Belum lewat 4 bulan lalu aksi terorisme melanda Indonesia. Tragedi diawali dengan kerusuhan di Rutan Mako Brimob, Depok yang menewaskan 5 orang polisi dan 1 napi terorisme.

Ketika momen itu terjadi, Indonesia terasa seperti negara paling mencekam di dunia. Para napiter berani menyiarkan aksi mereka secara langsung di Instagram. Bahkan video pembunuhan para korban sempat mereka unggah di YouTube.

Aksi terorisme pada bulan Mei lalu itu tidak berhenti sampai di situ saja. Setidaknya ada 5 aksi terorisme yang terjadi. Selain kerusuhan di Mako Brimob, ada pula serangan bom 3 gereja di Surabaya, bom yang meledak saat sedang dirakit di Wonocolo, bom di Polrestabes Surabaya, dan penyerangan di Mapolda Riau.

Zuhairi Misrawi, analis politik Timur Tengah, mengatakan bahwa serangan teroris besar seperti ini belum pernah terjadi di negara Timur Tengah sekalipun. Terlebih, ini pertama kalinya terjadi aksi terorisme yang melibatkan satu keluarga termasuk anak-anak.

Para teroris sepertinya sudah punya agenda tetap, yaitu melalukan aksi terorisme sebelum bulan Ramadhan tiba setidaknya dalam 3 tahun terakhir ini. Pada tahun 2016 terjadi bom bunuh diri di Mapolresta Solo, pada tahun 2017 terjadi 2 ledakan bom di depan Halte Transjakarta di Kampung Melayu, Jakarta, dan terakhir tahun 2018 ini terjadi 5 aksi terorisme secara beruntun. Nampaknya serangan teroris ini mereka anggap sesuai contoh Nabi Muhammad SAW yang berperang di Bulan Ramadhan ketika perang Badr pada tahun 624 M.

Untuk memahami perkembangan terorisme sekarang ini, kita tidak bisa begitu saja melepaskan pandangan dari pergerakan ISIS di Timur Tengah. Kekalahan ISIS di Irak dan Suriah bukan berarti mobilitas pasukan ISIS yang datang dari negara lain terhenti. Mereka yang pulang ke negara asal pun menunaikan aksi yang serupa.  

Kemenangan rezim Bashar Al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran baru sebatas mengusir para pejihad ISIS dan Al-Qaeda keluar dari Suriah. Keberadaan pejihad yang melarikan diri pun tidak semua terdeteksi walau beberapa di antara mereka berhasil ditangkap.

Di luar lingkar dalam ISIS juga terdapat banyak simpatisan yang tersebar di negara-negara kantung komunitas muslim seperti di Perancis, Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris. Eksistensi simpatisan inilah yang lebih sulit lagi untuk diketahui sama seperti menggapai asap. Mungkin kita baru mengetahui kehadiran mereka setelah aksi terorisme mereka terlaksana.

Aksi mereka ini merupakan bentuk simpati kepada kawan yang dianggap sedang teraniaya karena perjuangan mereka dipukul mundur oleh kekuatan besar. Aksi simpati ini juga telah diperintahkan oleh pemimpin jihadis di Suriah supaya perjuangan tetap dilakukan oleh saudara mereka di luar zona perang.

Bentuk simpati pun diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk aksi seperti yang terjadi medio Mei lalu di Indonesia. Jika di Indonesia para simpatisan ISIS menerjemahkannya dengan membom 3 gereja dan meledakkan bom motor di Surabaya yang sama-sama dilakukan oleh anggota keluarga teroris. Cara berbeda dilakukan simpatisan ISIS di negara lain yang kebanyakan dilakukan oleh lone wolf.

Baru-baru ini pun terjadi kembali aksi terorisme di Westminster, London, Inggris yang menabrak pesepeda dan pejalan kaki di jalanan dekat kantor parlemen Inggris (14/08). Aksi ini serupa dengan yang dilakukan Khalid Masood pada bulan Maret 2017 lalu dengan menabrakkan pejalan kaki dari Westminster Bridge hingga halaman Westminster Palace.

Aksi dengan cara berbeda dilakukan teroris di Perancis yang juga kebanyakan dilakukan oleh lone ranger. Kita ketahui bahwa Perancis merupakan negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa. Sejak awal mula kemunculan ISIS yaitu tahun 2003, Perancis sudah menjadi salah satu sasaran utama aksi teror.

Kejadian teror terbaru (12/05) adalah dengan menusuk secara membabi buta ke arah pejalan kaki di Palais Garnier, Paris. Sejak 2003, tidak kurang dari 16 kali serangan dengan cara menusuk di Perancis.

Selebihnya aksi dilakukan dengan menembakkan senjata api ke segala arah di kantor majalah satir Charlie Hebdo dan Hypercacher (supermarket komunitas Yahudi) pada tahun 2015. Juga penembakkan membabi buta di dalam gedung konser musik Bataclan, Paris, pada tahun yang sama.

Melihat rentetan aksi terorisme di berbagai negara termasuk di Indonesia dalam waktu yang berdekatan dan pada tahun 2018 masih juga terjadi, warga dunia belum bisa bernapas lega dari kemungkinan kembalinya terjadi aksi serupa.

