Kementerian Perindustrian mengatakan Indonesia adalah produsen kertas ke-6 terbesar di Indonesia. Saat ini nilai ekspor kertas mencapai 7,26 miliar USD. Industri kertas juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 260 ribu orang lebih.

Pada periode 2006-2016, dimana jaman mengalami peralihan ke dunia digital, penggunaan kertas memang sempat menurun. Bahkan dikatakan penggunaan kertas untuk kebutuhan literasi konvensional sempat turun 1,3 %.

Tetapi para ahli memprediksi permintaan konsumsi kertas akan meningkat lagi. Alasannya, orang-orang lebih menyukai belanja online sehingga akan banyak dibutuhkan kertas untuk kemasan.

China adalah negara dengan konsumsi kertas terbanyak di dunia dengan pemakaian sebanyak 26 % dari total konsumsi kertas dunia. Karena konsumsi kertas meningkat lebih banyak ketimbang produksi, China diprediksi akan semakin banyak mengimpor pulp dari Indonesia dan Brasil. Suatu keuntungan bagi Indonesia.

Industri pulp dan kertas adalah salah satu sektor penting penghasil devisa negara. Sektor industri pulp dan kertas ini cukup berarti bagi Indonesia. Tetapi, untuk mencapai prestasi perdagangan global seperti ini, ada harga yang sangat tidak ternilai yang harus kita bayar: kerusakan alam!

Diperkirakan untuk menghasilkan 1 ton kertas dibutuhkan 24 pohon; 1 pohon (tergantung pohonnya) dapat menghasilkan kira-kira 15 rim kertas ukuran A4. Satu hektare lahan bisa menanam maksimal 2500 pohon.

Sementara kapasitas industri kertas Indonesia bisa memproduksi pulp 11 juta ton per tahun dan kertas 16 juta ton per tahun. Itu berarti Indonesia mampu menebang sekitar 264 juta pohon untuk pulp setiap tahun dan 384 juta pohon untuk kertas setiap tahun, di area hutan seluas 259.200 hektare!

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena hutan harus ditanami kembali. Jika hutan tidak direstorasi setelah penebangan yang dilakukan industri, ada banyak kerugian yang dialami manusia!

Setengah hektare pepohonan hutan menyuplai oksigen sebanyak udara yang dihirup 18 orang per tahun; 1 pohon menyuplai sekitar 118 Kg oksigen per tahun. Setengah hektare pepohonan hutan membersihkan 2,6 ton Karbon Dioksida dari udara setiap tahun.

Maka jika setiap 259.200 hektare hutan habis per tahun, Indonesia kehilangan sekitar 76.464.000 ton oksigen. Indonesia akan diracuni 1.347.840 ton lebih banyak Karbon Dioksida; dan kita masih gemar menciptakan polusi udara.

Belum lagi kerugian dari bencana yang diakibatkan hutan gundul seperti banjir, longsor, erosi, abrasi, kekeringan, pemanasan global, matinya kekayaan fungsi flora dan fauna, dll. Hanya karena kertas. Kita belum menghitung pemakaian hutan untuk industri kayu selain kertas. Dan ini baru hitungan untuk satu wilayah saja, Indonesia.

Kertas memang dari bahan yang terbarukan, pohon. Akan tetapi permintaan pasar terhadap kebutuhan kertas lebih cepat ketimbang waktu yang dibutuhkan untuk memanen. Dibutuhkan waktu sampai puluhan tahun untuk bisa memanen kayu bahan kertas, sementara permintaan pasar dan persaingan bisnis terus meningkat.

Alhasil, para pemasok bahan kayu ke perusahaan-perusahaan industri pulp dan kertas harus terus mencari lahan baru. Inilah yang menimbulkan banyak masalah seperti penebangan liar, eksploitasi hutan besar-besaran tanpa usaha pemulihan kawasan hutan, deforestasi hutan, konflik antara pelaku industri kayu dengan masyarakat setempat, konflik dengan para aktivis lingkungan, korupsi, money laundry dan sebagainya.

Berbagai ide untuk reforestasi, restorasi ekosistem, pemanfaatan lahan pascapanen, teknologi mempercepat pertumbuhan tanaman pohon, penelitian bahan baku alternatif kertas telah dilakukan. Tetapi hasilnya belum begitu terlihat signifikan; sepertinya masih banyak alam hutan yang rusak.

Penggunaan metode daur ulang kertas juga telah dilakukan. Contohnya seperti yang dilakukan Arjowiggins Graphic di Basingstoke, UK. Sebuah perusahaan kertas yang produknya adalah kertas hasil daur ulang.

Mereka memproduksi kertas dengan cara mendaur ulang kertas. Sehingga penggunaan bahan baku asli kayu dan bahan-bahan kimia yang diperlukan jauh lebih efisien dan ramah lingkungan. Mereka bahkan menawarkan Anda sebuah kalkulator untuk menghitung seberapa efisien dampak produk mereka terhadap alam.

Kertas dapat didaur ulang sebanyak 5-7 kali. Dikatakan juga mendaur ulang 1 ton kertas dapat mencegah kita menebang 17 pohon. Tapi produsen kertas daur ulang ini tidak sebanyak perusahaan pulp dan kertas yang menggunakan bahan baku asli kayu. 

Industri perhutanan masih menjadi salah satu sumber konflik hukum, alam dan sosial. Salah siapa?

Kita tidak dapat menyalahkan satu atau dua pihak saja. Untuk kasus yang problematik dan penuh dengan dilema ini, semua pihak harus terus-menerus mencari solusi dan bukan bertahan memperpanjang konflik.

