Indonesia adalah negara berkembang. Penerimaan negara tidak cukup untuk membiayai seluruh pembangunan yang ada. 

Presiden Indonesia dalam setiap kepemimpinannya memiliki pandangan yang berbeda-beda. Sekarang ini kita berada di kepemimpinan Jokowi dengan sudut pandangnya membangun daerah-daerah perbatasan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sehingga diperlukan dana yang cukup besar, ditingkatkanlah utang luar negeri. 

Kenaikan utang luar negeri ini untuk pembangunan insfratstruktur dan kegiatan produktif pemerintah. Pemerintah Jokowi mengungkap anggaran untuk pembangunan tersebut sebesar Rp5.000 triliun (bbc.com). Semua itu tidak semata dibiayai APBN dan APBD, tetapi juga dengan menerbitkan surat utang.

Terlalu banyak utang sebenarnya bahaya apabila salah dalam pengelolaannya. Sri Mulyani selaku Menteri keuangan mengatakan bahwa kondisi utang Indonesia masih aman karena berada di bawah 60% dari PDB yakni kisaran 34%. 

Aturan pemerintah tidak boleh menambah utang melebihi 60%. Meskipun sebenarnya tidak ada jaminan keamanan jika melewati atau di bawah batas UU Keuangan Negara. Seperti halnya Portugal yang bangkrut padahal sebelumnya rasio utang dinyatakan aman. Demikian yang dikatakan Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati.

Menurut hemat penulis, sebenarnya sah-sah saja apabila pemerintah Jokowi menguatkan utang untuk pembangunan. Baik itu untuk belanja modal insfrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selama dalam manajemennya teratur dan dinamis terhadap efek ekonomi dunia.

Langkah pemerintah juga sudah diupayakan secara bertahap dan hati-hati sebagaimana yang dinyatakan Sri Mulyani melalui akun facebook-nya yang menjelaskan keberadaan utang. Menurut Sri Mulyani, langkah konsisten dan hati-hati dari Pemerintah ini telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat invetasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). 

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya. Disiplin fiskal Pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB.

Permasalahannya sekarang adalah kebijakan pemerintah yang dinilai berlebihan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik. Wajar-wajar saja apabila sebagai rakyat mengkritik dan memberi saran pemerintah selama sesuai norma dalam berdemokrasi, tetapi jika di luar itu semua tentu pemerintah pun tak akan mau peduli. 

Jika kritik yang diberikan rasional dan beradab, sudah barang tentu pemerintah akan menerima. Oleh karena itu, mendukung kebijakan pemerintah adalah keputusan yang tepat, karena dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat, harapan yang dimimpikan paling tidak dapat sejalan dan tidak ada pertikaian. 

Kita semestinya menghargai setiap apa yang menjadi sudut pandang dan pemikiran pemimpin. Seharusnya poros berpikir kita bukan lagi mengkritik, tetapi mendukung pemerintah. Ini bukan soal kubu 01 atau 02, toh keduanya adalah putera terbaik bangsa. Namun, ini perkara membangun Indonesia kepada kesadaran baru untuk pembangunan yang berkemajuan.

Bisakah Membangun Tanpa Utang?

Pembangunan tanpa utang bisa saja diterapkan yakni dengan pembiayaan dari BUMN (menggunakan dana internal yaitu ekuitas dan dana pinjaman atau penerbitan obligasi), dana dari investor swasta melalui skema kerja sama, dan pembiayaan dari badan usaha melalui skema pemberian insentif perpajakan (detiknews.com).

Penerapan membangun tanpa utang perlu ikhtiar yang besar dan panjang. Mengingat kendala yang dihadapi kini adalah apakah dana dari BUMN tersebut mencukupi untuk pembangunan produktif yang besar. 

Apalagi dana yang dibutuhkan untuk pembangunan sangat besar terutama pembangunan insfrastruktur. Mengingat pembangunan insfrastruktur di Indonesia harus digalakkan agar produktivitas masyarakat meningkat melalui akses yang memadai.

Menurut pemerhati kebijakan keuangan publik, Muhammad Nasir, persoalan utama dalam menggandeng investor swasta kalau dalam pembangunan insfrastruktur adalah kelayakan investasi proyek apakah memberikan hasil investasi (return) atau malah menimbulkan risiko yang besar. 

Sayangnya, insfrastruktur yang dibangun pemerintah sekarang adalah kurang profitable atau kurang wajar. Selain itu, iklim usaha juga menjadi faktor yang menjadi pertimbangan. Persoalan korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan ketidakstabilan kebijakan merupakan persoalan yang terus dihadapi investor.

Alternatif lain adalah menguatkan penerimaan dari pajak. Kesadaran masyarakat Indonesia akan sadar pajak juga dipertanyakan. Pasalnya, menurut Sri Mulyani, dari 10 orang yang bekerja, hanya satu yang terdaftar sebagai wajib pajak. 

Kebiasaan masyarakat Indonesia menjadi permasalahan yang pelik, membayar pajak dinilai sebagai kerugian karena mengurangi pendapatan mereka. Andai seluruh masyarakat sadar pajak, tentu akan menambah pemasukan negara dan membantu pembangunan Indonesia.

Akhirnya, membangun tanpa utang akan tewujud apabila sokongan pembiayaan dari BUMN, kerja sama dengan investor swasta, dan masyarakat sadar pajak diaplikasikan. Hal itu tidaklah mudah, memerlukan kemampuan dan kapasitas kepemimpinan yang hero.

Bahan Bacaan