Beberapa anak kecil berlarian dengan senyum ceria di bibirnya. Seorang anak perempuan dengan hidung mancung, kulit tidak kuning atau putih tapi tidak pucat juga. Rambut keriting terurai hingga ke bahunya yang mungil sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.

Tidak lama berselang, seorang wanita datang menghampirinya dan mengajaknya pergi. Sambil menoleh kembali kepadaku untuk terakhir kalinya ia mengangkat tangan dan melambaikan tangan mungilnya sekali lagi. Salah seorang anak yang dilahirkan dari rahim wanita asli Indonesia berdarah Sunda dengan seorang pria tampan yang meninggalkan negeri kelahirannya untuk mencari suaka.

Ya, kebanyakan dari mereka pergi meninggalkan negaranya bersama teman, saudara, istri dan anak sebenarnya bukan untuk ke Indonesia. Tetapi mereka adalah orang-orang yang gagal sampai di negara yang mereka tuju untuk mendapat suaka dan berharap kehidupan yang lebih baik.

Lingkungan di mana aku tinggal telah menjadi daerah bagi para imigran yang berparas tampan ini. Banyak wanita yang telah dinikahi hanya untuk kepentingan mereka saja, akhirnya keluar istilah kawin kontrak. Aku bertanya apa keuntungan dari hubungan ini?

Tak kutemukan jawaban yang masuk dalam pikiranku sebagai wanita. Banyak dari mereka berujung dengan kembali ke negara asal atau mendapat suaka di negara yang dituju. Tak ada keuntungan bagi wanita yang telah dinikahi atau sekedar teman kencan. Pada akhirnya hanya meninggalkan sebuah kenang-kenangan abadi anak-anak yang terlahir.

Pada satu kesempatan aku berbincang-bincang dengan seorang gadis, ia bertubuh gempal dengan mata yang bersinar dan rambut hitam lurus melewati bahu. “Saya cukup lulus SD saja nanti juga bisa dipinang sama orang-orang itu,” sambil menunjukkan jarinya ke sekelompok pemuda imigran. Untuk menutupi rasa kaget aku tertawa sambil mencolek tubuh gempalnya.

Perkataan gadis itu sebenarnya cukup tajam mengiris hatiku dan mampu membuat aku gemas dengan apa yang dikatakannya. Timbul sifat iseng ku dengan bertanya, “Memang kalau kamu bisa dapat si Abang tampan itu, kamu cukup dengan melihatnya sepanjang hari, terus kamu bisa hidup. Sepengetahuan saya nih… mereka kan enggak ada pekerjaan di sini?”

Walau sebenarnya saya sudah mengetahui darimana mereka mendapatkan uang untuk biaya hidup, sampai mereka mendapatkan suaka dari negara yang mereka tuju atau dideportasi. PBB melalui organisasi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) bertugas melindungi para pencari suaka dan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

“Duit mereka banyak, Bu, mereka dapat dua juta sebulan,” jawabnya dengan polos dan mata berseri. Sekali lagi aku merasa gemas melihat senyum ceria gadis yang ada di hadapanku ini. Inilah potret kehidupan dari impian seorang gadis desa yang polos. Di dalam hati aku berharap, semoga tak ada lagi gadis yang berpikiran seperti ini. Cukup satu orang saja yang ku temui di sini.

Tetapi kenyataan berkata lain, saat keesokan hari aku berjalan-jalan dan berbicara dengan beberapa gadis yang sedang berkumpul, cita-cita mereka semua sama. Mereka hanya modal bedak dan lipstik, rambut dibiarkan tergerai dan duduk di ambang pintu sambil sesekali memainkan rambutnya. Ketika pria-pria berbadan tegap  berjalan melewatinya, kalimat godaan tipis keluar dari bibirnya.

