Adu argumen merupakan hal niscaya dalam olah pikir. Semakin banyak pihak yang terlibat maka semakin banyak perspektif yang memperkaya topik yang dibincangkan. Sungguh disayangkan bila aktivitas positif itu dikungkung oleh dogma atau justru dipersoalkan dengan pasal karet UU ITE. Argumentasi harusnya menyasar rasionalitas, bukannya bertumpu pada subjektivitas.

Tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi Buzzer mengubah pandangan netizen dalam memahami argumentasi. Terutama yang ditunjukkan di media sosial. Setiap argumen yang ditujukan sebagai kritik malah dipolitisasi. Toh kritik tidak melulu mengerdilkan usaha dan kerja seseorang atau suatu pihak. Mengkritik bukan berarti menafikan jasa atau ketulusan. Ia tidak lebih dari upaya reflektif untuk menimbang kembali setiap putusan.

Lagipula, tak satu pun insan yang imun terhadap kesalahan. Oleh karena itu, setiap ide yang dihasilkan atau putusan yang diambil tak ada yang luput dari kritik. Sebab kritik selalu membayangi kesalahan sebagai suatu harapan untuk menggapai kebenaran. Lalu mengapa kritik itu dibutuhkan? Sebab setiap ide dan putusan akan selalu melibatkan pihak lain baik dalam proses maupun dampaknya.

Dogma adalah antitesis dari kritik. Dogma mengandaikan kondisi ideal tanpa celah dari sebuah doktrin. Ia merujuk pada sesuatu atau otoritas yang tak tersentuh; yang tak mengenal pertanyaan. Di sisi lain, kritik justru melihat kesalahan sebagai jalan menuju kebenaran. Kritik menuntut verifikasi. Namun pada saat bersaman juga merangkul falsifikasi. Oleh karena itu, dogma cenderung mengabaikan argumen logis karena tumpuannya tidak mengenal kontradiksi.

Contohnya seseorang yang mengidolakan figur dan menjadikannya panutan. Ia menganggap bahwa segala tindak tanduk perbuatan figur itu dijamin oleh otorisasi yang dipersepsi sakral seperti ayat suci, konstitusi, atau adat istiadat. Sehingga ketika yang bersangkutan berbuat salah maka doktrin dogmatis akan menggiring orang itu untuk fokus pada otoritas dibalik figur itu ketimbang persona figur itu sendiri.

Padahal, setiap orang pasti melakukan kesalahan. Sebab orang berkembang dengan cara belajar dan belajar tentu mengenal kesalahan. Di sisi lain, otorisasi menjamin kekuasaan sehingga agar kekuasaan itu bertahan maka otorisasi harus diterima sebagai hal yang benar. Ada kontradiksi di sini; figur yang pasti salah sementara otorisasi yang selalu benar. Tak mungkin keduanya koheren secara logis. Sehingga dibutuhkan dogma untuk mengaburkan koherensi tersebut.

Konteks dan Argumentasi

Ketika argumen logis dikaburkan dogma, kebenaran tidak lagi menjadi soal. Ia digantikan oleh topengnya yaitu pembenaran. Hal ini pula yang sering membuat proses argumentasi menjadi mandek sebab dogma terus mendorong pembenaran dan mengabaikan pencarian kebenaran melalui prosedur logisnya masing-masing.

Akibatnya, pakar kehilangan panggungnya dan metodologi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus. Terlebih media sosial hanya mementingkan keleluasaan akses tapi mengabaikan penyaring. Menenangkan netizen di tengah riuhnya argumentasi di kolom komentar merupakan hal mustahil. Terlebih jika yang meramaikan argumentasi itu berlindung di balik akun anonim.

Namun di balik kemustahilan itu, ada satu hal yang mungkin sedikit menenangkan pikiran kita tentang argumentasi di ruang publik yaitu pemahaman akan konteks. Sebab betapa pun sengitnya pertikaian argumentatif kita, konteks adalah jembatan untuk saling mencoba memahami basis argumen masing-masing.

