Pernahkah anda melihat orang-orang dengan disabilitas di ruang-ruang publik?Barangkali hal itu menjadi pemandangan yang cukup langka di Indonesia. Untuk memahami mengenai disabilitas, mari kita mulai dengan memahami berbagai istilah.
Istilah disabilitas sekarang ini semakin sering digaungkan untuk menggantikan istilah "cacat". Istilah"cacat" sendiri pada dasarnya selalu memiliki konotasi negatif yang identik dengan suatu hal yang rusak atau tidak normal.
Istilah"cacat" yang biasa dipakai dalam dunia medis, lebih berfokus pada kondisi fisik seseorang yang dinilai normal atau tidak normal menurut fungsinya. Sedangkan kondisi disabilitas, dalam pengertian lebih luas, hadir ketika seseorang tidak dapat berinteraksi dengan baik karena adanya hambatan-hambatan.
Disabilitas juga merujuk pada mereka yang hidup dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual dan sensorik. Beberapa kelompok lebih memilih untuk memakai istilah “difabel” dengan memperjuangkan bahwa mereka tidak disable ataucacat melainkan hanya manusia dengan kemampuan berbeda (different ability).
Sedangkan kelompok yang memakai istilah “disabilitas” menekankan bahwa mereka memang disabled yang disebabkan oleh lingkungan atau kebijakan yang tidak inklusif. Misalnya seseorang dengan kursi roda yang tidak dapat naik ke lantai atas karena karena suatu bangunan kurang dilengkapi fasilitas seperti bidang landai atau lift.
Di dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kedua istilah secara bergantian karena bagi penulis keduanya memiliki maksud yang benar dengan intensinya masing-masing
1/10 Anak Dilahirkan Dengan Kondisi Disabilitas
Menurut data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2020, diperkirakan 15% dari populasi manusia di dunia hidup dengan disabilitas. WHO mencatat bahwa 46% lansia berusia 60 tahun ke atas menyandang disabilitas, dan diperkirakan bahwa 1 di antara 10 anak di dunia dilahirkan dengan kondisi disabilitas.
Menurut PUSDATIN dari Kementerian Sosial pada tahun 2010 setidaknya ada 11 juta masyarakat Indonesia penyandang disabilitas. Perkiraan WHO ditahun yang sama, setidaknya ada sekitar 10% populasi di Indonesia atau sekitar 24 juta orang yang menyandang disabilitas.
Mungkin kita bisa bertanya mengapa dengan data sebesar itu, kita jarang bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman difabel di tempat umum.
Memang beberapa difabel tidak mudah untuk diidentifikasi secara jelas, seperti para orang tua atau para disabilitas mental dan intelektual, namun hal ini juga disebabkan penyandang disabilitas yang masih menjadi kaum terpinggirkan yang kurang memiliki keleluasaan dalam beraktivitas.
Mereka bahkan kesulitan dalam memenuhi hak asasi-nya seperti dalam pendidikan, pekerjaan dan akses kesehatan. Akses di tempat umum seperti mall ataupun sekolah bagi mereka, masih jarang diperhatikan dengan baik sehingga tidak jarang bahwa beberapa dari mereka lebih memilih untuk banyak di rumah.
Keterbatasan kita dalam berinteraksi secara langsung dengan mereka, membuat non-disabilitas tidak bisa mengenal secara langsung mengenai disabilitas. Pengenalan kita terhadap disabilitas sering kali hanya didapatkan dari media yang sayangnya masih mengandung banyak masalah.
MediaMemandang Difabel
Roy Thaniago lewat artikelnya yang berjudul “Bolehkah Saya Menjumpai Difabel di Media dengan Layak?” mengutip hasil studi Paul Hunt ditahun 1991 yang mencatat adanya 10 stereotip difabel oleh media antara lain: the disabled person as pitiable or pathetic, an object of curiosity or violence, sinister or evil, the super cripple, as atmosphere, laughable, his/her own worst enemy, as a burden, as non-sexual, beingunable to participate in daily life.
Bukan hal yang baru bahwa media (apapun bentuknya) sering menggambarkan difabel sebagai orang yang menyedihkan dan patut dikasihani, objek rasa penasaran, digambarkan jahat/licik, objek inspirasi, objek tertawaan, beban masyarakat, dan sebagai makhluk aseksual.
Misalnya di Media Indonesia kita dapat menjumpai karakter pelawak Bolot yang kekurangannya dalam mendengar menjadi objek tertawaan (laughable). Di kasus yang lain misalnya orang-orang bertubuh kecil atau penyandang dwarfisme, yang di dalam media selalu digambarkan sebagai orang periang dengan selera humor yang tinggi. Citra ini terkadang merugikan mereka ketika hendak melaksanakan kehidupan normal sebagai manusia.
Dalam kisah di sinetron-sinetron, seorang difabel sering digambarkan sebagai beban sosial (burden). Dalam karakter Cecep (yang diperankan Anjasmara) di sinetron populer awal tahun 2000-an, digambarkan bahwa selain sebagai objek tertawaan (laughable), ia juga patut dikasihani (pitiable)dan dipandang aseksual (non-sexual).
Di acara-acara selebritas yang digambarkan memberi sedekah kepada seorang difabel, mereka sering digambarkan sebagai objek yang menyedihkan, patut dikasihani dan objek rasa penasaran. Kemudian yang paling sering ditemui dalam acara talkshow adalah penggambaran difabel sebagai objek inspirasi.
Meskipun di antara stereotip tersebut terdapat stereotip baik bahwa teman-teman difabel dipandang sebagai objek inspirasi (seperti umum kita jumpai di acara Televisi Hitam Putih Trans 7 ataupun acara KickAndy MetroTV), namun pandangan itu bukan tanpa masalah.