Secara awam, kita bisa mengatakan kerusakan alam akibat industri perhutanan itu kejahatan korporasi, atau ketamakan. Atau mungkin secara politis kita akan menyalahkan berbagai kebijakan pemerintah mengenai perhutanan industri. Kita juga bisa mengatakan jaman sekarang aktivis cenderung merupakan sebuah profesi, perjuangannya hanya sebatas mengejar keuntungan sepihak juga.

Masyarakat konsumen? Ya. Kita juga bisa menyalahkan diri kita yang boros menggunakan kertas, yang malas memisahkan sampah daur ulang dengan sampah organik (basah), dan yang tidak sadar akan bahaya kerusakan lingkungan dan kesehatan akibat dari gaya hidup kita.

Tapi kita harus berpandangan realistis saja. Industri kayu hutan adalah sektor yang positif yang mengandung dilema yang problematik, seperti industri tembakau. Rokok itu membunuhmu, tapi penting bagi devisa negara dan kelangsungan ratusan ribu pekerja di dalamnya.

Sama halnya dengan industri pulp dan kertas, di satu sisi konsumsi kertas masih tinggi, negara masih membutuhkan para pengusaha industri untuk devisa negara dan mempertahankan penghasilan bagi 260 ribu lebih tenaga kerja di dalamnya. Di sisi lain, pengorbanan terhadap kerusakan alam begitu nyata dan mengancam keberlangsungan hidup manusia.

Yang kita butuhkan adalah kerja sama semua pihak untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam. Jadi apa yang semua pihak bisa lakukan sekarang, agar perekonomian industri tetap berjalan tanpa merusak alam?

Mungkin yang bisa disebut pertama kali adalah bahwa kita harus memiliki sikap batasan, limit attitude. Bahwa kita tidak boleh memaksakan alam, atau ia yang akan ‘memaksa’ kita.

Keseimbangan antara jumlah demand dan nilai produksi bahan baku kayu untuk kertas sangat sulit dicapai tanpa harus membuka lahan-lahan baru. Tanpa ada regulasi berdasarkan perhitungan siklus masa hutan yang membatasi korporasi untuk membuka lahan-lahan baru, maka kelestarian alam akan sulit dijaga.

Mudahnya, ide ini berawal dari pembagian masa hutan: 1. Masa tanam, 2. Masa tumbuh, 3. Masa panen dan 4. Masa Reforestasi.

Harus ada suatu metode kalkulasi masa untuk membatasi proses produksi hasil hutan (kayu) industri. Tergantung jenis pohon yang akan ditanam, masa tumbuh hutan berbeda. Tetapi pada masa pascapanen, harus ada regulasi bahwa proses reforestasi wajib dilakukan sebelum memulai siklus masa dari awal, di hutan yang sama.

Jadi, suatu negara hanya memproduksi pulp dan kertas baru selama sekian tahun sekali. Tergantung lama masa tumbuh pohon yang ditanam. Pada periode ‘menunggu’ masa tumbuh, perusahaan bisa mengusahakan produksi dengan cara mendaur ulang kertas bekas pakai.

Seperti mengelola sawah; petani hanya menyediakan padi setelah panen. Untuk menghasilkan padi baru, ia harus menanam dan menunggu sampai panen lagi. Hal ini untuk mencegah deforestasi yang membabi-buta dan merusak hutan asli (dan alam).

Resikonya tidak lain adalah menurunnya kegiatan produksi, pendapatan perusahaan dan devisa negara. Lalu pada akhirnya perusahaan-perusahaan kayu, pulp dan kertas akan gulung tikar dan sektor industri kertas di Indonesia akan tutup. Kabar baiknya adalah alam dapat memperbaiki kesehatannya.

Tapi tidak mungkin juga. Bagaimana mengorbankan uang sebesar 7,26 miliar USD bagi Indonesia? Tidak ada cara yang begitu ideal yang bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Cara yang bisa dilakukan untuk short-midterm adalah berharap pada para ilmuwan untuk menemukan terobosan-terobosan teknologi. Yang dibutuhkan adalah teknologi yang sekiranya mampu mengurangi polusi pabrik kertas; teknologi untuk mempercepat pertumbuhan pohon industri dan restorasi hutan, agar lebih efektif dan efisien; teknologi menciptakan hutan-hutan buatan untuk industri; menciptakan bahan-bahan alternatif untuk produk kertas yang bisa dikomersilkan.

Kepada pemerintah kita mengharapkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada alam. Serta tidak hanya giat membantu korporasi menjalankan usahanya, tetapi juga menindak tegas yang melanggar hukum. Dan jangan korupsi.

Kita juga mengharapkan perusahaan-perusahaan pulp dan kertas untuk mulai membuat divisi pengolahan kertas daur ulang untuk dikomersilkan. Serta mulai memikirkan konsep ‘sikap batasan’ (limit attitude).

Masyarakat juga sangat diharapkan untuk hemat menggunakan kertas, termasuk masyarakat profesional dan pelajar. Rajinlah memisahkan sampah daur ulang dan sampah basah. Terlihat sepele memang, tetapi itu sangat berarti bagi bumi yang kita tempati ini.

Demand pasar tidak pernah mendekati ‘sama dengan’ dengan nilai produksi tanpa kegiatan percepatan pembukaan lahan-lahan hutan industri baru. Bagaimana negara menyeimbangkan prestasi perdagangan makro industri hutan dengan tingkat kelestarian alam? Masih dilema..