Pikiran di dalam kepalaku mulai bermain dan berputar-putar, berbagai pertanyaan mulai keluar dari syaraf-syaraf otakku. Mengapa pemerintah Indonesia memberikan daerahnya untuk tempat para imigran. Ya, sudah pasti jawabannya adalah kemanusiaan. Setuju untuk alasan kemanusiaan ini dan sebagai bangsa yang berbudi luhur.

Ada lagi pertanyaan yang muncul dan membuat tanganku menopang dagu di meja kerja. Apakah yang menjadi pertimbangan bagi pemerintah, mengijinkan daerahnya menjadi pemukiman bagi mereka? Sedangkan penduduk setempat pun sudah sangat padat bila digambarkan masuk kampung sudah seperti labirin. Sulit mencari jalan keluar karena sangat padat sekali, satu sama lain menempel dan jalan hanya sebatas satu motor yang bisa lewat.

Ketika aku berpapasan dengan para imigran di jalan pun, tak ada sedikit pun senyum ramah di bibir mereka apalagi menyapa. Terkadang ada rasa yang ingin meledak dan  keluar dari mulut ini. Hanya dapat menahan di dada sambil memandang sinis ke arah mereka. Karena aku merasa sebagai penduduk di sini dan memiliki cap Warga Negara Indonesia asli sedangkan mereka di sini hanya pendatang.

Hari demi hari berlalu, sampai satu hari ada seorang pemuda memakai masker. Tetapi aku dapat melihat dari kejauhan, dia salah satu imigran dengan hidung mancung dan kulit yang putih. Seorang wanita muda yang dibawanya terkesan sedikit takut untuk memasuki lobby hotel.

 Seorang staf berlari dan meyodorkan tanda pengenal sepasang muda mudi yang masuk tadi. Setelah aku perhatikan tanda pengenalnya, timbul kecurigaanku mereka bukan suami istri. Jadi tidak diperkenankan untuk menyewa kamar.  Tiba-tiba seorang wanita muda berkerudung hitam langsung menarik tanganku dan mencoba bertanya dengan nada yang tak ada titik koma, jauh dari kata sopan.

Untuk menghindari keributan yang akan mengganggu tamu lain, maka wanita muda itu aku bawa berkeliling taman dan menenangkan emosinya walau dengan keterbatasan bahasa. Dan suaminya dipersilakan keluar dari hotel kami. Kembali hati miris dan sangat prihatin, tebaran pesona maut membuat cinta menjadi buta.

Beberapa calo datang untuk bertemu denganku, dan menyampaikan niat mereka untuk menyewa villa. Ya, tidak lain untuk para imigran menginap. Ketika aku tanya apakah untuk keluarga atau bersenang-senang? Spontan mereka jawab, “Pasti untuk senang-senang, Bu. Duitnya juga bagus dibanding Ibu sewa sama orang kita.”

Hanya dapat mengelus dada saja, kalau aku melihat uang yang ditawarkan, sangat menggiurkan. Tetapi ketika mereka bercerita, seperti apa kehidupan yang mereka jalani selama satu minggu sewa, membuat bulu kuduk merinding. Bahkan yang membayar sewa villa itu bukan para imigran tetapi wanita setempat yang hanya sekedar mencari kepuasan belaka.

Ketika melihat di depan mata dan hidup beriringan dengan mereka, membuat aku kembali berkhayal. Semoga semua ini akan berakhir segera, para imigran mendapatkan tempat yang terbaik sesuai harapan mereka ke negara yang mereka tuju. Dan desa ini kembali pada jati dirinya, potensi wisata yang besar dapat digali lebih dalam.

Apa yang menjadi harapanku, sedikit terbuka. Beberapa mahasiswa pelaku seni angklung mulai masuk ke desaku dan mendirikan sanggar. Walau perjalanan masih panjang tetapi satu langkah kecil ini akan menarik langkah-langkah kecil lainnya. Dan satu hari nanti pemuda pemudi di desa ku akan ikut berperan serta dalam hal positif dan membangun.

Sebuah cerita dari sebuah desa menuju Puncak, Kabupaten Bogor.