya dalam pusaran politik praktis serta berjihad melawan korupsi yang selalu bertali-temali dengan dinasti politik hanya tong kosong.
Contoh faktual, bahwa korupsi selalu bersentuhan langsung dengan dinasti politik; kasus dinasti Atut di Banten, Kutai Kertanegara, Bangkalan Madura, dan lain sebagainya. Dinasti tersebut menjadi sumber malpraaktik, terutama kasus korupsi. Selain itu, dianggap aji mumpung, mumpung jadi Presiden. Sebab, bila tidak jadi presiden, maka Jokowi effect tidak memiliki dampak yang signifikan.
Sehingga majunya anak pertama Gibran Rakabuming Raka yang maju dalam Pilwalkot Solo dan mantu Jokowi Bobby Nasution yang juga maju di Pilwalkot Medan dalam pagelaran pemilu mendatang dianggap dinasti gaya baru. Sebab, sepanjang sejarah di Indonesia belum ada anak presiden yang maju sebagai calon bupati/wali kota di era kepemimpinannya. Dan ini lebih banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya terhadap politik tanah air.
Moral-etik politik
Menurut hemat saya, Presiden Jokowi perlu banyak belajar kepada Presiden ke-6 Sosilo Bambang Yudoyono dalam konteks ini. Sebab, di tengah kesuksesannya sebagai presiden dua periode, ia tidak mencalonkan anaknya sebagai bupati/walikota. Sebab, di dalam politik tidak sekadar legal-prosedur, tetapi moral-etik harus juga menjadi pertimbangan fundamental-signifikan.
Restu Presiden mengejutkan publik. Bagaimana tidak, rekomendasi bakal calon wali kota Solo yang diusulkan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Solo, Achmad Purnomo. Namun, DPP PDI Perjuangan berkehendak lain. Ini jelas pengaruh kuat Presiden dan tak mungkin ada yang berani vis a vis dengan anak presiden.
Padahal Purnomo adalah salah satu kader terbaik yang “berdarah-darah” dan sudah menata lama sebagai kader partai. bukan kader ingusan kemarin sore yang tiba-tiba ingin jadi wali kota. Ia sudah lama berproses. Sehingga restu PAC dan DPC diamanahkan kepadanya.
Inilah yang dimaksud penulis dengan presiden merestui anak dan menantunya berarti menabrak etika politik. Presiden harusnya menghadirkan politik santun dan bermartabat. Sebab, bila tidak, maka presiden yang dikenal lahir dari rahim masyarakat biasa. Dan Kerap menantang politik dinasti. Pun ketika terpilih ingin mewujudkan pendidikan karakter dan revolusi mental, semuanya hanya akan menjadi nyanyian usang yang perlu dipertanyakan.
Politik yang sehat
Di tengah carut-marut dan turbulensi politik itulah maka sejatinya presiden harus menghadirkan politik yang sehat dan efektif. Mengambil sikap dan kebijakan yang populis agar masyarakat benar-benar melek politik dan melihat politik sebagai sesuatu yang baik sehingga setiap pagelaran tingkat partisipasi pemilih mengalami peningkatan yang signifikan.
Jokowi pada periode pertama selalu menyampaikan bahwa selama berkuasa tidak akan melibatkan anaknya dalam pusaran politik praktis. Namun bacaan saya, justru itu hanya kamuflase dan politik sublimasi untuk memuluskan apa yang mejadi keinginannya. Sebab, majunya anak pertama dan menantu presiden ke gelangang politik pilkada saat ini menjadi bukti bahwa presiden lagi membangun politik dinasti gaya baru yang dalam etika politik sangat tidak baik untuk masa depan Indonesia.
Jika politik dinasti tetap dibiarkan berkembang di republik ini, bisa menjadi kemacetan agenda reformasi parpol dan pendidikan politik di Indonesia. Sebab, keberadaan dinasti politik menandakan kekuasaan berada di kelompok elite, tidak menutup kemungkinan akan kembali kepada Orde Baru yang korup dan melanggengkan sistem oligarki yang otoritarian.
Salah satu efek negatif dari dinasti politik ini juga kepentingan kelompok/golongan tertentu akan lebih diakomodasi daripada kepentingan publik.
Maka, untuk menyelesaikan dinasti politik gaya baru ini, perlu kerja sama eksponen bangsa, termasuk internal dan eksternal partai. Perbaikan harus dilakukan, terutama sistem kaderisasi parpol, proses konvensi harus terbuka di setiap parpol agar tak selalu ada kecurigaan, pun untuk menghindari mahar politik.
Selain itu, para elite partai harus mengusung calon yang berdasar pada meritokrasi; memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kualitas, prestasi, integritas, bukan karena senioritas, punya relasi dengan kekuasaan dan memiliki hubungan kekerabatan. Sebab, kekuasaan yang diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu kerusakannya.