Teroris pun melakukan tindakan yang kurang lebih sama karena mereka menganggap polisi dan umat kristen sebaga musuh mereka. Itulah mengapa aksi terorisme di Indonesia banyak terjadi di gereja dan markas kepolisian.

Ada pula bibit terorisme lain, yaitu pemahaman anti-demokrasi yang berpotensi meletupkan aksi terorisme dengan mengganti bentuk negara dengan bentuk lain. Seperti Ikhwanul Muslimin (IM) yang didirikan Hassan Al-Banna di Mesir pada tahun 1928 yang bertujuan mereformasi sistem politik di negeri Arab.

Beberapa orang Ikhwanul Muslimin melakukan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mesir, Mahmoud an-Nukrashi Pasha, pada tahun 1948 setelah pemerintah menutup organisasi itu. Hassan Al-Banna pun kemudian dibunuh oleh agen pemerintah satu tahun kemudian walaupun ia mengecam aksi pembunuhan terhadap Mahmoud Pasha.

Walaupun Ikhwanul Muslimin berbeda dengan Al-Qaeda dan ISIS, namun pemahaman mereka mengenai sistem pemerintahan khilafah kurang lebih sama. Mereka menganggap demokrasi buatan manusia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam.

Dari ISIS ke JAD

Seperti kita ketahui ISIS berawal dari organisasi Jama’at al-Tawhid wal-Jihad yang beraliansi dengan Al-Qaeda pada tahun pada tahun 2003 ketika invasi Amerika Serikat ke Irak. Lalu mereka memproklamasikan diri sebagai Islamic State (ad-Dawlah al-Islamiyah) atau IS. Praktis setelah tragedi 9/11 tahun 2001, Amerika Serikat seperti memiliki pembenaran untuk menginvasi kawasan Timur Tengah hingga pecahnya Arab Spring.

Penumpasan para teroris sejauh ini tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Walau pemerintahan di era Barrack Obama sukses mengeksekusi pimpinan Al-Qaeda, Osama Bin Laden. Ternyata organisasi terorisme terus muncul dan semakin subur termasuk ISIS yang tumbuh besar dan memiliki koneksi besar di banyak wilayah di dunia termasuk dengan Jamaah Ansarut Daulah (JAD) di Indonesia.

Sejauh ini, JAD dan Jemaah Islamiyah yang paling terkenal berafiliasi dengan gerakan ISIS selain belasan organisasi Islam lain yang terdeteksi Polri. Pemimpin JAD, Aman Abdurahman pun telah divonis hukuman mati dan tinggal menunggu eksekusi. Hal yang sama juga terjadi pada Abu Bakar Baasyir sebagai pemimpin Jemaah Islamiyah.

Namun, sel teroris di Indonesia seperti selalu menunggu momen yang menurut mereka tepat untuk beraksi. Apalagi adanya kebiasaan mereka melakukan aksi teror sebelum Ramadhan. Aksi bom 3 gereja di Surabaya dilakukan oleh satu keluarga yang mana sang ayah merupakan pemimpin JAD di Jawa Timur.

Kegagalan Counter-Terrorism

Manuver mereka tidak diketahui oleh polisi bahkan langkah mereka tidak terhenti walau Aman Abdurahman mendekam di penjara. Instruksi serangan sepertinya langsung mereka terima dari Timur Tengah. Transaksi uang untuk modal aksi terorisme pun seperti tidak terendus hingga pecahnya aksi mereka. 

Banyaknya teori counter-terrorism dari pengamat terorisme barat belum menemukan titik temu mengingat konspirasi pembentukan organisasi radikal terus bergulir sejak lama dan dari berbagai latar belakang (sudut pandang politik dan agama).

Inilah yang menjadi devoir kita semua untuk mewaspadai segala gerak-gerik potensi adanya gerakan radikalisme dan intoleransi sekecil apa pun. Pendidikan demokrasi, tenggang rasa, dan toleransi menjadi krusial ditanamkan di dalam diri bibit muda Indonesia. Segala bentuk intimidasi dan tidak menghargai perbedaan harus segera dikoreksi sedini mungkin.

Pemahaman agama Islam yang damai dan toleran harus tertanam di dalam diri para muslim muda. Dua perempuan muda yang berencana melakukan aksi penusukan di Mako Brimob Mei lalu menjadi bukti paham radikalisme sudah menjalar di antara para pemuda. Mereka masih menjadi sasaran empuk paham radikalisme dan terorisme karena mereka tidak memiliki prior knowledge mengenai Islam yang toleran.

Tugas penumpasan terorisme ini bukan hanya tugas pemerintah saja baik dari pelaksanaan UU anti-teror dan penguatan pengawasan Badan Intelijen Negara terhadap kelompok atau perorangan yang diduga simpati terhadap aksi teror. Warga sipil pun memiliki tugas yang sama pentingnya dengan melakukan pantauan di lingkungan sekitar termasuk di media sosial. Jangan sampai bahaya laten terorisme terus menerus melanda Indonesia.