Argumen yang kontradiktif juga dapat disebabkan oleh perpindahan konteks dari apa yang sedang dibicarakan. Oleh sebab itu, salah satu celah efektif untuk mendobrak dogma adalah dengan menjelaskan konteks dari argumen yang ditawarkan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, konteks membatasi wilayah dogma sebab masing-masing berpegang pada prinsip-prinsip otorisasi yang berbeda.

Bahkan dalam situasi ketika kita sepakat pada prinsip-prinsip otorisasi yang sama, konteks yang dihadirkan mungkin akan menegaskan perbedaan posisi kita. Taruhlah kita percaya pada prinsip bahwa nyawa adalah hak mutlak Yang Maha Kuasa sehingga tak satu pun di antara makhluk yang punya hak untuk mengklaimnya.

Secara umum, prinsip itu kita pegang teguh tanpa perdebatan berarti sampai hadirnya konteks. Terutama jika prinsip itu kontradiktif dengan prinsip kita yang lainnya. Seperti Euthanasia, Aborsi,  Hukuman Mati bagi koruptor atau pelaku pedofilia, atau membunuh binatang (antara binatang peliharaan dengan binatang parasit seperti nyamuk).

Belum lagi jika konteksnya meluas dengan prinsip yang tentu lebih tidak dapat ditawar seperti memertahankan kehormatan bangsa dan negara dengan perang atau membela diri dalam kondisi yang mengancam nyawa seperti menghadapi begal atau pencuri yang masuk ke rumah. Pada konteks tersebut, prinsip 'haramnya membunuh sesama makhluk' akan mengundang perdebatan panjang.

Demikian, bahwa dogma yang membawa doktrin absolut dan sifat taklid tidak melulu datang dengan instruksi detail mengenai bagaimana kita harus bersikap atau bertindak dengannya. Konteks hadir untuk menjembatani kita menyamakan persepsi lewat argumentasi dari beragam disiplin ilmu atau pendekatan metodologis.

Rekayasa Pikir dan Model Argumentasi

Menyematkan doktrin pada suatu konteks meskipun itu pada hakikatnya tidak konsisten dengan prinsip-prinsipnya bukan berarti ada yang salah dengan kondisi mental kita. Setiap orang memiliki interpretasi berbeda terhadap dunia di sekelilingnya berdasarkan konteks yang ia anggap sesuai.

Proses rekayasa pikir itu terkadang mengabaikan berbagai kondisi dan kontradiksi. Sebagai contoh, kita menganggap produk makanan dan minuman olahan yang dihasilkan oleh industri tidak baik untuk dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Alasannya, karena mengandung terlalu banyak gula dan bahan tambahan makanan.

Meski demikian, kita tetap mengucurkan banyak uang untuk belanja produk makanan dan minuman tersebut. Padahal kita sadar betul akan konsekuensinya bahkan sangat paham bahwa iklan dari produk itu memberikan informasi menyesatkan. Alasan yang sama pula yang membuat kita enggan berbelanja di warung dekat rumah dan lebih memilih gerai ritel meski perbedaan harga sangat mencolok.

Ketidakpedulian (ignorance) hingga kebanggaan (proud) sering mengalahkan pikiran rasional meski hal-hal itu sama sekali tidak berkorelasi secara langsung dengan tindakan kita. Buktinya, istilah Susu Kental Manis (SKM) menyesatkan banyak generasi sampai akhirnya disadarkan oleh Surat Edaran bernomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 tahun 2018.

Meski demikian, kita tidak perlu berkecil hati meski harus malu dan mengakui keteledoran kita. Sebab hal itulah yang mengantarkan kita untuk mengevaluasi kembali segala putusan yang kita ambil dan kembali belajar. Bukannya malah terjebak dalam pembenaran dengan memainkan konteks untuk argumentasi demi kepentingan pribadi.

Seperti berlindung di balik doktrin agama untuk sibuk mengomentari perselingkuhan orang lain atau mengalihkan kekecewaan terhadap diri sendiri dengan menyerang kebijakan Pemerintah tapi sibuk memalsukan dokumen demi mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Coba sejenak lirik diri ini sebab ada banyak lelucon yang bisa kita senyumi.

