Hachiko, seekor anjing ras Akita Inu, dikenal dan dikenang dalam oleh warga Jepang sampai-sampai dibuatkan tugu patung citranya di Shibuya. Hewan ini dikenang oleh warga Jepang, negara asalnya, oleh karena kisah berkesan sedih yang ditinggalkannya pada seluruh dunia.
Stasiun Shibuya adalah latar tempat di mana kisah itu dimulai. Majikan Hachiko, setiap hari keluar dari stasiun kereta tersebut untuk pulang. Setiap pulang, dia dijemput oleh anjing kesayangannya yang menunggu kepulangannya. Pada suatu hari biasa, Hachiko mengantar majikannya ke stasiun kereta.
Lalu pada sore hari, seperti biasanya Hachiko menunggu di tempat yang sama. Akan tetapi, majikannya tidak kunjung muncul.
Kenyataannya, pada hari itu, pemilik Hachiko, seorang professor pengajar di salah satu universitas di Jepang tersebut, meninggal tiba-tiba karena serangan jantung.
Oleh karena kejadian ini, isteri majikan Hachiko yang juga merupakan pecinta binatang, merasa tidak sanggup merawat anjing tersebut seorang diri dan menyerahkan kepada kenalannya.
Walau demikian, setiap sore, Hachiko kabur dari rumah majikan barunya ke stasiun Shibuya untuk menunggu majikan lamanya, mencoba mengenali wajah-wajah yang lalu lalang di sana.
Tapi tentu saja, wajah yang familiar baginya tersebut tidak pernah muncul. Hal tersebut terjadi setiap sore hingga pada ajalnya. Hachiko mati di stasiun, di lokasi yang sama, di mana dia setiap sore menunggu majikannya pulang.
Rusia membangun tugu tikus yang berdiri menyerupai postur berdiri manusia, lengkap dengan kacamata bundar a la era 1950’an sampai 1980’an, sedang merajut DNA.
Tugu tersebut terletak di halaman Institut Sitologi dan Genetika Novobirsk Siberia, Rusia.
Tikus yang digambarkan mirip wanita tua itu dibangun dalam rangka penghormatan dalam terhadap tikus-tikus yang mati demi penelitian laboratorium dengan tujuan untuk meneliti berbagai macam hal, seperti penyakit hingga perjalanan ruang angkasa.
Pembangunan tugu tikus tersebut merupakan kejadian sejarah yang besar, di mana biaya pembangunannya pun dihasilkan dari donasi-donasi dengan nilai 362 juta rupiah.
Arsitek pembangunnya beranggapan bahwa tikus percobaan tersebut sama pentingnya dengan hasil temuan penelitian itu sendiri.
Dalam memandang kedua kejadian sejarah itu, Jenny Teichman bisa dijadikan rujukan bacaan khususnya dalam bab yang membahas pandangan etikanya tentang hubungan manusia dan hewan secara etis.
Jenny menyebutkan pandangan dua pandangan ekstrem berkenaan dengan cara manusia memandang hewan. Ekstrem satu, memandang hewan sebagai mesin tak-berperasaan belaka, makhluk lain yang bebas untuk diperlakukan semaunya.
Ekstrem lainya, menolak pandangan ini mentah-mentah. Perlu diperdalam bagaimana menyikapi kedua ekstrem ini. Pandangan ekstrem pertama bisa dikatakan sangat berlawanan dengan dua kejadian yang telah dijabarkan di atas.
Manusia lah yang paling tinggi derajatnya, oleh karena itu hewan tidak memerlukan penghormatan sebesar itu, alih-alih hewan ada untuk dieksploitasi.
Kedua kejadian sejarah di atas bisa dikatakan sejalan dengan pandangan ekstrem kedua, bahwa hewan memang harus dihormati oleh karena mereka juga punya perasaan dan memiliki nilai-nilai yang dikenal ada di dalam manusia.
Pandangan ekstrem pertama dianggap tidak ada bedanya dengan rasisme atau radikalisme oleh pandangan ekstrem kedua, bahwa mereka bertindak semena-mena dan bisa dikatakan tidak penuh pertimbangan sama sekali.
