Kita memulai dunia sendiri dari sampah paling hina, menjadi pelik menyakitkan seperti tumbuh, lalu berontak menuju dewasa.

Ada kiat-kiat kesialan yang menuntun kita ke arah yang semakin mencekam, melewati hari-hari yang menyiksa tetapi selalu dimaklumi, seumpama berontak dan kecamuk yang berakhir di dada sendiri.

Sepertinya ketenangan hanya diraih dari pemakluman atas derai tangis yang selalu datang tiba-tiba lalu memilih menetap.

Aku bingung melihat orang-orang begitu kuat memuji dunia, mengapresiasi segala tatanan hidup yang penuh kepalsuan dan masih saja terlihat bangsat.

Seolah mereka terlahir dari bongkahan emas, atau mitasi butiran berlian yang berevolusi jadi buas dan namun dipuja dengan segala kemewahannya.

Ingin rasanya aku menampar wajah sendiri, begitu lemah sehingga tak bisa jadi perempuan yang cantik dengan bodi montok, begitu mudah menjual keseksian tubuh demi kepuasan perut.

Atau menjadi laki-laki bajingan, bermodalkan ketololan kemudian bisa muncul di TV jadi artis dan bisa menghasilkan uang miliaran kemudian memuaskan calon menantu matre.

Di dunia ini orang gila dan bodoh sulit dibedakan. Mereka sama-sama terlihat samar dan memuakkan. Bedanya orang gila ditempatkan pada rumah sakit jiwa, sementara orang bodoh ditahan dalam penjara.

Motif yang membuat mereka berakhir tragis pun nyaris sama, kegilaan bersumber dari depresi, sementara beberapa orang saat mengalami depresi memilih pasrah jadi bodoh.

Seperti pejabat tinggi negara yang terus ditekan oleh keluarganya untuk menanam saham, ekspansi bisnis, atau menambah koleksi mobil. Sehingga merasa tertekan akhirnya depresi lalu memilih alternatif yaitu korupsi.

Setelah ketahuan, mereka langsung menjadi bodoh dengan mengkambing-hitamkan orang lain, serta melakukan tindakan kriminal yang mengantakannya ke penjara.

Sehingga setiap kali kita ke penjara, dengan mudah menemui mereka yang notabene dari kelas sosial tinggi. Demikian di rumah sakit jiwa, rata-rata pasiennya dari kalangan bangsawan, hanya beberapa orang dititip sebab ketahuan melakukan kejahatan sehingga cekatan berpura-pura gila agar bisa selamat dari jeratan hukum.

Itulah negeri kita. Negeri Para Bajingan kata Ribut Achwandi dalam cerita mini berseri hasil karyanya. Selaras dengan Negeri Para Bajingan pada lirik lagi Iwan Fals berjudul Negeriku. Membaca buku atau mendengar lagu semacam itu membuatku puas mencaci-maki dunia.

Lelaki sepertiku hanya bisa menghina, tetapi apalah arti menghina tanpa pemberontakan. Tulisan-tulisan ini aku buat sebagai titisan ke generasi mendatang.

Berharap setiap kata kelak menjelma senjata yang bisa meledakkan apa saja, termasuk mereka yang gila dan bodoh menyelenggarakan perkawinan silang di tubuh kekuasaan.

Aku berharap tulisanku bisa menyelamatkan setiap orang dari kegilaan dan kebodohan semacam itu.

Ketika kata dapat memulangkan seseorang dari kejauhan ke pelukan semula. Maka aku yakin kata-kata juga dapat berlaku magic menyihir kesesatan agar dapat kembali ke jalan lurus, jalan yang penuh ketenangan walau hanya bermodalkan secangkir kopi pemberian teman.

Kata-kata yang dapat menyatukan sepasang cinta yang telah lama cerai-berai, menghidupkan kematian sebuah makna dalam diri setiap orang bodoh dan gila. 

Itulah kata-kata, sesuatu yang bisa dimainkan sekaligus menjadi obat bagi mereka yang bisu sebab kehilangan banyak hal di hatinya. Meski mantan kekasihku pernah berkata, kata-kata hanya  bualan sebab tak akan bisa mengenyangkan perut.

Walau kata-kata memiliki kekuatan istimewa dari semua kegiatan lain, bukan berarti pemilik kata-kata dapat dilihat mulia, jika buku dibaca demi sebuah kata, tidak berarti penulis harus disanjung.

Di negeri ini pekerjaan apapun yang bernilai manfaat masih tetap dipandang biasa, kecuali ia jadi koruptor atau politisi, atau menjadi bangsawan kaya-raya, sebab di sana bersemayam segala macam kehormatan.

Dari situlah banyak orang memilih hidup jadi bangsat, jadi penjahat, atau memilih jadi maling. Sebab hidup yang penuh kehormatan ada di atas puncak tinggi, sulit digapai oleh orang-orang biasa dan lemah.

Selain itu, orang-orang lemah nampak tidak memiliki ruang di bumi. Mereka hanya dijadikan korban, pelampiasan dan dimanfaatkan sesuka hati.  Kita seolahhanya binatang peliharaan yang sesekali disembelih bila dagingnya sudah matang.

Sunggung membingungkan, kerap mambuatku dilema. Antara tetap jadi gila atau memilih jadi bodoh, hanya dengan cara itu orang-orang seperti kita bisa bebas dari jeratan hukum dalam menghirup udara segar sisa-sisa pembuangan para elit dari lubang pantatnya.

Kita kadang bangga menjadi diri-sendiri, atau senang menjalani hidup dengan sendiri. Tetapi, jauh di balik kenyataan ada akumulasi, pertukaran kepentingan, keputusan politik, rekayasa hukum, dan hal-hal mengerikan lainnya.

Kegaduhan hidup menggiring kita menuju usai, setelah euforia diselenggarakan di atas panggung, sebagian penonton sesak menekan dadanya sendiri yang sakit meski yang dia lihat hanyalah sekumpulan drama kehidupan tanpa naskah.

Sayup-sayup angin mengheningkan cipta, gumpalan awan menghampiri kepala, detak hujan berisik di telinga.

Orang-orang seperti kita kembali ke rumah tanpa sadar setiap gubuk telah berganti gedung, semua tempat penuh dengan rambu-rambu. Hidup benar-benar terasa selesai tanpa makam, tanpa makna.

Baca Juga: Ide dan Kegilaan