Tampaknya ketika membela suatu prinsip dari sebuah doktrin, kita lebih memilih pembenaran sebagai suatu pendekatan argumentatif. Pendekatan ini menuntut kita membangun rekayasa pikir dengan mengabaikan sudut pandang dan kontradiksi. Terkadang, kita menggantungkan dogma pada sesuatu yang kita sendiri sama sekali tidak mengerti.

Geneanalogi Dogma

Kita percaya bahwa keadilan membawa ketenteraman. Demikian pula bahwa makan buah itu menyehatkan dan buku merupakan teman diskusi paling baik. Doktrin itu kita terima begitu saja tanpa harus pahami dengan seksama. Kuta tidak tahu seperti apa sikap adil yang ideal, zat-zat yang terdapat pada buah yang kita makan, atau bagaimana buku secara spesifik menginspirasi suatu bentuk peradaban.

Kita tidak menerima semua yang kita dengar atau baca sebagai sebuah doktrin dogmatis. Namun umumnya, beberapa dari doktrin tersebut kita yakini berdasarkan apa yang disampaikan oleh orang lain. Ketergantungan kita kepada orang atau pihak lain untuk memeroleh doktrin dogmatis tidak berarti da yang salah dengan konstruksi epistemologis kita.

Keseharian kita pun bergantung pada informasi yang disampaikan oleh orang lain baik itu faktual maupun tidak. Yang kita lakukan adalah memilah dan menyaring informasi itu sesuai dengan apa yang kita butuhkan atau kemampuan kita saat itu. Selebihnya, kita menerima kondisi tersebut dengan keyakinan bahwa semua akan berjalan sebagaimana fungsinya.

Banyak peristiwa yang kita terima begitu saja tanpa perlu konfirmasi. Sebab ekspektasi kita terhadap sesuatu selalu menaut pada kondisi ideal. Kita hanya berbeda dalam merespon kondisi sebaliknya. Terkadang ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, kita justru menciptakan interpretasi baru terhadap suatu konteks untuk keyakinan yang sama.

Jika kita menutup diri terhadap perspektif lain atau menghindari dialog untuk menguji doktrin yang kita anut, interpretasi itu lama kelamaan akan semakin ngawur. Akibatnya, kemampuan argumentasi kita akan mentok di pembenaran. Itu berarti kecenderungan pada pendekatan rasional semakin rendah sehingga pendekatan emosional akan mengambil alih.

WVO Quine menyebutkan dalam From a Logical Point of View-nya bahwa kita menganut dua jenis dogma yaitu dogma sentral dan dogma periferal. Dogma sentral merupakan dogma yang tidak dapat ditawar sedangkan dogma periferal dapat kita diskusikan secara terbuka tanpa melibatkan perasaan.

Setiap orang menganut kedua jenis dogma ini secara relatif. Bagi sebagian orang, ada hal yang mereka yakini sebagai dogma sentral yang bagi orang lain hanya merupakan dogma periferal dan begitu pun sebaliknya. Dialog diperlukan agar masing-masing mengenali jenis dogma satu sama lain agar mampu menumbuhkan rasa saling menghormati.

Quine beranggapan bahwa pada dasarnya dogma, apapun jenisnya, tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab seberapa pun kuatnya dogma itu dianut, ia tetap dibangun lewat interpretasi kreatif manusia. Sebuah argumen yang diusung untuk membela doktrin tertentu dari sebuah dogma akan semakin kuat hanya jika terus mengalami interpretasi setidaknya dalam hal penyesuaian konteks.

Perlu digarisbawahi bahwa dialog dengan argumentasi rasional tidak melulu menuntut meruntuhkan dogma sentral seseorang. Dialog justru berupaya menghadirkan interpretasi kreatif agar dogma sentral itu semakin kuat. Sebab bila dogma itu tidak lagi memungkinkan untuk interpretasi tentu kelayakannya akan dipertanyakan.