Akan tetapi, ekstrem pertama memang memiliki pendasaran yang cukup logis untuk melawan ekstrem kedua. Dengan sikap hormat sedemikian rupa terhadap hewan, apakah berarti juga sebenarnya manusia salah besar ketika memakan daging hewan?
Apakah berarti, jika hewan dihormati dan diperlakukan sama dengan manusia, manusia boleh memakan daging manusia juga?
Jenny menyimpulkan (tentu saja secara setengah-setengah) bahwa kedua ekstrem tersebut tidak ada yang benar.
Kedua ekstrem tersebut bisa jatuh dengan mudah jika dihadapkan dengan kondisi ekstrem yang berlawanan pula. Akan tetapi, penulis akan membahas kedua kasus tersebut dengan kacamata penengah.
Hachiko dibuatkan tugu penghormatan karena kesan yang ditinggalkannya memancarkan kesetiaan tanpa batas yang bahkan tidak dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini, nilai kesetiaan Hachiko berada di atas rata-rata nilai kesetiaan yang dimiliki banyak manusia, dan dalam hal ini, bukan berarti manusia tidak bisa menjadi demikian, akan tetapi manusia bisa juga tidak demikian.
Bisa dikatakan sebenarnya kesetiaan macam anjing itu instingtif, sedangkan manusia punya kehendak bebas dan akal budi yang memberi mereka kebebasan, tapi juga secara sejalan, rintangan untuk melaksanakan kesetiaan sedemikian rupa.
Mungkin banyak orang akan mempertimbangkan secara demikian, “bukankah dia sudah meninggal? Ya, saya mencintainya, tapi saya tahu saya tidak akan bertemu dengannya lagi, bukan?” dalam pemikirannya.
Bagi penulis, manusia tergerak untuk membangun rasa hormat demikian hanya karena tersentuh belaka dengan kesetiaan anjing itu, yang tidak sering lagi ditemukan dalam kehidupan sosial.
Lalu, dari kejadian kedua, penulis menemukan ironi parakdoksal yang cukup menyakitkan. Kita tidak boleh lupa, revolusi Bolshevik pada tahun 1917, 40 tahun tepat lebih dulu daripada pembangunan tugu tikus tersebut.
Revolusi tersebut menewaskan sekitar tujuh setengah juta jiwa. Akan tetapi, apakah kita melihat tugu luar biasa nan-megah dibangun untuk mengaku dosa terhadap pembunuhan massal tersebut?
Ironis bahwa 40 tahun tepat umur kejadian berdarah tersebut, Rusia membangun tugu untuk tikus. Bisakah dikatakan bahwa sebenarnya orang-orang yang membangun tugu tikus tersebut (manusia) berpandangan ekstrem kedua? Tidak juga.
Jangan lupa, bahwa berjuta-juta tikus mati demi temuan-temuan penting dalam sejarah manusia, dengan alasan mulia demi manusia, karena kenyataannya, sampai sekarang lab tersebut masih membunuh berjuta-juta hewan penelitian.
Lalu apakah orang-orang itu ekstrem pertama? Bukan. Lalu, di mana posisi manusia-manusia tersebut? Penulis menjawab, bahwa pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab.
Yang perlu diungkapkan dari tulisan ini adalah, bahwa terjadi inkonsistensi etis dari sikap manusia. Manusia tidak tahu meletakkan posisi mereka di mana.
Kontekstualitas dalam etika memegang kunci krusial dalam menyimpulkan suatu tindakan benar atau salah.
Akan tetapi, ada satu yang tidak berubah, bahwa kekejian manusia itu lebih rendah daripada derajat hewan, jika memang derajat hewan itu ada, atau derajat makhluk-makhluk itu ada.
Yang salah adalah kekerasan, eksploitasi, dan superioritas tindakan manusia. Yang salah adalah tindakannya, pendasarannya tidak perlu diperdebatkan.
Referensi
Teichman. J, Etika Sosial, PT Kanisius, Yogyakarta, 2014