Sejatinya, dalam peradilan hukum pidana, setiap orang berbeda-beda dalam menjalani kasus dan putusan Pengadilan. Orang atau subjek hukum akan dilihat dari caranya melakukan perbuatan kejahatan. 

Dari proses penyelidikan aparat Kepolisian dan dilimpahkan ke Kejaksaan berakhir di Pengadilan. Semuanya saling berhubungan. Jika dalam satu lembaga tersebut melakukan hal yang tidak benar dalam menerapkan hukum, maka timbulah ketidakadilan.

Ketidakadilan ini merupakan bagian yang meresahkan. Di mana setiap orang yang dikatakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Namun, dalam praktiknya masih terdengar, tercium, dan terlihat nyata belum maksimal.

Seperti contoh di Kota Jambi, masih adanya Disparitas hukum dalam praktiknya. Suatu putusan Pengadilan Negeri (PN) Jambi pada kasus narkotika, yang dikenakan pasal 127 Undang-Undang (UU) Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 terdapat hal yang jangkal.

Di dalam putusan PN Jambi nomor perkara (11/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Jmb), dengan Identitas WA (17) warga Lampung yang bekerja sebagai tukang cuci mobil di cucian mobil Rajawali, ditangkap dengan barang bukti 1 linting ganja dengan berat 0,649 gram. Kemudian di Persidangan dalam dakwaan Jaksa Penutut Umum (JPU) dikenakan pasal 127 UU nomor 35 tahun 2009 menuntut dengan 1 tahun 6 bulan. Namun, saat itu Hakim PN Jambi memutus dengan pidana penjara 10 bulan.

Sementara, pada nomor perkara (270/Pid.Sus/2020/PN Jmb) atas nama terdakwa Reinaldo (30), yang ditangkap saat anggota Polda Jambi dan Polresta Jambi melakukan razia Anti Narkoba (Antik) ditemukan ganja dengan berat 250 gram. Kemudian, di persidangan R juga dikenakan pasal 127 UU nomor 35 tahun 2009. Namun, hakim memutuskan perkara tersebut dengan direhabilitas sosial di rumah sakit jiwa, selama 3 bulan. Diketahui R merupakan pengusaha di Jambi.

Atas putusan kedua perkara tersebut, penulis mencoba membedahnya. Ditemukan hal yang perlu disoroti. 

Sudah jelas di dalam perkara anak yang menggunakan narkotika dapat dilakukan rehabilitasi, sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak, dalam pasal 67 anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf e dan anak yang terlibat dalam produksinya dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan dam rehabilitasi. Namun, Hakim PN Jambi tetap memutuskan dengan pidana penjara 10 bulan. Sementara pada putusan kedua R dilakukan rehabilitasi, kenapa begitu?

Hal ini kemudian di uji oleh Dosen Universitas Jambi, di dalam ujian skrispsi penulis. Dalam ujian tersebut, penulis berpendapat bahwa anak tersebut dilakukan rehabilitasi, sesuai dengan perlindungan anak. 

Dosen Unja, Afrida, membantah pendapat penulis saat ujian skripsi tersebut. Katanya, memang betul anak yang mendapatkan menggunakan narkotika dilakukan rehabilitasi, tetapi dengan syarat anak maupun dewasa sebagai korban.

“Dilihat dalam perkaranya, anak tersebut bukanlah korban melainkan dia sadar bahwa yang digunakannya adalah narkoba yang dapat menghilangkan kesadaran. Jadi hakim saat memutuskannya itu dilakukan pidana penjara 10 bulan. Dan itu jelas tertuang di dalam pasal 127 yang menjadi korban dapat dilakukan rehabilitasi,” ujarnya, saat penulis ujian skripsi, pada tahun 2017 silam.

Sementara, pada kasus yang kedua, yang umurnya sudah mencukupi dan dengan barang bukti 250 gram, yang dibawanya ke hiburan malam, Hakim PN Jambi hanya melakukan rehabilitasi selama 3 bulan. Kenapa begitu?

Lanjut, Penasehat hukum, Fikri, menyatakan, apabila dalam tertangkapnya tangan ditemukan barang bukti melebihi satu gram. Pelaku bukan lagi pengguna. Menurutnya, pelaku bisa saja menjadi pengedar.

“Boleh dikenakan pasal  127, namun tetap harus divonis dengan pidana penjara. Bukan di rehabilitasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Penasehat Hukum, Husni, berpendapat, bahwa terjadinya penyalahgunaan aparat pengegak hukum dalam memutuskan perkara.

“Itu ado mainnya saat memutus perkara,” tandasnya. 

Penulis pun menduga-duga, bahwa memang benar adanya penyalahgunaan dalam menegakkan keadilan. Keadilan hanya cerita di belakang. Menurut penulis, keadilan adalah tepatnya seseorang dalam meletakkan sesuatu, baik itu orang atau barang. 

Untuk diketahui, UU nomor 35 tahun 2009 dalam pasal 127 berbunyi; (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.