Lagipula, dogma yang kita anut tidak selalu berkorelasi dengan tindakan sehari-hari. Kita percaya bahwa segala yang kita lakukan dalam pengawasan Tuhan tapi toh kita masih bergelimang dosa. Kita pun begitu mudah teralihkan pada skandal pesohor di infotainment padahal kita sadar bahwa ada skandal korupsi skala besar yang coba disamarkan dari perhatian publik.

Memahami Kesalahpahaman

Ada beberapa kondisi di mana argumen rasional tak berdaya menghadapi doktrin dogmatis. Salah satunya ketika seseorang memaksakan doktrin yang ia anut pada konteks yang sama sekali berbeda. Contoh yang sering kita lihat terkait hal ini adalah miskomunikasi lintas budaya atau lintas agama.

Selain itu, memaksakan argumen rasional pada doktrin yang bagi orang lain merupakan dogma sentral yang ia anut juga akan mencederai argumen rasional itu sendiri. Sebab ia tidak menunjukkan sikap saling menghargai dengan menganggap bahwa dogma sentral orang itu tidak lebih dari dogma periferal yang ia yakini.

Contohnya dengan berupaya menjelaskan keberadaan Tuhan dengan metodologi saintifik melalui instrumen empirik. Atau mencoba menjelaskan ganti rugi secara finansial terhadap kerusakan hutan kepada masyarakat adat.

Adapula dogma yang diturunkan secara turun temurun pada komunitas tertentu yang jika dilepaskan begitu saja akan merusak pertalian persaudaraan pada komunitas tersebut. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat dari suku atau etnis tertentu yang jika melanggar aturan yang berlaku akan dikucilkan dari masyarakatnya.

Rintangan bagi argumentasi seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan fenomena psikologis. Kesalahpahaman yang dihasilkan oleh mandeknya argumentasi menuntun kita untuk menentukan standar objektif yang bisa diterima oleh semua kalangan. Opini mampu memperkaya argumentasi tapi pada konteks dan tataran tertentu harus ada patokan kebenaran yang jelas.

Namun standar objektif ini merupakan tugas yang sulit untuk diwujudkan. Bukan hanya karena sifatnya yang rentan karena bergantung pada kondisi psikologis manusia tapi juga karena bentrokannya pada desakan lainnya seperti kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dipenuhi dan tidak dapat ditunda.

Dilema pragmatisme ini yang menyeret seseorang berbuat menyalahi kata hati nuraninya. Ada yang meyakini doktrin bahwa mengambil hak milik orang lain merupakan dosa besar tapi terpaksa mencuri karena tak dapat menahan lapar. Ada pula yang mengambil nyawa orang lain karena membela diri dari percobaan begal.

Konteks selalu memperkaya kontradiksi dari argumen yang kita ajukan dalam pembelaan terhadap doktrin dogmatis yang kita anut. Konteks itu menghampiri kita dalam bentuk pengalaman atau dari aktivitas saling bertukar informasi lewat dialog. Ada banyak konstruksi rekayasa pikir dari model argumentasi yang dapat kita adopsi.

Meski demikian, pendekatan rasional lebih kita kedepankan agar argumentasi kita menyesuaikan dengan kaidah metodologis tertentu. Hal itu sebagai upaya untuk membantu orang lain memahami apa yang kita coba sampaikan sembari menjaga kita tetap menghargai dogma yang orang lain anut.

Dialog yang dibangun lewat argumentasi rasional ditujukan untuk memahami kontradiksi agar interpretasi kreatif tetap terbuka tanpa harus ditanggapi secara sentimental. Ia melibatkan kedewasaan psikologis terutama dalam proses olah pikir. David Hume mengingatkan bahwa kita harus selalu siap terhadap apa yang akan dunia ini singkap di hadapan kita dan tidak bersikap latah dengan skeptisisme dalam membangun epistemologi pengetahuan kita.

Membatasi kebebasan argumentasi lewat dogma atau instrumen otorisasi hanya akan mematikan pencarian kebenaran. Akibatnya, gairah untuk mengembangkan olah pikir menjadi surut sehingga tak ada lagi motivasi untuk belajar. Padahal, perkembangan peradaban manusia sepenuhnya bergantung pada ketekunan kita untuk terus belajar.