Kisah yang biasa diangkat dalam acara-acara tersebut adalah pencapaian-pencapaian yang diperoleh oleh seorang difabel dan kemampuan mereka dalam menghadapi rintangan. Acara-acara ini menonjolkan sisi heroisme dari seorang difabel yang bisa menginspirasi orang-orang non-difabel.
Stella Young, seorang aktivis difabel dan komedian, pernah berkata dalam acara TedTalk bahwa sebagai penyandang disabilitas, ia menjalani kehidupan yang normal sebagaimana orang lain. Ia menyebut kebiasaan menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek inspirasi sebagai inspiration porn.
Menurutnya, menjadikan penyandang disabilitas hanya sebagai objek inspirasi akan men-dehumanisasi karena dimensi kehidupan difabel menjadi ditunggalkan. Adalah hal yang keliru jika kita memandang teman-teman difabel sebagai semata-mata objek inspirasi, karena mereka terlahir ke dunia bukan untuk menjadi objek inspirasi.
Dengan menjadikan disabilitas sebagai objek inspirasi yang berfokus pada sisi heroisme masyarakat seolah dialihkan bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah kurangnya akses difabel dalam berbagai lini kehidupan.
Seharusnya jika setiap orang memiliki akses yang sama, maka bukan sesuatu yang spesial ketika seorang difabel bisa berjalan-jalan keliling kota, menempuh pendidikan yang tinggi, atau memperoleh pencapaian-pencapaian pribadi dalam hidupnya.
Bagaimana dengan Peraturan Pemerintah Memandang Disabilitas?
Mayoritas kebijakan pemerintah di Indonesia mengenai disabilitas seperti yang diungkapkan dalam pembahasan channel Youtube LAW motion selama ini, masih menggunakan cara pandang charity based daripada Human Right Based.
Misalnya pada pasal 69 UU no. 24 tahun 2007 yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan dukacita dan kecacatan bagi korban bencana. Dalam pasal ini kondisi kecacatan dijadikan patokan dalam pemberian hak sehingga sering kali yang dipertimbangkan adalah rasa belas kasih kepada kondisi fisik seseorang.
Kebijakan lain yang patut dipertanyakan adalah pasal 5 ayat 2 UU no. 11 tahun2009 yang menjadikan kecacatan dari seseorang sebagai kriteria masalah sosial yang turut menyumbang stigma bahwa disabilitas merupakan pembawa masalah.
Seharusnya suatu kebijakan lebih berfokus pada pemenuhan hak dan upaya menghilangkan hambatan bukan hanya dengan bantuan dana yang sering membuat penyelesaian masalah menjadi lebih sederhana.
Nyatanya bantuan dana memang penting untuk membantu mereka yang membutuhkan tapi jangan sampai penyelesaian masalah pada disabilitas berhenti dengan bantuan dana tanpa upaya memperjuangkan hak mereka.
MemandangDifabel Sebagai Person dalam Pemikiran Maritain
Stereotip yang berkembang di media, jelas telah membuat depersonalisasi pada teman-teman difabel. Setiap manusia sebagai person dalam pemikiran Jacques Maritain, seorang filsuf Neo-Thomis dari Prancis, memiliki kebebasan sesuai dengan kodratnya apapun keadaannya.
Memandang teman-teman difabel sebagai person berarti juga menghargai bahwa mereka memiliki hak yang sama sebagai manusia. Mereka memiliki kesempatan yang sama dalam masyarakat yang tidak boleh dihalang-halangi oleh siapapun.
Penting untuk diingat bahwa seseorang menjadi penyandang disabilitas bukan semata-mata karena keterbatasan fisiknya, melainkan karena keterbatasan oleh konstruksi sosial dan dampak dari lingkungan atau kebijakan yang tidak inklusif.
Gedung yang tidak ramah terhadap kursi roda membuat seseorang menjadi penyandang disabilitas, sekolah yang tidak menerima siswa Tuli menjadikannya sebagai penyandang disabilitas, keterbatasan akses vaksin di masa pandemi dan banyak hal lainnya yang menjadikan mereka menjadi disabilitas.
Penutup
Teman-teman difabel sebagai person memiliki hak yang setara dengan semua orang dalam suatu negara. Stererotip yang sudah terlanjur berkembang dimedia harus segera dilawan dengan pemahaman yang benar dan mendidik supaya jangan merugikan teman-teman difabel.
Mereka sebagai person juga memiliki kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam kehidupan sosial bersama masyarakat. Hal itu hanya bisa terlaksana apabila hak-hak mereka dihargai sekaligus difasilitasi.
Sumber Bacaan
JacquesMaritain, ManAnd The State,Chicago: University of Chicago Press, 1951.
RomanusChukwujindu N., Personaland Political Freedom According To Jacques Maritain, A critical ofJaques Maritain’s Socio-Political Philosophy,Roma: Emmanuel M. MILINGO, 1991.
RoyThaniago, BolehkahSaya Menjumpai Difabel di Media dengan Layak, 11 Desember 2018,https://www.remotivi.or.id/amatan/503/bolehkah-saya-menjumpai-difabel-di-media-dengan-layak.
YuliNurhanisah, PenyandangDisabilitas Berhak Divaksin Covid-19,21 Juni 2021,https:///www.indonesiabaik.id/Penyandang-Disabilitas-Berhak-Divaksin-Covid-19.
DonaldDeMarco, TheChristian Personalism of Jacques Maritain,https://www.ewtn.com/catholicism/library/christian-personalism-of-jacques-maritain-10027.